Prolog
319 Words
Bayi mungil berjenis kelamin perempuan itu terlihat cantik dan menggemaskan, kulitnya putih, rambutnya legam dan tebal membingkai pipi montoknya yang bersemu kemerahan. Tyaga memandangi dari balik kaca, rasa haru sekaligus sedih menyeruak masuk, mendesak dadanya. Ucapan Estella beberapa bulan yang lalu terngiang kembali di telinganya.
“Gue mau aborsi.”
Saat itu Tyaga sampai tidak bisa bersuara saking terkejutnya.
“Jangan lihatin gue seperti itu, Ga. Lo tahu ini terlalu berat buat gue. Gue enggak mau nikah muda, gue masih pingin having fun, cari pengalaman seluas-luasnya,” sambung Estella yang melihat Tyaga hanya terdiam.
Mata Tyaga menyipit, ditatapnya dengan geram wanita yang menjadi kekasihnya selama setahun terakhir. “Dengan lo nikah bukan berarti lo enggak bisa cari pengalaman seluas-luasnya,” ucapnya dingin.
Estella menghela napas. “Gue mau sekolah fashion di Paris, Bokap sudah setuju.”
“Lalu hubungan kita?”
Suasana hening selama beberapa saat sebelum Estella menjatuhkan ultimatumnya. “Kita putus.”
Gorden jendela yang tertutup mengembalikan Tyaga ke masa sekarang. Reflek, pria itu melangkah mundur, menjauhkan wajahnya yang tadi hampir menempel pada kaca jendela ruang NICU. Tyaga menyugar rambutnya, napasnya terdengar berat. Ada banyak beban yang ia tanggung. Salah satunya adalah masa depan bayi mungil yang baru saja ia lihat.
“Fine, kita putus,” ujar Tyaga tenang, “Tapi gue minta lo jangan aborsi.”
Spontan Estella menggeleng. “Nggak, gue tetap mau aborsi.”
“Bayi itu anak gue, La. Lo enggak berhak melenyapkan dia tanpa izin dari gue.”
“Dia bahkan belum bernyawa!” teriak Estella marah, tidak dipedulikannya segelintir orang yang juga sedang berada di kafe tempat mereka bertemu.
“Gue enggak peduli. Lo tunda keberangkatan lo ke Paris, lo lahirin anak gue, atau gue paksa lo nikah sama gue sekarang juga.” Tatapan Tyaga tajam menusuk jantung Estella.
Wanita itu tahu Tyaga serius. Dan Estella juga tahu jika Tyaga sudah berkehendak, tidak akan ada yang bisa menghalanginya.
-tbc-
- Writer
