Satu

1298 Words
Begitu memasuki pintu gerbang yang dibukakan satpam, aku memelankan laju motor matikku. Mereka yang tidak mengenalku mungkin akan berpikir aku gadis yang sangat bersahaja, tinggal di sebuah rumah yang begitu megah, tapi ke mana-mana menaiki motor matik butut yang bunyinya mengusik indra pendengaran. Mereka mana tahu aku hanya anak salah satu asisten rumah tangga di sini. Mataku menyipit saat melihat seseorang yang berjalan tergesa dari arah depan, aku mengenalinya. Bang Tyaga, begitu aku memanggilnya. Tapi meski panggilan itu terdengar akrab, pada kenyataannya kami tidak sedekat itu. Jika setiap orang diberi wewenang bisa melenyapkan satu orang dalam kehidupannya, percayalah, aku pasti akan menunjuk Tyaga. Kami berpapasan, aku pura-pura tidak melihatnya, tapi sepertinya dia tidak menyadari sedang berpapasan denganku, untunglah. Meski menurutku agak aneh karena tidak biasanya Tyaga seperti itu, wajahnya juga kelihatan sedang memikirkan sesuatu. “Moana!” Di bumi ini, hanya Tyaga satu-satunya orang yang memanggilku Moana. Penyebabnya apa lagi kalau bukan rambut panjang keriting dan kulit gelapku yang sama sekali tidak kubanggakan. Aku pura-pura tidak mendengar, menambah kecepatan motor matikku. “Hey, Moana!” teriaknya lebih keras. Rasanya mustahil aku tidak mendengar panggilannya kecuali kalau aku mau dibilang tuli. Aku menahan laju motor dengan kakiku, menoleh padanya, jarak kami tidak lebih dari lima meter. “Iya, Bang,” jawabku malas. Pria itu menghampiriku. “Harus dua kali ya, manggil kamu?” “Namaku bukan Moana, Bang, tapi Milena.” Cengiran lebar terpasang di wajahnya. “Sama sajalah, sama-sama diawali huruf M dan diakhiri huruf A,” kilahnya. Aku mengarahkan bola mataku ke atas. “Ada apa Bang Tyaga manggil aku?” tanyaku to the point, tidak ingin berlama-lama dengannya. “Kamu mau jadi istriku, Mo?” Kalau aku lagi minum, pasti sudah tersedak. Seperti itu kan adegan-adegan di dalam n****+? Tapi berhubung ini bukan n****+ dan aku tidak sedang minum, reaksi yang aku tunjukkan padanya hanyalah cibiran. “Bang Tyaga sakit? Otaknya barangkali,” sindirku pedas. Kalau ada yang bilang aku kurang ajar sama anak majikan, pasti karena dia belum mengenal siapa makhluk bernama Tyaga ini. Tapi tenang saja, seburuk apa pun aku  memperlakukannya, Tyaga tidak pernah marah. “Kita ngobrol di rumah saja, yuk!” ajaknya sambil naik ke boncengan motorku. Nah, kan? Aku menghentikan motor di depan paviliun yang kutinggali bersama Bunda, membuka pengait helm dan melepasnya dari kepalaku. Baru saja aku meletakkan benda itu pada setang motor, Tyaga sudah menarikku. “Apaan sih!” protesku sambil berusaha melepaskan tanganku, tapi genggamannya justru semakin kuat. Akhirnya aku hanya bisa pasrah saat dia membawaku ke bangunan utama. Tyaga mengajakku memasuki sebuah ruangan yang disebut Ruang Putih. Ya, saking banyaknya ruangan di rumah ini, penghuninya memberikan nama pada ruangan-ruangan yang sering digunakan bersama untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya Tyaga ingin berbicara dengan Tante Irene, dan berkata, ‘Aku tunggu di ruang keluarga ya, Ma’, padahal ada tiga ruang keluarga di sini. Jika Tyaga hanya menyebutkan ‘ruang keluarga’ tentu Tante Irene bingung ruang keluarga mana yang dimaksud putranya? Begitulah. Di Ruang Putih, Tante Irene sedang sibuk dengan laptopnya, kacamata mungil bergagang bening bertengger di hidungnya yang mancung. “Ini, Ma,” kata Tyaga. Entah apa yang dia maksud dengan kata ‘ini’. Tante Irene menoleh, tersenyum ramah padaku. “Ada apa ini, Tyaga?” Suara Tente Irene enak didengar, agak serak tapi terdengar empuk. For your information, keluarga Tyaga ini bukan golongan OKB alias Orang Kaya Baru yang begitu mendewakan uang dan jabatan. Mereka orang-orang berpendidikan yang memiliki attitude terpuji. Bersikap merendahkan orang lain tidak ada dalam kamus mereka. Tidak heran jika Tante Irene memintaku memanggilnya ‘tante’ dan suaminya dengan panggilan ‘om’. “Tadi Mama bilang aku harus cari istri, kan? Aku sudah dapat, ini dia,”  kata Tyaga mengangkat tanganku yang sedang digenggamnya. Tante Irene memandangku, raut mukanya tampak geli, sepertinya karena melihat ekspresiku yang syok. “Jangan main-main, Tyaga. Milena masih 18 tahun,” ujar beliau lembut. “Batas minimal menikah bagi wanita sekarang 19 tahun.” “Bulan Januari besok kan umur Moana sudah 19 tahun.” Aku tidak mengira dia masih mengingat bulan kelahiranku. “Memangnya Milena mau?” Aku cepat-cepat menggeleng. Tyaga berpaling padaku, menatapku kesal. “Kenapa enggak mau?” tanyanya. “Kenapa aku harus mau?” Aku balik bertanya. Mendengar jawabanku tiba-tiba dia menyeretku lagi. “Milena pergi dulu, Tante,” pamitku sebelum benar-benar keluar dari Ruang Putih, Tante Irene hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebenarnya apa yang aku sebut “menyeret” itu tidak bisa dibilang “menyeret”, lebih tepat disebut “menggandeng dengan sedikit memaksa”, karena jika Tyaga benar-benar menyeret, dengan kondisi kakiku yang pincang, aku akan kesulitan mengikutinya. Dia membawaku ke garasi dan menyuruhku masuk ke salah satu mobilnya. Kemudian dia melajukan kendaraannya melintasi halaman yang selebar lapangan sepak bola menuju jalan raya. Mobil berhenti di depan rumah sakit. “Ikut aku,” katanya sambil keluar dari mobil. Dia berjalan lebih dulu di depanku, aku harus berlari kecil agar bisa mengikuti langkahnya yang lebar. Kami menaiki lift. Tanpa banyak bicara, Tyaga membawaku ke jendela kaca sebuah ruangan, yang kuketahui kemudian sebagai ruang NICU. Dia bergeser ke samping, memberikan tempat agar aku bisa melihat ke dalam. Lalu menunjuk sebuah inkubator berisi bayi mungil yang sedang terlelap. “Dialah alasan kenapa kamu harus mau menikah denganku,” gumamnya parau. “Itu anak Bang Tyaga?” tanyaku lagi-lagi merasa syok. “Ya. Aku putus sama Estella, dia enggak mau merawat Arora karena ingin melanjutkan sekolah fashion di Paris.” Aku tahu Tyaga memiliki kekasih bernama Estella, kalau tidak salah mereka sudah berpacaran selama satu tahun. Namun baru kali ini aku tahu mereka sudah putus. “Namanya Arora?” “Arora Quinne Ralna.” Aku tidak mengerti. Kalau tujuannya agar ada yang merawat Arora, kenapa Tyaga tidak cari baby sitter saja daripada repot-repot mencari istri? “Aku enggak mau anakku merasa berbeda, dia harus punya mama seperti anak-anak yang lain.” Aku menoleh cepat ke arahnya, mataku menyipit, curiga dia bisa membaca pikiranku. Tyaga mengarahkan bola matanya ke atas. “Nggak. Aku enggak bisa baca pikiranmu. Apa yang ada di otak kamu itu bisa dilihat jelas dari gestur tubuhmu.” Sejelas itu? “Bahkan tanpa melihat wajahmu,” kekehnya. Aku menatapnya datar, kemudian kembali memalingkan wajah melihat bayi mungil di dalam inkubator. “Jadi gimana?” tanya Tyaga saat kami sudah berada di mobil. “Kamu mau jadi istriku?” Aku menggeleng. Aku tidak ingin menggadaikan hidupku dengan menikahi pria macam Tyaga. “Kamu enggak kasihan sama aku?” “Enggak. Ngapain kasihan sama Bang Tyaga? Kayak kurang kerjaan saja.” “Kamu tuh ya, jarang ngomong sekalinya ngomong pedesss bener.” Aku menatap keluar jendela, menghindari beradu pandang dengannya. Keadaan di kabin mobil hening selama beberapa saat. Sampai Tyaga kembali bersuara. “Kamu jadi kuliah kedokteran?” topik pembicaraan yang dia pilih berhasil menarik perhatianku. Aku menoleh padanya. “Bang Tyaga tahu dari mana?” tanyaku. “Dari Bunda.” Dia memanggil ibuku dengan sebutan Bunda juga. Aku kembali mengarahkan pandangan ke luar jendela. “Nggak jadi,” kataku pendek. “Kenapa? Bukannya itu impian kamu sejak kecil?” Harus aku jawab ya? Memangnya dia enggak bisa lihat aku cuma anak ART? “Kalau kamu mau jadi istriku, kamu bisa mewujudkan impian kamu sekolah kedokteran.” Wait! “Aku yang tanggung biayanya.” “Bang Tyaga mau menyuap aku?!” “Nggak perlu dijawab sekarang, pikirkan saja dulu,” jawab Tyaga kalem. Pandangan matanya lurus ke depan, tapi aku masih bisa menangkap sudut bibirnya yang terangkat membentuk senyum tipis. Aku tahu apa yang dia pikirkan, pasti Tyaga mengira pada akhirnya aku akan menuruti permintaannya. Cih, jangan harap! Aku memang idealis, tapi aku masih punya harga diri untuk menggadaikan hidupku pada laki-laki seperti Tyaga. Aku harus menyebut dia apa ya?  Hm … “Penghancur Masa Depan” sepertinya cocok menjadi julukannya, pikirku sinis. -tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD