Lili keluar dari ruang kelas dengan muka suntuk, ini adalah jam terakhirnya. Tapi berakhirnya jam tersebut tidak serta merta mengakhiri tugas-tugas lainnya, yang ada makin bertambah pula deretan tugasnya.
Seorang gadis yang baru saja keluar dari ruangan yang sama dengannya menepuk bahunya pelan, gadis itu memasang ekspresi hampir sama dengan Lili.
“Hai Jils, aku merasa kalau Mr.Yosh kali ini sangat keterlaluan. Ugh! aku ingin menyewa joki untuk mengerjakan tugasku, kau berminat?”
Gadis itu menggerutu dijalanan koridor yang mereka lewati, siapa lagi yang selalu memanggil Lili dengan nama tengahnya selain Margrit. Mereka berdua sudah seperti saudara yang lengket, baik Lili maupun Margrit sama-sama memiliki hobi dan kesenangan yang sama.
Lili menggeleng tidak setuju dengan ajakan Margrit, bisa habis jika ketahuan oleh orangtuanya dan lebihnya lagi Anderson.
“Kau sengaja membunuhku jika sampai Anderson tahu, aku pastikan kakakku itu tidak akan membiarkan adiknya bersantai sementara tugasku dikerjakan oleh orang lain.” Ujar Lili dengan sembari mendengus kesal.
“Sepertinya begitu, jadi kau harus menjadi anak yang rajin ya.” Margrit terkikik geli ketika melihat raut wajah cemberut sahabatnya, ia menepuk-nepuk pelan kepala Lili membuat sang empunya bertambah kesal.
“Tertawalah sesukamu.” Ketus Lili, selanjutnya ia melenggang pergi menjauh dari sana karena bosan mendengar ocehan dari Margrit yang tak bermutu itu.
Lili meninggalkan Margrit diambang pintu masuk gedung, gadis itu benar-benar bahagia dibawah penderitaan Lili. Oh ayolah! Margrit dikota ini tinggal di apartemen sewaannya, uang mengalir
direkeningnya. Tentu saja hal itu memudahkan segalanya, keluarga Margrit cukup disegani karena kakeknya adalah seorang mantan gubernur.
“Jils, kenapa kau meninggalkanku.”
Teriakan Margrit membuat telinga siapapun yang mendengarnya merasa terganggu, tak terkecuali kumpulan pemuda pemudi yang menatapnya sambil mencibir.
Sementara Lili berniat menuju kantor ayahnya, mungkin disana ia akan menemukan Anderson lalu meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas akhir. Ia melewati gerbang kampus menuju halte pemberhentian kendaraan umum, ia tidak membawa kendaraan pribadi karena malas jika harus mengendarainya sendiri.
Baru saja ia akan menyetop bis kota, tepukan di bahunya menghentikan langkahnya.
Lili menoleh untuk melihat siapa pemilik tangan kokoh itu, saat berbalik ia mendapati orang yang paling dihindarinya sedang berdiri menatapnya.
“Hello, my lil sweetheart.”
Tubuhnya mematung ditempat, ia tidak berani menatap netra orang dihadapannya. Ia segera mengambil ancang-ancang untuk lari menjauh, tapi sebuah suara menghentikan niatannya.
“Jangan menjauhiku lagi, aku sudah cukup bersabar untuk memberimu waktu.” Suara itu mempertegas kenyataan yang Lili lupakan, tubuhnya bergetar ketakutan.
“Jaden, tidak seharusnya kau berada disini.”
Lili masih setia menatap sepasang sepatu yang sama sekali tidak menarik, hanya karena tidak ingin bersitatap dengan netra pria bernama Jaden.
Sedangkan Jaden meraih dagu Lili agar menatapnya, mau tak mau Lili terpaksa mendongak menatap dalam mata
Jaden. Tidak, jangan lagi.
“Sejauh apapun kau lari, aku akan mendapatkanmu.” Tukas Jaden dengan aksen beratnya.
Margrit yang berada tak jauh dari mereka hanya diam menyaksikan, dalam hatinya ia menggerutu karena Lili tidak pernah menceritakan bahwa sudah memiliki kekasih yang tampan.
Lili yang melihat keberadaan Margrit berusaha meminta pertolongan, tapi lihatlah gadis itu malah tersenyum menggodanya.
Argh, Margrit! Kenapa kau tidak bisa diandalkan disaat-saat seperti ini.
“Tatap mataku, my lil.”
Lili berusaha memberontak, ia tidak ingin berada dalam kungkungan pria itu. Jaden menatap Lili dengan sarat akan kerinduan, Lilinya masih sama seperti satu tahun yang lalu. Manis dan suka memberontak, itu yang menarik pada diri Lili.
“Please, Jee. Let me go!” Gumam Lili dengan pasrah, entah mengabur kemana sifat membangkangnya saat ini.
Jaden tersenyum mendengar panggilan istimewa yang keluar dari bibir gadisnya, panggilan yang paling ia sukai di dunia ini. Bukan membiarkan Lili terlepas, Jaden semakin menepis jarak diantara keduanya. Ia merindukan suara merdu gadis itu saat memanggil namanya, membuat perutnya seperti digelitik kupu-kupu berterbangan. Bahkan kini jari jemarinya dengan berani mengelus pipi hingga bibir Lili, sementara gadis itu hanya bisa menahan hasrat yang timbul dihatinya.
Ia menyukai sentuhan lembut Jaden, ia menikmatinya.
Satu tetes air mata lolos dari netra tajam tersebut. “Aku merindukanmu, Lili.”
Bisa Lili lihat kedalam netra abu-abu milik Jaden, disana ada sebuah ketulusan. Tapi mengingat masa lalu Jaden yang kelam serta perbuatan pria itu membuat Lili menepis semua rasa berdebar yang timbul dihatinya, ia kembali mengokohkan benteng kebekuan dihatinya.
“Please, forgive me.” Jaden mendekati telinga Lili, ingin memberikan kecupan disana. Tapi terlebih dulu Lili bisa melepaskan diri dari kukuhan Jaden, ia menatap pria itu sekali lagi sebelum benar-benar pergi darisana.
“Aku tidak bisa, Jaden.”
Lili akhirnya bisa melepaskan cengkraman tangan Jaden, ia berlari menjauh dari tempat itu lalu menyetop bis yang sudah berjalan pelan menjauh. Lili mengejar bis tersebut lalu melompat ke dalamnya, ia dapat melihat Jaden yang masih memandanginya.
Terdapat satu jok kosong paling belakang, Lili mendudukkan dirinya disana sembari memejamkan mata menyegarkan pikirannya. Mengapa disaat waktu sudah lama berlalu malah pria itu kembali, Lili tidak mengharapkan pria itu.
Jujur saja ini terlalu berat untuknya dipikul, lebih baik pria itu menghilang dari hadapannya untuk selamanya daripada muncul membawa luka.
Akankah ia bisa melarikan diri dari Jeenya?
Tentu saja itu sangat sulit, bahkan sebuah angan-angan semata untuk Lili. Jaden tidak akan semudah itu melepaskan dirinya, obsesi cinta yang dimiliki Jade pada Lili membuat pria itu rela menghalalkan segala cara untuk memilikinya. Apalagi saat memimirkan bagaimana tersiksanya Jaden yang harus menjaga jarak selama satu tahun dari Lili, Jaden hampir setiap hari melampiaskan rindu tersebut dengan hal-hal negatif