08. Di Kota Bagras

1327 Words
Beberapa hari berlalu, tubuh Margareta sudah mulai pulih, luka-luka yang ada di kulit ikut mengering. Kini Margareta merasa lega dengan dirinya sendiri, setelah ia tahu bisa melewati maut karena orang paling baik yang pernah menolongnya. Sepasang suami istri yang memiliki usia lanjut, mereka adalah orang tak pernah memandang orang lain dari mana orang itu berasal. “Bagaimana keadaanmu?” tanya perempuan tua berbaju Biarawati lengkap dengan tudung putih yang menutupi setengah kepalanya. “Tubuhku sudah lebih nyaman untuk bergerak.” Margareta mencoba duduk dari berbaringnya, tapi perempuan itu mencoba mencegahnya ia masih tak ingin Margareta banyak bergerak sebab ia yakin Margareta tak sekuat itu. “Aku bisa duduk sekarang, tubuhku sudah bisa bergerak.” Perempuan itu menghembuskan napasnya sesaat kemudian tersenyum pada Margareta dan membantunya untuk duduk kini, setelah itu ia memberikan Margareta minum agar tak kehilangan banyak cairan tubuh. “Aku belum tahu nama dan asalmu,” ujar perempuan tua itu lagi. Mendengar itu seolah Margareta mengingatr masa beberapa hari lalu, apa yang harus ia katakan, jika ia mengatakan bahwa ia seorang biarawati sang pelayan suci yang dibuang gereja karena pelakukan perzinahan apa mereka tetap akan mau memberikannya tempat berteduh. Sedangkan perempuan tua itu masih menunggu untuk Margareta menjawab ucapannya, tidak ada raut memaksa dari wajahnya, hanya saja ia penasaran bagaimana bisa seorang perempuan tengah hamil berada disebuah hutan dan dalam keadaan tak sadarkan diri bahkan dengan tubuh penuh luka, yang jika semalam lagi ditinggalkan pasti akan didekati para hewan buas kelaparan. Malam itu, ia dan sang suami baru saja pulang berkunjung dari kota Litos yang tak jauh dari hutan tempat di mana Margareta pingsan. Mereka menaiki kereta kuda dengan membawa seekor anjing kecil. Tiba-tiba anjing itu terlepas dan lari kehuran, membuat ia dan sang suami berhenti untuk mencarinya. Ketika ia menemukan anjing kecil itu, si anjing tengah menarik kain baju yang di gunakan Margareta. Bergegas mereka pun menolongnya. “Kami bukan orang jahat,” kata laki-laki tua istri perempuan itu yang baru saja datang dengan baju pendetanya. “Sebelumnya namaku Tolios dan ini istriku Emili, kami pasangan pendeta pengurus gereja Agung Morkas.” Laki-laki tua yang mengaku bernama Tolios itu tersenyum penuh ramah, ia mencari membuat Margareta terbuka dan tak merasa takut berada di sana. “Aku Margareta dari Belulian.” Margareta memperkenal dirinya yang membuat Tolios dan Emili hanya bisa saling pandang seolah apa yang mereka pikirkan menjadi kenyataan, entah pikiran baik ataupun buruk. “Aku di rumah dari rumahku setelah aku hamil dan aku tak tahu harus pergi kemana, kupikir aku akan mati.” “Sudah, jangan bebani pikiranmu lagi kasihan anak yang kau kandung. Ia butuh lahir dengan keadaan yang baik,” ujar Emili berusaha menenangkan pikiran Margareta. Sedangkan Margareta menarik napasnya dengan tenang. Selama tinggal di sana, Margareta merasa bahwa Tolios dan Emili orang baik, meskipun ia tak yakin jika nantinya mereka tahu bahwa Margareta hanya seorang pendosa apa mereka masih mau berbuat baik padanya. Setelah itu Tolios dan Emili berlalu pergi meninggalkan Margareta sendiri, mereka menuju kamar bersama dengan pikiran yang masih bergelayut masing-masing meskipun saling terikat satu sama lain. Apa yang mereka pikirkan sepertinya benar adanya meskipun tadi mereka tak ingin membuat Margareta kecewa dan ketakutan. Tak lama mereka pun sampai di kamar yang mereka gunakan, kemudian Tolios duduk di sebuah kursi di belakang meja kerjanya, sedangkan Emili duduk diujung ranjang tak jauh dari meja kerja Tolios. “Sepertinya perempuan itu memang yang dikatakan August tempo hari di kota Litos,” ujar Emili kemudian. Emili seolah mengingat pembicaraan mereka dengan August saat pertemuan para pendeta di kita Litos. Sebagai yang paling ditetuakan serta pengurus gereja di kota Bagras, Tolios dan Emili memiliki sebuah kehormatan yang cukup berpengaruh, meskipun mereka sama-sama dari ordo kegerejaan tua, tapi kota Bagras tak menyembah Lelunia seperti Belulian dan Litos, Bagras lebih mengagungkan Morkas, dewa yang dianggap sebagai pembawa keberuntungan, keadilan dan kekuasaan. Meskipun begitu ketiga kota di pulau tanpa nama itu tetap saja akun dan penuh kedamaian. Dulu sebelum August memutuskan untuk tinggal di Belulian, ia cukup lama berada di Bagras, maka dari itu August mengenal siapa orangtua pengasuhnya yakni Emili dan Tolios. August bercerita tentang biarawati bernama Margareta yang harus diusir gereja karena hamil di luar nikah, tapi yang membuat Emili dan Tolios kaget bukan itu, yakni ketika tahu siapa yang menghamili Margareta. “Aku yakin Ramun sudah membicarakan hal-hal yang tak baik tentang perempuan malang itu,” kata Tolios lagi. Tolios sesekali mengingat tentang Ramun atau para penduduk serta pengurus gereja di kota Belulian memanggilnya tetua pendeta. Sejak Ramun masih hidup hingga kematiannya ia tak pernah akur dengan Tolios mereka selalu terlihat masalah dan adu mulut. Tolios kadang memaklumi bahwa Ramun sudah sangat tua dengan pikiran melanturnya. Lalu membenar diri bahwa itu adalah ucapan Tuhan. Siapa yang akan menyangkal ucapan tetua pendeta Lelunia itu jika meraka bagian dari gereja Belulian, mereka menganggap ucapan tetua pendeta adalah racun yang bisa berakibat fatal. Bahkan ketika ia meramalkan bahwa Margareta akan membawa malapetaka bagi gereja semua orang tanpa kecuali pendeta besar langsung percaya. “Tapi ucapannya menjadi kenyataan pada Margareta, apa yang harus kita lakukan?” tanya Emili. Ia juga bingung harus berbuat apa. Mengurus dan menjaga Margareta bukan pilihan yang tepat jika nanti para pengurus gereja tahu bahwa Margareta hamil diluar nikah dengan makhluk terkutuk bernama incubus, tapi jika mereka membiarkan Margareta pergi keluar dengan perut besar itu sama aja membunuh keduanya secara perlahan. Kemudian setelah itu mereka pun memutuskan untuk menjaga Margareta serta bayinya lebih dulu dan menyimpan rahasia tentang kehamilannya. Jika nanti anak Margareta lahir dalam keadaan incubus maka mau tak mau mereka harus meminta Margareta untuk pergi tapi jika anak itu manusia maka biarkan Margareta dan anaknya hidup di sana. Sementara itu Margareta masih menyandarkan dirinya di ranjang itu. Ia rasa sudah seminggu ia berada di sana, pergi dari Belulian dengan keadaan mengandung besar. Semua orang pasti menganggapnya sebagai aib yang kotor dan harus segera dibersihkan secepat mungkin. Meskipun begitu ia tak membenci kandungannya, ia tak membenci janin yang kini ia kandung karena anak itu tak salah apapun. Margareta berusaha menghilangkan pikiran buruknya tentang peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya, ia merasa terluka dan sangat terluka. Kini ia sejenak ingin menghilangkannya, membuang pikiran itu jauh-jauh dan memulai kehidupan baru di sini, sebagai Margareta yang baru. Kini Margareta berusaha berdiri, sepertinya lima hari berbaring dan terus duduk membuat kakinya sedikit kaku. Ia ingin menggerakkan sedikit tubuhnya. Turun dari ranjang dan menuju jendela. Ia melihat pemandangan luar yang begitu indah, hamparan padang rumput yang tak jauh dari sana bukit hijau. Ada gereja megah yang dibangun beberapa meter dari tempatnya bernaung saat ini, sangat berbeda dengan gereja agung Lelunia yang berada di dekat pemukiman dan belakangnya menganga sebuah hutan belantara yang cukup lebat. Ketika malam tiba hutan itu terlihat menyeramkan dengan keadaan gelap dan menakutkan, teriakan hewan-hewan malam termasuk burung hantu dan anjing-anjing hutan kadang membuat bulu tengkuk berdiri. Namun, kini ia tak harus khawatir karena ia tak akan menemukan pemandangan itu lagi selama mungkin. Ia hanya akan terus melihat pemandangan yang indah ini, bahkan mungkin malam bintang dan bulan akan terlihat cerah dari sana. Matahari pagi pasti akan menyapa dari balik bukit itu. Mungkin jika ia menjadi sebuah malapetaka bagi Beliluan dan gereja Lelunia, di sini ia bisa menjadi sebuah berkah. Menjadi berkah bagi Bagras dan gereja Monras. Kini Margareta bisa menarik napasnya yang tenang, napas paling tenang setelah hampir enam bulan berlalu. Ia akan membuat semua hal menjadi baru. Jika ia bertahan lama di sana, ia ingin kembali mengabdi pada Dewa tempat di mana ia harusnya kembali meskipun kini Dewa yang ia sembah tak lagi sama, tapi keimanannya akan tetap sama. Ia rindu menggunakan pakaian biarawati memuja dewa siang dan malam membunyikan lonceng gereja dan membimbing orang-orang beribadah lagi. Sejenak ia bisa menyungging senyumnya yang sudah lama hilang dan pudar entah kemana, rasanya senyuman itu direnggutnya dengan mudah. Tapi kini ia mulai kembali dengan senyuman yang baru itu dan setelah ia ingat bahwa sepasang suami-istri itu sepertinya begitu peduli padanya bahkan keadaan dirinya, buktinya mereka tetap mengurus dirinya meskipun tahu ia hamil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD