Enam

1219 Words
Gedung perkantoran yang kudatangi merupakan salah satu yang terbesar di Jakarta. Masih di atas motor yang berhenti di pinggir jalan, aku memandang ragu-ragu ketinggiannya. Bimbang, apakah akan melanjutkan tujuan awalku ke tempat ini atau kembali saja? Aku menggigit-gigit bibir bawah sebagai perwujudan rasa gelisah. Sungguh, jika aku berani memasuki gedung yang berdiri angkuh di depanku, itu bukan karena tekad kuat yang kumiliki, tapi lebih ke perasaan nekat yang mendorong keberanianku keluar. Namun yah ... inilah aku sekarang, melajukan lagi motor matikku melewati jalan menurun yang menuju ke basemen. Setelah memarkirkan motor, aku langsung menuju lift yang akan membawaku ke kantor Tyaga. Sekali lagi, ke kantor Tyaga. Akan kubuat kesepakatan dengan si om tengil itu. Pada akhirnya mungkin aku menyetujui tawaran untuk menikah dengannya, tapi aku tidak mau menjadi prajurit yang dengan mudah dikalahkan. Aku tidak akan pasrah begitu saja, harus ada perjuangan dariku agar keinginan Tyaga tidak terwujud dengan mulus. Bunda pernah memberitahuku letak perkantoran keluarga Zayn, tapi beliau tidak menjelaskan tepatnya di mana. Setahuku Zayn Abadi Group memakai empat lantai di gedung ini, sayangnya aku tidak tahu di lantai berapa. Jadi sekarang aku mondar-mandir naik turun lift seperti orang bodoh. Setiap berhenti di salah satu lantai, aku keluar dan mematung di depan lift. Hanya melihat-lihat dengan bingung, berharap menemukan petunjuk yang bisa meyakinkanku bahwa lantai yang kuinjak adalah tempat yang kucari. Namun nihil, aku tidak menemukan tanda atau tulisan apa pun yang bisa membantuku. Sedangkan untuk bertanya, aku tidak memiliki keberanian karena orang-orang yang berpapasan denganku terlihat sibuk dan mengejar waktu. Untungnya kemudian ada seorang pria yang mungkin melihatku kebingungan datang menghampiri. “Cari apa, Dik?” tanyanya ramah. “Eh, anu ... Zayn Abadi Group di lantai berapa ya, Om?” Gugup, aku balik bertanya. “Oh, itu di lantai 57 sampai 60.” “Terima kasih, Om,” ucapku buru-buru dan segera kembali ke lift. Sebelum pintu lift tertutup aku masih sempat melihat dia menelepon seseorang. Lift berhenti di lantai 57, aku keluar dan kembali berdiri bingung. Sekarang aku harus ke mana? Namun kebingunganku tidak berlangsung lama karena kemudian aku melihat sosok yang kukenal berjalan ke arahku. “Yes, I found her,” katanya pada seseorang di telepon sebelum dia menyimpan kembali ponselnya. Sorot matanya menatapku tajam. “Wah, sepertinya ada anak ayam kehilangan induknya nih,” celetuknya menjengkelkan. “Ada yang mau aku bicarakan sama Bang Tyaga,” kataku mengabaikan ucapannya. “Tentang pernikahan kita.” Mulut Tyaga yang sudah terbuka mengatup kembali. Sorot matanya tampak menyelidik, tapi aku memasang wajah datar. “Ikut aku,” katanya kemudian berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya. Dia membawaku menaiki lift lagi dan menuju lantai 60. Untuk mencapai ruangannya, kami harus melewati sebuah lorong yang lumayan panjang. Meski berjalan di depanku, kaki Tyaga melangkah pelan, seolah sengaja menyeimbangkan dengan kecepatan langkahku yang tertatih. Kini dia membukakan pintu untukku dan mengajakku masuk ke ruangannya. Begitu berada di dalam, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagumku. Bukan karena tempatnya yang luas dengan aneka furnitur berkelas, tapi landscape yang terpampang jelas di depan mata. Skyline kota Jakarta yang terdiri dari gedung-gedung pencakar langit dengan latar belakang birunya langit, tampak menawan sekaligus angkuh. Dan aku bisa melihat dari berbagai sudut karena dua sisi dinding ruangan ini adalah kaca. Tanpa sadar kakiku melangkah hingga ke tepi jendela dan memandang takjub apa yang ditawarkan di depan mataku. “Kamu mau bilang apa tadi?” tanya Tyaga membuatku tersadar. Aku langsung berbalik menghadapnya. “Aku mau buat kesepakatan,” kataku mengangkat ujung dagu, sementara mataku menatap tepat ke bola matanya. Alis Tyaga terangkat sebelah, salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas sehingga tercipta senyum miring yang sialnya terlihat menawan. “Kesepakatan?” tanyanya geli. Terdengar seperti ejekan buatku. “Ya, tentang tawaran Bang Tyaga soal pernikahan.” “Itu sudah bukan tawaran lagi, Moana, tapi rencana. Ingat orangtua kita sudah sepakat dengan keputusan itu.” “Terserah apa kata Bang Tyaga, yang jelas aku mau mengajukan syarat.” Lagi-lagi sorot matanya memancarkan rasa geli. Lama-lama aku merasa Tyaga ini memperlakukan aku seperti mainan penghiburnya. Dia tidak pernah terlihat serius saat berbicara denganku, bahkan untuk topik pernikahan yang seharusnya dibicarakan dengan sikap dewasa. “Well, tidak masalah. Kemari,” ajaknya menghampiriku dan membimbingku menuju meja kerjanya. “Duduk di sini,” dia memerintah sambil menarik kursinya yang besar, saking besarnya kursi itu sehingga begitu duduk, tubuhku seolah tenggelam. Lalu Tyaga mengeluarkan kertas dari laci meja dan meletakkan di depanku bersama pulpennya. “Kamu tulis syarat-syaratmu di sini, nanti aku bikinkan surat perjanjiannya.” Meski kalimat yang dia ucapkan terdengar serius, kenyataannya dia berkata sambil menahan tawa. Kemudian Tyaga menyingkir, duduk di sudut sofa sambil mengamatiku. Kaki kanannya terangkat dengan posisi pergelangan yang diletakkan di atas lutut kaki satunya. Punggungnya tersandar relaks, dia menopang dagu dengan siku yang ditumpukan pada lengan sofa, sementara posisi jari-jari tangannya agak menutupi mulut. Aku mengabaikan sikap mengejeknya dan dengan serius mulai menulis poin-poin persyaratanku. Belum selesai dengan tugasku mendadak pintu ruang kerja Tyaga diketuk dari luar. Aku mendongak, melihat pintu yang tadi sedikit terbuka itu kini terdorong. Seorang wanita berpenampilan rapi yang usianya mungkin mendekati 40 tahun berdiri di ambang pintu, terkejut saat melihatku. Wajahnya memerah, terlihat sekali tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu hampir mengatakan sesuatu ketika mendengar Tyaga memanggilnya. “Aku di sini, Maria!” Perhatian wanita yang dipanggil Maria itu beralih ke asal suara, dia melongokkan kepalanya melihat ke samping yang terhalang pintu, dan langsung mengangguk hormat pada Tyaga. “Maaf, saya tadi tidak melihat Bapak,” katanya, dia masih sempat melirikku sebelum berjalan menghampiri bosnya. “Ya, ya, ya, tidak apa-apa,” gumam Tyaga sambil menerima tumpukan kertas yang disodorkan Maria, kemudian mulai menelitinya satu-satu. “Oh ya, kenalkan, yang duduk di kursiku itu Milena, calon istriku,” lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian dari kertas-kertas yang ada di depannya. “Moana, ini Maria, sekretarisku. Kalian harus saling mengenal karena di masa depan kalian berdua akan banyak berinteraksi.” Keterkejutan di wajah Maria berlipat-lipat dari yang pertama. Dia terlihat hampir syok sampai tubuhnya menegang kaku. Melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk beramah tamah, aku lebih memilih pura-pura tidak mendengar. Lagipula Tyaga memperkenalkan kami dengan sikap sambil lalu karena perhatiannya tetap tertuju pada tumpukan kertas di depannya. “Bagian ini apa kamu tidak salah, Maria?” Nah, kan. Sekarang dia sibuk mengoreksi kesalahan-kesalahan Maria seolah tidak ingat baru memperkenalkan kami berdua. Sementara mereka berdiskusi, aku kembali melanjutkan kewajibanku. Beberapa menit setelah aku selesai, Maria berpamitan sambil membawa kembali tumpukan kertas yang tadi dia bawa. Kali ini dia sama sekali tidak melirik saat melewatiku. Aku memundurkan kursi dan berdiri, membawa catatanku pada Tyaga. “Kamu kenapa enggak bilang apa-apa waktu kuperkenalkan sama Maria?” tanyanya saat menerima catatanku. Oh, jadi dia memperhatikan? “Aku enggak enak, sekretaris Bang Tyaga kelihatannya enggak suka sama aku,” jawabku jujur. “Ah, perasaanmu saja. Dia pasti cuma kaget karena melihat ada anak kecil duduk di kursi bosnya,” ujarnya terkekeh. Aku mengarahkan bola mataku ke atas. Anak kecil katanya? “Oke ... sekarang kita lihat apa saja persyaratan yang harus kupenuhi agar bisa menikahimu...,” ucapnya lebih berupa gumaman. Pandangan matanya terfokus pada deretan kalimat yang aku tuliskan pada kertas yang berada di tangannya. Melihatnya tampak serius, tiba-tiba aku merasa cemas, perasaan gelisah menyerangku karena mendadak jantungku berdebar kencang. Bertanya-tanya seperti apa tanggapannya nanti begitu sudah membaca semua persyaratan yang aku buat? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD