Lima

1262 Words
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Kak Arka. Setelah pengakuan tidak etis Tyaga, Kak Arka sempat terlihat syok sebelum akhirnya tersenyum manis sambil mengucapkan selamat padaku. “Wah, selamat ya, Milena. Kamu kok enggak cerita-cerita ada kabar bahagia gini sih?” Aku menatap Kak Arka bingung sekaligus memelas, bagaimana cara menjelaskan permasalahan yang sebenarnya pada dia? Rasanya saat ini aku ingin sekali menangis. Dan seolah tidak memahami situasi, dengan santainya Tyaga meraih pundakku dalam pelukkannya. “Bukan salah Milena, baru diputuskan hari ini. Ya kan, Sayang?” ucapnya menoleh ke arahku. Aku melotot. Bergidik geli mendengar panggilan ‘sayang’ yang ditujukan padaku keluar dari bibirnya. Dengan gerakan halus aku memiringkan bahu sehingga lengan Tyaga lolos dari pundakku. “Kami dijodohkan,” sahutku asal, menatap Tyaga penuh rasa benci. Namun sepertinya reaksiku tidak berpengaruh apa-apa padanya, dia malah balas menatapku dengan sorot mata geli. Kata “oh” lolos dari bibir Kak Arka. Kemudian dia berkata, “Aku pulang dulu ya, Milena. Sudah sore nih.” Dia berpamitan yang hanya bisa kujawab dengan anggukan lemah. Melihat Kak Arka pergi seakan hatiku ikut terbawa olehnya, aku merasa sedih, terutama dengan apa yang baru saja terjadi di antara kami sebelum Tyaga datang merusuh. Motor CBR 150 yang dia naiki menjauh, pandanganku nanar menatap punggungnya. Sungguh menyedihkan, kelopak bungaku rontok bahkan sebelum berkembang. “Wah, wah, wah, ada yang patah hati nih,” celetuk Tyaga yang di telingaku terdengar seperti ejekan. Refleks aku meliriknya tajam, melemparkan tatapan membunuh sebelum masuk ke rumah meninggalkannya sendiri. Dari dalam aku mendengar suara tawanya yang renyah, seakan-akan apa yang baru saja terjadi merupakan hiburan untuknya. Demi Tuhan, aku membencinya, sangat membencinya! ****** Bunyi beruntun notifikasi dari ponsel mengganggu keasyikanku membaca, aku meletakkan buku dan mengambil benda pipih persegi yang tergeletak tidak jauh dariku. Sudah kuduga, pasti Kia. Dia mempunyai kebiasaan mengirimkan pesan pendek-pendek walau bisa dijadikan satu kalimat dalam satu pesan. Kia : Na. Kakak gue tadi pulang-pulang tanya ma gue. Gue tahu enggak elo mau nikah sama Kak Tyaga? Emang lo cerita apa sama dia? Tega banget lo bikin kakak gue patah hati. *emotikon ngakak* Milena : Gue pingin nangiiis…. :( Kia : Lho … lho…. Kenapa? Milena : Tyaga itu lhoo … dia ngeselin banget!!! Kia : Ngeselin gimana? Cerita dong sama gue. Milena : Tadi kakak lo ke sini, pas kita lagi ngobrol tahu-tahu Tyaga datang dan bilang kalo dia calon suami gue. Kan kesel! Kia tidak membalas, aku curiga dia sedang terpingkal-pingkal di kamarnya. Milena : Hey! Masih hidup lo? Kia : Sorry, sorry … gue enggak nyangka Kak Tyaga bisa semenggemaskan itu. Milena : What the h…. “Semenggemaskan” ha? Lo waras?! Kia : Ih, Milena. Mata lo saja yang sudah ditutup perasaan benci. Makanya enggak bisa lihat baik-baiknya Kak Tyaga. *emotikon ngakak guling-guling* Milena : Sudah ah, gue mau tidur. Nanggapin lo terus lama-lama bisa gila gue. Stiker tertawa terbahak-bahak dikirimkan Kia. Aku memutar bola mata, dan langsung meletakkan ponsel. Mood membacaku sudah hilang. Sambil berbaring telentang di atas kasur, pikiranku menerawang jauh. Lalu sudut mataku mengarah kembali pada ponsel yang tergeletak, berpikir sejenak sebelum menyambar benda itu. Ada dorongan yang sangat kuat untuk melihat media sosial si om-om tengil alias Tyaga, tapi setelah beberapa lama menggulir linimasanya, aku tidak menemukan apa-apa. Rupanya Tyaga tidak terlalu update di media sosial. Aku mengembuskan napas kecewa dan mengembalikan ponsel, memutuskan untuk tidur saja. Keesokan harinya aku terbangun dalam keadaan kusut. Sungguh sial karena Tyaga tidak hanya menggangguku di dunia nyata, tapi juga di alam mimpi. “Astaga, Milena! Kamu ngagetin Bunda saja,” seru Bunda ketika berpapasan denganku di ruang makan. Kemudian saat melihat wajahku, dia berdecak. “Rambut sama muka kamu kok bisa kusut gitu,” lanjutnya sambil geleng-geleng kepala. “Milena mimpi buruk, Bun.” Aku menjawab dengan gumaman, dan langsung menuju lemari es, menuangkan air dingin ke gelas yang kuambil dari atas kulkas. Bunda tertawa pelan. “Memangnya mimpi apa?” tanyanya, sementara tangannya dengan cekatan menata piring berisi tumisan kacang panjang, tempe, dan tahu goreng. “Milena mimpi menikah sama Bang Tyaga.” Kali ini Bunda tersenyum geli. “Kamu ini, kan memang kamu mau menikah sama Bang Tyaga.” Bahuku merosot, melangkah gontai menuju meja makan dan menarik kursinya, lalu duduk dengan lemas. “Bun,” panggilku lemah. “Hm….” “Apa Bunda yakin mau menikahkan Milena sama Bang Tyaga?” “Lho, bukannya kemarin kamu yang pertama mengusulkan ide itu?” “Iya sih, Bun … tapi—” Ucapanku terhenti. “Tapi apa?” Aku menggeleng, tidak tahu harus berkata apa. Kan tidak lucu kalau aku bilang, aku berubah pikiran karena Kak Arka mulai menunjukkan sinyal-sinyal ketertarikannya padaku. “Arka ganteng juga ya, Bunda baru memperhatikan,” gumam Bunda yang langsung membuat pipiku memanas. Senyumnya menggoda saat sudut matanya tertuju padaku. Bunda memang serba tahu! Aku buru-buru berdiri. “Milena mandi dulu, Bun,” kataku sambil mengeluyur ke belakang. Selesai mandi aku mendapati Bunda masih duduk di meja makan. “Lho, Bunda belum berangkat?” tanyaku heran sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Bunda menggeleng. “Bunda pingin makan berdua sama kamu, lama juga kita enggak sarapan bareng ya?” “Oh, kalau gitu Milena jemur handuk dulu ya, Bun.” Aku berbalik menuju belakang dan langsung kembali begitu sudah mengerjakan niatku. “Memangnya enggak apa-apa kalau Bunda terlambat?” tanyaku sambil menggeser kursi dan duduk di atasnya. Bunda tertawa. “Belum terlambat, Bunda masih punya waktu sepuluh menit,” ujarnya sambil membalik piring di depannya yang tadinya telungkup. Aku melakukan hal yang sama, mendorong piring ke tengah ketika Bunda mengisyaratkan akan mengambilkan nasi untukku. “Jangan banyak-banyak, Bun,” “Kenapa? Lagi diet?” Aku meringis. “Nggak kok, cuma lagi enggak nafsu makan.” Bunda hanya melirikku sambil mengulum senyum, lalu mengambilkanku sayur dan lauknya. “Makasih, Bun,” ucapku sambil menarik lagi piringku. Selama beberapa saat kami sama-sama terdiam, asyik menyantap sarapan kami. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. “Hm, Milena,” panggil Bunda memecah keheningan. Aku mengangkat kepalaku tanpa menjawab karena mulutku sibuk mengunyah. “Kalau Milena enggak mau menikah dengan Bang Tyaga, biar hari ini Bunda bicara sama Bu Irene.” Kutelan sisa nasi yang masih ada di mulutku, lalu mengambil gelas berisi air putih di sampingku dan meminumnya sedikit. Karena bingung mau menjawab apa, aku menyuap lagi makananku. “Kamu masih muda, Bunda bisa memahami kalau masih banyak hal yang ingin kamu capai. Kita kembali ke rencana awal saja ya? Biar Bunda jual tanah yang di kampung buat biaya kuliah kamu.” Keputusanku untuk terus makan di saat Bunda sedang bicara ternyata salah, sekarang ini tenggorokanku terasa serat sementara makanan yang di mulut menuntut untuk masuk. Susah payah aku berusaha menelannya. Perasaan haru menyeruak di dadaku. Aku tidak berani mengangkat kepalaku, karena jika aku berani melakukannya, Bunda akan tahu jika sudut mataku telah basah. Tiba-tiba Bunda berdiri. “Wah, Bunda sudah hampir terlambat. Bunda berangkat dulu ya, Mil, kamu terusin makan saja.” Tanpa menunggu jawabanku, Bunda terburu-buru pergi. Aku segera menghapus sudut mataku dan minum untuk melancarkan tenggorokan. Lalu sebelum Bunda benar-benar berlalu, aku memanggilnya. “Bun!” Bunda menoleh. Aku memasang senyum termanisku, lalu berkata, “Milena mau menikah sama Bang Tyaga kok, Bunda jangan bilang apa-apa sama Tante Irene ya?” Bunda menghela napas, dia terlihat seperti ingin berbicara tapi kemudian pandangannya mengarah pada jam di dinding. Pada akhirnya Bunda hanya bisa mendesah sambil kembali melangkah keluar. “Bunda enggak akan bilang ke Bu Irene sekarang, tapi nanti kita lanjutkan obrolan kita ya, Nak,” katanya, dan kemudian dia menghilang dari pandanganku. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD