Sembilan

1268 Words
Jasmine terbangun dengan suara ponselnya yang keras dan berada tepat di dekat bantalnya. Jantungnya berdebar dan kepalanya sedikit pusing karena dipaksa bangun dengan tiba-tiba. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat id si penelepon.  "Jonathan k*****t!" maki Jasmine pelan, apalagi saat melihat jam di layar ponselnya masih jam setengah lima pagi, dan Jasmine tidak terbiasa bangun jam segitu, biasanya dia baru bangun jam enam pagi.  "Hallo pak," jawabnya dengan nada suaranya yang di buat pelan dan serak, hal itu dia lakukan agar pria itu kalau dia, sudah mengganggu jam istirahat Jasmine. "Selamat pagi Jasmine,"  ucap Jonathan dari sebrang sana, terdengar tidak merasa bersalah sedikit pun. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Jasmine enggan tanpa membalas sapaan Jonathan. "Tidak ada, saya hanya mengetes kamu sudah bangun atau belum. Dan ternyata kamu sudah bangun, kalau begitu saya tutup dulu teleponnya."  Lalu tanpa menunggu balasan dari Jasmine, Jonathan mematikan sambungan telepon. Jasmine melihat layar ponselnya yang gelap dengan kekesalan yang luar biasa, baru bekerja satu minggu dengan Jonathan, dia sudah dibuat kesal. Ini bukan pertamakalinya Jasmine di telepon di jam yang tidak wajar. Seperti dua hari yang lalu, pria itu meneleponnya jam tiga subuh, hanya untuk mengatakan kalau dia tidak bisa tidur. Benar-benar kurang kerjaan. Jasmine meletakkan ponselnya di meja rias dengan sedikit kasar, dia ingin tidur lagi tapi matanya sudah tidak bisa diajakn kompromi. Jasmine memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan masuk ke dapur sebelum itu dia mencuci wajahnya dan menggosok giginya terlebih dahulu.  Karena tidak mengantuk lagi, dia kemudian membersihkan rumahnya, mulai dari menyapu dan mengepel lalu mengumpulkan pakain kotor dan mencucinya.  Jasmine menyugar rambutnya yang basah setelah mandi, dia duduk di depan meja rias kecil miliknya. Jam setengah tujuh, dia telah selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya termasuk memasak sarapan dan bekal makan siangnya. Jasmine tidak lupa juga untuk menyiapkan satu bekal untuk Jordan.  *** Jasmine menghampiri Jordan dan memberikan bekal yang sudah siapkan untuk anak itu. "Dihabiskan iya," ucap Jasmine yang di balas anggukan oleh Jordan. "Kenapa nggak makan sama teman-teman kamu?" tanya Jasmine yang melihat Jordan yang  langsung membuka bekalnya di hadapan Jasmine lalu tanpa menunggu lama dia mulai makan dengan teratur. Mereka saat ini sedang berada di kantin sekolah. "Nanti mereka minta makan siang Jo, Jo nggak suka bagi makanan yang Bu Jasmine buatkan," kata anak itu seraya fokus melahap makanannya. "Bu Jasmine, Mikha boleh makan di sini?" Mikhayla mendekat dengan kotak makan di tangannya.  "Boleh, sini ayo duduk," kata Jasmine mempersilhkan Mikhayla duduk.  "Tante Mira mana?" Mira biasanya selalu menenmani gadis kecil itu, tapi hari ini dia tidak melihat sahabatnya itu. "Tante Mira sakit, jadi nggak ikut sekolah," jawab Mikha lugas, pandangannya jatuh pada Jordan yang makan dengan lahap. "Hai. Apa aku boleh minta itu?" Mikha menunjukan nuget karakter yang ada di dalam kotak makan Jordan. Jordan mengangkat kepalanya dan melihat Mikha dengan intens. Dia kemudian memindahkan semua nuget yang ada di kotak makannya ke dalam kotak makan Mikha.  "Ini buat kamu," ucapnya sambil tersenyum manis. Jasmine mengerutkan alisnya, seingatnya tadi Jordan mengatakan tidak ingin membagi makanannya dengan siapapun. Mikha hanya meminta satu dan langsung di kasih semua, dia hanya memakan sayuran sebagai lauknya.  "Terimakasih, Jordan," ucapnya Mikha. Jordan hanya mengangguk, tapi senyum di bibirnya tidak pernah pudar. Apalagi saat Mikhayla memindahkan ayam goreng ke kotak makan Jordan sebagai ganti nugetnya.  "Nanti kita main sama-sama, iya?" Ajak Mikha setelah menghabiskan makannya. "Boleh, kamu main apa?" Tanya Jordan, menyetujui ajakn Mikha "Main kerajaan," jawab Mikha dengan semangat. Jordan mengangguk. "Boleh," katanya lagi. Mikhayla kemudian semakin antusias.  "Di istana kita nanti, kamu mau peran apa?" Tanya Mikha lagi.  "Kamu mau aku jadi apa?" Jordan malah balik bertanya. Jasmine yang mendengarnya hanya bisa bengong di buatnya.  "Kamu jadi pangeran dan aku jadi putri," jawab Mikha.  "Oke."  Jordan kembali mengangguk, mereka lalu berbincang lagi hingga jam istirahat habis. *** Jasmine membawa tas sekolah Jordan dan bocah itu berjalan di depannya sambil menggandeng tangan Mikha keluar dari gerbang sekolah. Keduanya kemudian berpisah saat jemputan Mikha datang lebih dulu.  "Jo, senang berteman dengan Mikha?" Goda Jasmine. Jordan mengangguk antusias, "Jo, suka Mikha," jawabnya jujur. Ternyata bocah itu masih konsisten dengan perasaan sukanya kepada Mikha. "Eh, Bu Jasmine belum pulang?" Seorang rekan sesama guru datang menghampiri mereka yang sedang menunggu Jonathan menjemput.  "Eh, iya, Pak Dimas" jawab Jasmine canggung, dia tidak dekat dengan Pak Dimas. Pria itu mengajar di kelas enam, sebagai guru bahasa inggris.  "Kebetulan saya juga sudah selesai mengajar, hari ini cuma ngajar dua jam pelajaran. Mau saya antar pulang?" "Tidak Pak Guru, terimakasih" Bukan Jasmine yang memberikan jawaban melainkan Jordan. Bocah itu melihat Dimas dengan tatapan tidak suka. Dia merasa pria itu memiliki maksud yang tidak baik. "Keponakannya iya, Bu?" Tanya Dimas tanpa menghiraukan penolakan Jordan.  "Bukan, saya jagain dia setelah pulang sekolah. Biasalah Pak, buat tambahan," kata Jasmine jujur. "Wah, sama dong bu. Saya juga nyari tambahan, setelah ini saya ngajar les privat untuk tiga orang anak SMP. Bayarannya lumayan besar," kata Dimas membanggakan dirinya sendiri. "Selain itu saya juga punya usaha ternak ayam dan bebek, jadi kalau di hitung-hitung penghasilas saya sebulan itu lima belas juta ke ataslah," tambah pria itu lagi.  Jasmine tidak tahu harus menjawab seperti apa, jadi hanya mengangguk dan tersenyum kaku.  "Jadi, Bu Jasmine mau saya antar? Saya baru beli mobil, Bu, siapa tahu Bu Jasmine mau nyobain naik mobil baru saya," ucap pria itu lagi.  "Nggak usah Pak Dimas, kami ada yang jemput kok." Tolak Jasmine lagi. Jasmine benar-benar tidak suka dengan gaya bicara Dimas yang terkesan sombong. Wajah Dimas terlihat masam mendengar penolakan Jasmine.  "Kalau begitu saya duluan deh, Bu Jasmine." "Silahkan, Pak Dimas," jawab Jasmine dengan sopan.  *** Jasmine baru saja pulang di antar supir pribadi Jonathan, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.  "Pa, masa tadi siang ada guru yang ngajakin Bu Jasmine pulang," kata Jordan mulai bercerita.  "Oh iya?" tannya Jonathan mengalihkan tatapannya pada sang  anak. Jordan mengangguk semangat. "Namanya Pak Dimas, guru Bahasa Ingris. Katanya lagi, Pa, dia baru beli mobil Avanza, penghasilannya perbulan lebih dari limabelas juta." Jordan mengatakan semua hal yang di dengarnya tadi siang pada papanya.  "Terus gimana reaksi Bu Jasmine?" tanya Jonathan penasaran. "Jordan rasa, Bu Jasmine tidak suka, Pa. Bu Jasmie kayak jijik gitu, Pa." Meskipun baru berusia enam tahun empat bulan, Jordan sudah bisa menebak berbagai ekspresi setiap orang.  Jonathan mengangguk pelan, "Bilang ke papa kalau orang itu masi mengganggu Bu Jasmine lagi." Dengan koneksinya Jonathan bisa dengan mudah menyingkarkan orang itu, menjauh dari kota ini.  "Pa, Jo sudah mengantuk." Jordan menguap lebar-lebar, lalu merebahkan kepalanya di kaki Jonathan. Jonathan mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepalanya anaknya. Lalu tidak lama Jordan sudah tertidur, terlihat dari dadanya yang bergerak teratur.  Jonathan meletakkan ponselnya di atas meja, lalu membawa Jordan ke dalam gendongannya. Dia kemudian berdiri dan memasuki lift, menekan angka tiga menuju kamar Jordan.  Jonathan merebahkan Jordan dengan pelan, lalu menarik selimut hingga batas d**a. Jonathan mengusap kening Jordan sekali lagi, sebelum keluar dari kamar Jordan. Dia kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Saat masuk ke kamarnya Jonathan di sambut sebuah foto perempuan dengan ukuran besar. Dia berdiri di sana cukup lama, memandangi foto mendiang istrinya yang tersenyum lebar dengan perutnya yang buncit. "Sayang, bagaimana kabar mu dengan putri kita?" Tangan Jordan terangkat mengusap foto itu.  "Sayang, apa kamu tahu, apa yang aku rasakan sekarang?" Tanya Jordan lagi, namun sama seperti sebelumnya, pertanyaannya tetap tidak mendapat jawaban.  "Aku merasa kamu hidup lagi, namun dengan sifat yang berbeda. Apakah kamu marah, jika aku mengatakan kalau aku tertarik dengan perempuan yang mirip dengan kamu itu?" Jonathan membayangkan wajah Jasmine lalu kembali melihat wajah mendiang istrinya, setelah merasa cukup, dia kemudian berbalik dan naik ke ranjangnya.  "Semat malam Valerie," ucapnya dan menarik selimut lalu memejamkan matanya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD