5. Kembalikan Mataku ...

1537 Words
Sudah seminggu Jeje magang di rumah sakit, mulai hari ini dia bertugas di poli anak. Dia sangat menyukai anak-anak, jadi dengan antusias Jeje berjalan menuju ke tempat dinasnya yang baru. Dihapalkannya lagu anak-anak yang baru dipelajarinya tadi. “Up and down .. up and down .. we are happy family .. “ Dug! Lagi-lagi ia membentur seseorang, dengan tinggi menjulang. Was-was, Jeje mendongakkan kepalanya. Seorang dokter asing berambut pirang menatapnya penuh minat, menahan geli. Astaga, apa Jeje seperti badut? “I am sorry, Sir. I am lalai .. eh, I am not ...” Jeje menggaruk-garuk kepalanya, mengapa ia mendadak blank? Apa karena terkesima melihat ketampanan pria didepannya? “Apa ya bahasa inggris waspada?” gumam Jeje pelan. “Carefully,” sahut pria itu sembari tersenyum geli. “Yah, carefully! Ups!” Jeje menutup mulutnya, malu. “Sir, Anda bisa bahasa Indonesia?” “Tentu, seumur hidup saya tinggal disini.” Bukan cuma bisa, dia sangat fasih berbahasa Indonesia. Jeje sangat kagum dibuatnya. “Sir ...” “Panggil saya Dokter Russel, Jeje,” potong pria itu dengan senyum ramah tersungging di wajah tampannya. Mata Jeje melebar. “Dokter tahu saya?” “Siapa yang tak tahu Nona Jeje yang periang dan cantik?” Malu sekali, Jeje menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan pipi merona. “Pasti yang diceritakan mereka tentang hal-hal konyol mengenai saya.” “Contohnya?” tanya Dokter Russel dengan mata mengerling geli. “Malu, Dok. Saya tak mau menceritakan konyolnya saya yang suka sakit perut dan kentut sembarangan kalau sedang gugup. UPS!” Jeje menutup mulutnya yang ember dan memukulnya gemas dengan wajah merah padam. Dokter Russel tak dapat menahan tawanya, dia tergelak keras. Lantas menundukkan kepalanya untuk menyejajarkan dengan tinggi Jeje yang agak minimalis. “Dokter mau apa?” tanya Jeje heran. “Ingin mendengar suara kentut kamu,” jawab dokter tampan itu sembari mengendus di sekitar Jeje. “Ish, Dokter. Saya sekarang malu, bukan gugup. Untungnya saya tak mudah gugup,” cengir Jeje. Entah mengapa dia merasa cukup akrab dengan salah satu petinggi rumah sakit ini, padahal mereka baru pertama bertemu. Mungkin karena pembawaan Dokter Russel yang santai dan easy going. Tapi ingat, dia cenderung playboy. Jeje tak mau terperangkap dalam pesona pria ini. “Permisi, Dok. Saya mau dinas ke poli anak.” “Saya temani.” Dokter Russel mengiringi langkah Jeje dengan santai, karena tungkai kakinya yang panjang dia harus melambatkan langkahnya untuk menyamakan dengan langlah kaki gadis imut itu. Jeje melirik heran. Apa Dokter Russel sedang tak banyak kerjaan? Buat apa dia menemani mahasiswi magang yang sedang bertugas? “Dok, saya tak perlu dikawal. Saya tak akan kentut sembarangan sehingga bikin polusi di poli anak kok,” canda Jeje, maksudnya ingin mengusir si dokter dengan halus. Yang diusir halus tak merasa, malah bangga. “Oh, sungguh kebanggaan bisa mengawal si cantik yang jika gugup bisa berubah menjadi bom kentut. Hahaha ...” Jeje tersenyum kecut, tapi akhirnya ia tertawa geli. Ternyata betul, Dokter Russel memang tampan dan sangat menyenangkan. Pantas banyak yang mengidolakannya, tapi Jeje tak ingin masuk dalam daftar barisan penggemar Dokter Russel. “Pagi, Dok. Ini laporan Anak Annisa yang Anda minta. Ohya, dia mengaku matanya gatal sekali, seperti akan copot .. bla .. bla ...” Jeje ternganga, begitu mereka sampai di poli anak Dokter Russel langsung disambut oleh Suster kepala poli anak, Suster Margaretha. Astaga, ternyata dokter tampan ini bukan dokter pengangguran yang sengaja mengawalnya karena kebanyakan waktu luang. Dia juga berdinas di poli anak. “Dokter tugas disini juga?” bisik Jeje pelan, “kenapa tadi tak bilang? Saya pikir Dokter kemari hanya untuk mengawal saya.” Dokter Russel tergelak, sedang Suster Margaretha menatap Jeje dingin. “Anda mahasiswi yang magang disini kan? Apa Anda tak tahu .. Dokter Russel adalah direktur rumah sakit yang juga bertanggung jawab di bagian polianak?” “Maaf, Sus. Saya baru disini, harap maklum,” ucap Jeje pelan. Haishhhh, baru hari pertama disini dia sudah kena tegur. Memalukan! “Tak apa, Sus. Jangan memarahinya, nanti dia gugup lalu ..” Dokter Russel melirik Jeje penuh arti dengan senyum dikulum. Astaga, apa dia akan mengatakan perihal Jeje si bom kentut? Tidak! Spontan Jeje mencubit pinggang Dokter Russel gemas, lantas menyembunyikan tangannya malu-malu ketika menyadari kelancangannya. Untung Suster Margaretha tak memergokin kelakuan tak sopannya. Suster senior itu menarik Dokter Russel untuk melakukan visitasi pada pasien-pasien kecilnya, meninggalkan Jeje yang berdiri bengong mirip anak domba yang tersesat di kota asing. “Jeje, apa yang kamu lakukan?” tegur Dokter Russel yang menoleh ke belakang. “Ayo, ikuti kami!” “Aye, Captain! Eh, iya Dokter!’ sahut Jeje riang. Ia menghampiri Dokter Russel dan mengikut di belakangnya. Jeje mendengar Suster Margaretha yang melaporkan keadaan pasien-pasien kecil mereka dengan detail. Dia kagum, Suster Margaretha nampak cekatan dan menghayati pekerjaannya. Kapan dia bisa seperti itu? “Aaaarggghhhhh!” Mendadak terdengar teriakan beberapa orang, disambung dengan semburat orang-orang berlari kearah mereka. “Ada apa?” tanya Dokter Russel pada seorang suster berwajah pasi. “Itu, Dok .. ada pasien kecil yang kedua bola matanya copot, bergelantungan hampir jatuh!” “Apa dia Lily?” Suster Margaretha memastikan dengan jantung berdebar kencang. “I-iya, permisi ...” Suster itu berlari cepat. Dokter Russel dan Suster Margaretha saling bertatapan dengna wajah pias. Mereka bergegas lari mendekati bangsal anak tempat pasien Lily berada. Jeje ikut berlari di belakang mereka. Bangsal anak yang mereka tuju tampak lenggang, hanya ada satu anak berusia sembilan tahun yang berdiri memunggungi mereka sambil menggeram dengan suara seperti binatang buas. “Dok, hati-hati ..” gumam Suster Margaretha memperingatkan. Dokter Russel mengangguk sembari perlahan beringsut mendekati pasiennya. Begitu hanya tersisa jarak dua langkah dari anak itu, mendadak Lily berbalik dan melompat kearahnya. Dokter Russel terjatuh, dan ditindih oleh Lily. “Kembalikan mataku .. kembalikan mataku ...” erang Lily dengan satu rongga mata yang kosong, bola matanya yang lain bergelantungan nyaris jatuh dari sarangnya. Bocah cilik itu mencekik leher Dokter Russel sambil menggeram keras. Jeje terperangah menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Sementara Suster Margaretha mengambil sebilah tongkat baseball yang tergeletak di lantai, diam-diam dia mendekati Lily dari belakang lalu memukulkan tongkat itu ke punggung si bocah. BUKK! Si bocah berbalik menghadap penyerangnya, Suster Margaretha sontak mundur ketika Lily beralih berjalan mendekatinya. Jeje membantu Dokter Russel berdiri, saat itulah ia melihat bola mata yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengambilnya, dan spontan ia berlari mendekati si bocah yang berubah seperti monster itu. “Hei, Lily. Aku menemukan matamu!” serunya cepat. Lily berbalik menghadapnya, meninggalkan buruan sebelumnya .. Suster Margaretha yang menarik napas lega. “Grrrrrhhhh ... gggrrgghh .. “ erang Lily sembari berjalan menipiskan jarak antara dirinya dan Jeje. Jantung Jeje berdegup kencang. Jujur, dia takut. Tapi dia ingin menolong mereka semua, siapa tahu dengan mendapatkan matanya kembali .. Lily tak akan mengamuk lagi. Jeje berlari memancing Lily untuk mengikutinya, sesuai harapannya gadis cilik itu mengejarnya hingga ke koridor sepi. Sial, Lily salah mengambil jalan. Koridor ini buntu. Dia terjebak disini bersama bocah monster yang marah padanya karena merasa dipermainkan. “I-ini matamu .. “ ujar Jeje gugup. Perutnya mulai melilit, mulas. Dia berusaha menahannya. Jeje melempar bola mata lengket dan bernoda darah di tangannya kearah Lily. Dasar ceroboh, lemparannya meleset. Bola mata itu melesat jatuh melalui jendela, terjun ke bawah. Lily sangat marah. “Grrrggggghhhh .. kembalikan mataku!” pekiknya menyeramkan, membuat Jeje bergidik ngeri. Bocah cilik itu melompat kearah Jeje, membuat Jeje jatuh terduduk di pojokan tembok. Lily mencekiknya kencang, tenaganya sangat kuat. Meski Jeje memberontak, bocah itu tak melepasnya. Jeje jadi gugup, tak ayal perutnya yang sakit tadi membuahkan hasil .. dia kentut keras dan berturut-turut. DUTT! DUTTTT!! DUTTTTTT!! Aroma kentutnya yang semerbak tak membuat bocah kecil yang menyerangnya lengah. Lily semakin memperkeras cekikannya. Mendadak ada yang mengangkat tubuh bocah itu, lalu berbalik cepat. Jeje hanya bisa melihat punggung lebar dalam balutan jas dokter. Dia mendengar Lily menggerang marah, memekik marah .. namun perlahan suaranya mengecil, semakin mengecil hingga sunyi. Jeje berdeham, untuk melegakan tenggorokannya yang tadi bekas dicekik. Juga untuk menarik perhatian penolongnya yang misterius. “Te-terima kasih.” Pria itu hanya diam. Jeje jadi penasaran, dia memutari pria itu. Matanya membola begitu mengenali siapa penolongnya. “Dokter Lee, sepertinya kita ditakdirkan selalu bertemu dalam situasi seperti ini,” cetus Jeje spontan. Senyum Jeje melebar, ingin sekali ia merengkuh pria didepannya. Tapi tak bisa, Dokter Lee tengah menggendong Lily yang sedang terpejam matanya. “Dia tidur atau pingsan?” tanya Jeje penasaran. Dokter Lee tak menjawabnya, bahkan memindahkan Lily ke gendongan Jeje yang menerimanya dengan was-was. “Bawa dia, aman,” cetus Dokter Lee dengan suara beratnya. Jeje mengamati gadis cilik di gendongannya. Wajah Lily nampak tenang, tak terlihat kebuasannya tadi. Apa Dokter Lee baru saja menyulapnya? Atau menghipnotisnya? “Dokter ...” Dia ingin menanyakannya, namun Dokter Lee sudah menghilang. Apa dia bisa terbang? Batin Jeje heran, “Ehhhhhmmmm,” terdengar suara erangan lemah. Jeje mengamati Lily dengan hati berdebar. Dan begitu gadis kecil itu membuka matanya, dia sontak bernapas lega. Bola mata bening bocah itu memandangnya heran. “Kenapa Lily disini?” tanya gadis kecil itu. Jeje tertegun. Bola mata gadis itu kembali, dua-duanya! Bukannya tadi yang satu terlempar keluar jendela? Jeje tak habis mengerti. Apa yang dilakukan Dokter Lee pada gadis cilik ini? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD