Cinta Rados mengantarkannya jauh melampaui pola pikirnya saat itu, ia tak pernah sadar apa yang telah diperbuatnya bahkan setelah mengambil cincin dari raja iblis yang dikatakan hanya sebuah dongeng. Berbekal tekat mendalam akibat cintanya pada sang biarawati, ia mengusik masalah dan mencari kebenaran diri, menuju neraka ketujuh pintu ke-13.
Tidak ada yang berani pergi kesana, bahkan jika pun berani ia harus sadar diri bahwa Rados hanya seorang incubus, iblis rendahan yang memiliki nafsu dan hasrat besar ingin memiliki dan ingin merasakan. Dari itulah perasaan tak takutnya datang, yang ada dalam dirinya saat itu hanya bagaimana Raja Iblis tak tahu kepergiannya.
Dengan berbagai cara ia sampai di neraka ketujuh, tempat paling mengerikan di dunia bawah, di mana jiwa-jiwa manusia yang telah mati akan masuk kedalam sana, disiksa lebih dulu lalu ditimbang apakah ia harus hidup kembali (Reinkarnasi) atau tetap berada di dalam sana sampai jiwanya hancur lebur bersama api hitam neraka.
Sebagai seorang incubus yang juga ras iblis, ia tak sulit pergi kesetiap pintu demi mencari cincin itu. Hingga ia menemukan pintu dengan ukuran berkali lipat dari tinggi tubuhnya, pintu polos berwarna hitam gelap dan mengerikan, itu pintu terakhir dari sekian pintu. Dengan kuat Rados mendorongnya, saat celah kecil pintu itu terbuka perasaan mengerikan langsung memasuki tubuh dan mengoyak jiwanya.
Mengerikan. Rasanya Rados ingin menekuk tubuhnya menjadi dua agar menyatu dan menghalau perasaan itu, suara-suara sumbang bercampur hening terasa terus berputar di kepalanya. Tidak ada siapapun di sana, tapi rasanya seperti ribuan keheningan berbaur dengan suara desik yang ia tak tahu bagaimana menyebutnya.
Rados yakin jika yang mendengar suara itu manusia biasa kepalanya sudah hancur sejak tadi, karena tak mampu menahan sakit yang semakin mendalam. Kemudian, ia lebih lebar membuka pintunya agar tubuhnya bisa masuk, kemudian menutup kembali, pintu itu tidak terkunci, seperti setiap pintu yang ada di dunia bawah itu.
Lalu Rados mengedarkan pandangannya kesetiap sisi, tidak ada apapu. Kosong, seakan tempat itu bukan sebuah ruangan, juga bukan pintu keluar, bagaimana ia harus menyebutnya? Ia seperti melihat kegelapan yang tak berujung, sedang di sana hanya ada dirinya sendiri, yang bercampur dengan suara-suara aneh yang terus berputar di kepalanya, tidak sesakit tadi.
Perlahan Rados melangkahkan kakinya sambil meraba dengan telapak, takut jika saja itu sebuah jurang atau tempat lain yang mengarah kebawah, tapi sampai menjauh dari pintu ia tak menemukan apapun, tak ada jurang atau tempat dalam lainnya, ia kemudian melangkah dengan sedikit lebih lega tak seperti ketakutan yang ia rasakan tadi. Kini yang harus ia lakukan hanya mencari letak cincin yang dikatakan kawannya tadi.
Rados terus melangkah kakinya, kegelapan semakin tak berujung dan ia sudah menjauh dari pintu itu, hanya terlihat cahaya pendar sedikit dari celah paling kecil pintu itu, ia sengaja memberi isyarat arah pintu keluar, jika tidak begitu ia akan tersesat.
Semakin menjauh terus perlahan, kornea matanya menangkap sesuatu yang menyilaukan berwarna biru terang seolah bulan purnama. Rados menuju arah cahaya itu, mungkin ia akan menemukan sesuatu di sana, jika beruntung mungkin itu letak dari cincin yang selama ini ia sedang cari, tapi jika tidak mungkin itu benda lain.
Rados semakin mendekat dan terlihat jelas bahwa yang di depannya memang sebuah cincin dengan cahaya berwarna kebiruan. Cincin itu terbuat dari emas putih murni polos dan ada sebuah tulisan kuno yang melingkar di dalam cincin itu, bertuliskan “Yang Maha Esa.” Rados tak memahami tulisan itu, seandainya ia pintar mungkin seperti itu sudah ia mengerti.
Niat awalnya Rados ingin menggunakannya, tapi cincin itu terlalu terang dan mencolok. Para iblis bawahan mungkin akan berpikir bahwa itu hanya sebuah cincin biasa, tapi iblis atas dan punggawa Raja Iblis pasti akan sadar dengan yang di pakainya. Maka dari itu Rados memasukan cincin itu kedalam kantong kain dan menutupnya kesaku celananya.
Kemudian...
Beberapa waktu berselang, Rados bisa keluar dari neraka dengan tubuh yang sedikit bergetar dan berkeringat, ia takut jika ada yang tahu bahwa ia telah mengambil cincin Raja Iblis yang selama ini telat di anggap sebagai sebuah dongeng belaka. Ia terbang lalu turun di sekitaran gereja.
Saat sampai di gereja, keadaan begitu sepi, lampu-lampu minyak dan lilin sudah serentak mati, tapi ia tak memperdulikan itu, ia tahu harus menuju kemana, tempat para biarawati beristirahat. Sebelum kembali melangkah sejenak ia mendongak keatas di mana bulan purnama berada di puncak paling tinggi, hingga terdengar suara gelombang mengikir dadaran.
Rados mengeluarkan cincin dari saku dan kantong celananya. Cincin itu tak menyilaukan lagi, bahkan cahaya biru yang mengusik matanya tak terlihat lagi. Rados memasangnya secara perlahan. Begitu masuk cincin itu seolah memakan jarinya dengan terasa mencengkarm sangat kuat, Rados menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa yang teramat sakit.
Namun, tak berapa lama cincin itu tak terasa lagi dan perlahan ia mulai bernapas lega dan melepaskan gigitan pada bibirnya. Kemudian ia melangkah dengan cepat ia tak bisa membiarkan bulan bergeser yang menandakan hari berganti, karena ini saat terbaik saat kekuatan sihir menguat dan doa melemah, begitu yang sering di ceritakan.
Saat itu Margareta hendak tertidur, lalu bayangan Rados hidup menyelinap perlahan melewati dinding, berbaur dengan bayangan-bayangan bangunan gereja. Rados kemudian masuk kekamar Margareta dan memperhatikan Margareta yang tengah tertidur pulas.
"Cintaku mengalahkan pengadianku pada Rajaku, dan cintaku mengalahkan doamu pada Tuhanmu," ucap Rados saat itu semakin mendekati tubuh Margareta, kemudian duduk di ujung atas tempat tidur.
Ditatapnya wajah teduh dan cantik Margareta, begitu manis hingga membius bagai o***m. Rasanya tak membosankan untuk dipandang. Rados menyentuh wajah Margareta perlahan namun menyeluruh, ia merasa aneh kenapa dengan mudah menyentuh Margareta yang seorang pelayan suci. Apa karena cincin yang ia pakai? Atau karena hal lain? Jika benar karena cincin itu bearti itu bukan hanya sebuah dongeng belaka.
***
Waktu berganti, Margareta yang terbangun dengan sedikit kaget karena tubuhnya yang telanjang tanpa satu helai benang pun menjadi tontonan biarawati lain yang saat itu baru pulang dari pemakaman tetua pendeta. Mata-mata mendelik dan bibir yang terus berbisik membuat Margareta hanya bisa bingung dengan keadannya.
Ia mencoba meraih apapun untuk menutupi tubuhnya, ia tak pernah selama ini melakukan hal itu bahkan telanjang dengan sesama biarawati pun tak pernah. Ia merasa malu dan takut, kemudian tak berapa lama kepala biarawati datang, menyeret tubuhnya yang tertutup seadanya. Kepala biarawati melempar tubuh Margareta dengan kasar di dekat sumur gantung, tapi para biarawati lain masih melihat peristiwa itu.
“Apa yang kalian lihat! Kembali beribadah!” Mendengar teriakan dari ketua biarawati itu para biarawati lain langsung berhamburan pergi menyiksakan dua biarawati yang sengaja di minta sang ketua untuk memandikan Margareta.
Ketua dan kedua biarawati tadi bergantian menyirami tubuh Margareta, seolah mereka sedang memandikan seekor babi yang hendak dipotong dan hidangkan malam ini. Margareta terdiam, memikirkan nasibnya dan memikirkan apa yang terjadi padanya tadi malam, padahal sebelum tidur tak terjadi apapun, ia tidur dengan menggunakan pakaian lengkap dan tetap menyebut nama Tuhan.