Tolong diingat baik-baik untuk semua yang membaca cerita saya.
Ini cerita saya, yang menulis saya, yang mengarang saya. Sepenuhnya cerita ini adalah hak saya!
Kalau kalian suka sama cerita saya ya silakan baca dan dinikmati. Kalau kalian tidak suka, silakan berhenti membaca dan jangan dilanjutkan.
Cerita saya, suka-suka saya!
Ada yang tidak suka, silakan cari bacaan lain.
***
Sementara Zulla, sang kakak sedang sibuk menuju tempat sarapan dengan Alfa di luar. Berbeda dengan Yudha yang masih berbaring di atas ranjang. Matanya masih terpejam kuat-kuat sambil memeluk guling. Putra kedua Marsel itu belum tahu kalau semalam dia tidur dengan seorang gadis.
Hari semakin siang, bahkan sekarang sudah pukul sepuluh pagi. Yudha sepertinya begitu kelelahan ditambah pengaruh alkohol.
Lima menit berlalu, Yudha menggerakkan badannya. Matanya terbuka dan dia mencoba memanggil seluruh nyawanya. Saat sedang menunggu dirinya sampai sadar, mata Yudha menangkap ada hal aneh tergeletak di lantai. Guna memastikan yang dia lihat benar atau bukan, Yudha sampai mengerjapkan mata berulang kali.
"Kenapa ada dress di sini?" tanyanya bingung saat menyadari bahwa yang tergeletak di lantai tadi adalah dress berwarna merah cabai.
Yudha bangun dan berniat melihat dress tadi lebih dekat. Namun ketika bangun, dia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Setelah melihat ke bawah, Yudha syok mendapati dia tidak memakai pakaian sehelai pun.
"Gue kenapa? Gue ngapain telanjang? Gue di mana?" bingungnya sambil memungut celana dalamnya yang juga tergeletak di bawah.
"Gue lagi mimpi apa ya?"
Ketika akan berbaring ke ranjang lagi, Yudha dikagetkan oleh adanya Gladys yang tidur di sana dengan keadaan sama seperti dirinya tadi, tanpa busana. Untung saja, tubuh Gladys tertutup selimut sampai batas dadanya.
"Mak lampir ngapain ada di sini?" tanyanya lagi yang masih kebingungan.
Gue mau lo.
Jangan, gue belum pernah kayak gini.
Tenang aja, gue bakal pelan-pelan.
Mata Yudha membulat ketika dia tidak sengaja mengingat kelebatan kejadian semalam bersama perempuan yang masih sibuk tidur.
Dug!
"Awh..." pekiknya setelah dia memukul kepalanya sendiri cukup keras.
Perlahan-lahan, Yudha mendekat ke arah Gladys. Takut-takut Yudha memegang bahu Gladys dan menggoyangkannya pelan berharap gadis itu akan segera bangun.
"Heh..." panggil Yudha kasar.
"Heh... Mak lampir." panggilnya lagi.
Karena dengan menggoyangkan pelan lengannya, Gladys tak juga bereaksi, akhirnya Yudha menjambak rambut panjang perempuan yang dia perkiraan semalam sudah tidur dengannya.
"Arhk...! Siapa sih yang ganggu tidur gue! Kurang ajar ba-"
Kata-kata Gladys terhenti di awang-awang ketika dia membuka mata melihat ada Yudha di sampingnya sambil bertelanjang d**a.
"Huaaa...!!!" teriak Gladys tak kira-kira sambil menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.
Suara Gladys yang begitu melengking, membuat Yudha sampai menutup kedua telinganya.
"Lo... Lo, ngapain di sini hah? Ngapain juga lo pakai telanjang?!" tanya Gladys dengan nada kencang tapi juga gugup.
Yudha merutuki kebodohannya lagi. Dia segera memakai kaos dan celana denimnya. Tapi tak berselang lama, teriakan Gladys kembali memekakkan telinga Yudha. Ketika menoleh, sepertinya wanita itu kaget akan kondisinya yang tidak memakai apa-apa.
"Lo ngapain gue hah?! Kenapa gue bisa naked kayak begini?!" cecar Gladys lagi pada Yudha.
Dengan gerakan tangannya, Yudha meminta Gladys agar tenang terlebih dahulu. Dan Gladys menurutinya meski masih bingung.
Eum... Gue capek.
Ayo, lagi. Sekali lagi, habis ini kita udahan.
Oke, sekali lagi.
Kini ganti Gladys yang sedikit mengingat kejadian semalam. Dia tidak percaya kalau yang semalam itu dia dan Yudha.
"Asli, gue enggak sengaja beneran. Gue berani sumpah, gue enggak ada niat buat ngapa-ngapain cewek kayak lo." kata Yudha dengan nada sedikit takut-takut.
Mata Gladys menatap nyalang ke arah Yudha. Dia mengambil bantal di sampingnya dan melemparkan ke arah Yudha sampai mengenai lelaki itu.
"Gue cuma mau nanya, berapa kali kita ngelakuinnya?" tanya Gladys sambil memejamkan matanya.
Yudha seperti mengingat-ingat, tapi dia menggelengkan kepalanya.
"Gue enggak ingat. Tapi kayaknya lebih dari dua kali." katanya lirih.
"Terus, lo keluarin di dalam apa di luar?" Gladys masih lanjut bertanya.
"Di dalam, kayaknya..."
Di sini, Yudha benar-benar seperti orang bodoh. Dia tidak ada keberanian buat membalas teriakan atau bentakan Gladys padanya. Yudha akui, dia yang paling bersalah di sini.
"Lo b**o banget sih! Terus kalau gue hamil gimana?!" teriak Gladys setengah frustrasi.
Hamil?
Dunia Yudha terasa runtuh mendengar kata itu. Bagaimana kalau pertanyaan dan ketakutan Gladys benar jadi kenyataan? Dia juga tidak siap jadi papa muda. Terlebih lagi papa dari anak yang akan dilahirkan oleh perempuan yang selalu dia panggil mak lampir.
"Hamil?" Yudha malah bertanya pada Gladys bagaikan orang bodoh.
"Keluar lo sekarang dari kamar gue!" usir Gladys sambil menunjuk pintu kamar hotelnya.
Satu hal yang paling tidak dimengerti oleh Yudha, kenapa dia tidak melihat Gladys menangis. Bahkan matanya tidak berkaca-kaca sama sekali.
"Keluar!" teriak Gladys lagi.
"Hah? Ini kamar gue. Mending sekarang lo pakai baju lo, terus balik ke kamar." Yudha masih berusaha baik pada Gladys.
Mata Gladys sudah hampir keluar, dia kini menghela napas panjang.
"Ini kamar gue. Lo yang main masuk aja ke kamar gue."
Yudha mengikuti ke mana arah jari telunjuk Gladys. Ternyata gadis itu menunjuk sebuah koper yang tidak dikenali oleh Yudha.
"Ini kamar gue, mending sekarang lo keluar." usir Gladys lagi.
"Gue enggak salah masuk." Yudha masih berusaha membela dirinya.
"Keluar kata gue!"
Kali ini, Gladys sepertinya sudah kehilangan kesabaran. Dia sampai berteriak kencang sekali pada Yudha. Karena tidak mau gendang telinganya jadi rusak, Yudha memilih mengambil satu kartu akses bertuliskan nomor kamar hotelnya. Dia juga membuka pintunya pakai kartu akses kamar Gladys lalu meletakkan kartu itu di samping pintu sebelum keluar.
Barulah setelah Yudha benar-benar pergi dari kamarnya. Gladys bisa menangis sejadi-jadinya. Dia tidak tahu kenapa harus mengalami kejadian semalam. Dan lebih parahnya lagi, lelaki yang tidur dengannya adalah Yudha.
Sementara Yudha, dia melihat lagi nomor kamar hotel. Dia benar-benar merutuki kebodohannya yang memang salah masuk kamar. Semalam dia terbukti tidur di kamarnya Gladys. Sekarang, Yudha berjalan menuju kamarnya sendiri tapi angkanya berubah jadi angka 2079 bukan 2076. Ketika Yudha memegang angkanya, ternyata di angka 6 terbalik jadi terlihat seperti angka 9. Lalu kini Yudha melihat kamar Gladys 2078, kalau dilihat orang mabuk maka 8 bisa salah menjadi 6. Karena memang kamarnya tidak berurutan, melainkan berhadap-hadapan. Angka genap berhadapan dengan angka ganjil.
"Ish... Aldo juga, ngapain sih semalam pakai ngibulin gue segala bilang itu bukan alkohol." dengusnya sambil menempelkan kartu aksesnya ke pintu kamar hotelnya sendiri dan terbuka.
Segera Yudha masuk ke sana. Dia masih menyalahkan dirinya sendiri karena bisa-bisanya dia salah masuk kamar dan mengajak seorang gadis tidur mesra dengannya. Bahkan parahnya lagi, kejadian mengerikan itu diulang beberapa kali oleh Yudha.
***
Melihat hidangan yang luar biasa di depannya, membuat Zulla mengecap dalam hati. Pesanan Alfa dari lima belas menit lalu sudah siap. Kali ini, Alfa memilih menu nasi hainan. Makanan khas dari negeri Singa.
"Kamu sudah pernah makan?" tanya Alfa begitu penasaran.
"Sudah, tapi enggak di sini hehehe..." cengirnya.
"Cobain deh, saya jamin kamu bakalan suka. Karena makanan di sini rasanya enak-enak semua." titah Alfa.
Apa pun makanannya, bakal kerasa enak kalau dimakan bareng Om dokter kok. Balas Zulla dalam hatinya.
"Iya, dok." angguknya lalu memegang sendok dan mencobanya sedikit.
Tak tahu kenapa, Alfa jadi tersenyum sendiri melihat Zulla memegang sendok dan menyuapkan nasi serta daging ke dalam mulutnya. Dia harap, Zulla juga suka makanan pilihannya.
"Bagaimana?" tanya Alfa memastikan.
Tanpa menjawab, Zulla mengangguk sambil memberikan tanda jempol pada Alfa. Rasanya lega dan puas karena Zulla menyukai menu pilihannya.
Mimpi apa gue semalam, bisa sarapan bareng Om dokter begini. Di Singapur pula, berasa kayak lagi mimpi. Kekeh hati kecil Zulla.
Alfa pun ikut makan bagiannya. Dia mengecap pelan, menikmati setiap rempah yang memanjakan lidah. Mood-nya jadi jauh lebih baik lagi.
"Kamu tahu, setiap saya ke Singapur. Saya selalu makan di sini, bahkan kalau saya disuruh makan di sini dari pagi sampai pagi lagi juga saya betah."
Mendengar Alfa bercerita tentang pendapatnya akan restoran ini membuat Zulla tertarik. Apa pun juga, kalau berkaitan dengan seseorang yang disuka pasti akan menimbulkan ketertarikan. Walaupun awalnya tidak tertarik sama sekali. Begitulah cinta, mampu mengubah segalanya.
"Oh ya... Habis ini, kamu ada acara lain enggak?"
Perlahan-lahan Zulla menggelengkan kepalanya seperti kipas angin yang sedang menoleh ke kanan dan ke kiri secara berirama. Dia hanya tidak mau disangka gampangan oleh Alfa.
"Memangnya kenapa, Om?"
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Kalau kamu tidak capek, kemarin habis menguras tenaga buat lomba."
Sambil menyuapkan nasi ke mulutnya, Zulla sambil berpikir harus bagaimana dia menjawab agar Alfa tidak berpikir yang aneh-aneh tentangnya.
"Ya aku sih berpegang teguh sama prinsip, kalau diajak secara gratis sih ya mau-mau aja." sahutnya sambil tersenyum dan menghindari kontak mata dengan Alfa.
Alfa terkekeh, dia melihat Zulla begitu lucu dan bisa dibilang sedikit unik.
"Oke, habis ini nanti kamu ikut saya ya."
Mending jangan nanya mau diajak ke mana. Mode nurut gas kayaknya, selama Om dokter enggak macam-macam. Batin Zulla menyetujui niatnya yang tidak ingin bertanya alasannya.
"Ngomong-ngomong, Om dokter di sini sampai kapan?"
Kedua alis Alfa menjadi satu, mencoba mengingat-ingat jumlah hari cutinya yang dia ambil.
"Nanti malam saya pulang ke Jakarta kok." kekehnya.
"Ih... Om dokter apaan sih? Dikirain berapa hari lagi gitu pakai mikir keras segala. Ternyata nanti malam." cibir Zulla sampai membuat Alfa kembali tertawa.
Tawa Alfa kini meledak, dia tak kuasa menahan tawanya melihat ekspresi Zulla barusan.
"Berarti wajah saya meyakinkan ya? Pantes jadi aktor dong."
Alfa masih berusaha bercanda dengan guyonan garingnya yang sebenarnya bagi Zulla tidak ada lucu-lucunya. Begitu pula Zulla pura-pura saja tertawa pelan demi hanya untuk menghargai lelaki pujaan hatinya.
***
Next...