Kring... Kring... Kring...
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, sekarang hari Jumat dan pulang lebih awal. Sekolah swasta tempat Zulla dan Yudha belajar memang masih menerapkan sekolah enam hari. Jadi jam pelajarannya pun masih normal seperti biasa.
Segera Zulla mengemasi semua barang-barang ke dalam tas ransel warna tosca pemberian Erika saat dirinya naik kelas delapan bulan lalu. Gadis kecil berusia dua belas tahun ini sangat menyukai hari Jumat.
Beberapa siswa-siswi sudah berlomba-lomba keluar kelas agar bisa lebih cepat pulang bertemu dengan ibu serta keluarga mereka.
"Lo ikut gue bareng lagi, Zul?" seorang gadis yang juga satu kelas dengan Zulla menghampiri putri pertama Marsel.
"Hehehe... Iya, boleh ‘kan?" cengir Zulla sambil menutup resleting tasnya.
Pandangan Zulla kini menatap gadis berambut keriting bagai mie kuning dengan kulit hitam dan jika tersenyum maka akan kontras ke gigi putihnya. Dia adalah Becca, teman baik Zulla di sekolah dari mereka masih duduk di bangku kelas 1 SD.
"Boleh dong, lagi pula ‘kan searah." Becca menganggukkan kepalanya lalu berdiri lagi menyusul Zulla yang sudah berjalan di depannya.
Kedua gadis itu berjalan menyusuri kelas menuju tempat parkir. Seperti biasa, sopir keluarga Fabiano pasti sudah menunggu. Di sana juga sudah ada Yudha bersama Pak Mus.
"Pak Mus, seperti biasa ya..." izin Zulla kepada sang sopir.
"Belajar di rumahnya Non Becca, Non?" tanya Pak Mus bagai seorang ayah pada putrinya sendiri.
"Iya Pak, nanti Bapak jemput di rumahnya Becca jam tiga sore." entah sudah berapa kali Zulla mengingatkan hal yang sama di setiap hari Jumat.
"Aku mau ikut." jelas ini suara si kecil Yudha.
"Kamu pulang saja, jangan ikut. Nanti kamu merusuh di sana, merepotkan saja." cibir Zulla membuat Yudha sedikit sedih.
Anak kecil itu selalu ingin ikut bersama Zulla setiap kali sang kakak main atau belajar di rumah Becca, tapi selalu dilarang oleh Zulla degan alasan tidak mau direpotkan oleh Yudha. Meski Zulla tahu kalau di rumah pasti Yudha kesepian tanpa dirinya.
Mobil jemputan Becca baru saja datang, mobil itu parkir tidak jauh dari Pak Mus memarkirkan mobilnya. Seorang sopir datang menghampiri Becca yang masih bersama Zulla.
"Ya sudah Pak, aku pergi dulu ya. Jangan lupa bilang ke Oma kalau aku belajar di rumah Becca dan nanti sore jam tiga harus jemput." ujar Zulla lagi sebelum akhirnya naik ke mobil jemputan Becca.
"Siap laksanakan, Non." Pak Mus hormat pada nona kecilnya agar Zulla juga senang.
Kedua gadis yang sebentar lagi menginjak usia remaja itu akhirnya sudah terbawa mobil hitam menuju rumah Becca. Tersisa Pak Mus dan Yudha di sana. Sebisa mungkin Pak Mus merayu Yudha agar mau pulang dan tidak bersedih.
***
"Lo tidak bosan melakukan ini setiap minggunya, Zul?" Becca menatap kasihan pada teman baiknya.
Mereka masih berada di dalam mobil milik orang tua Becca. Sang sopir juga sudah hafal kalau teman baik dari anak tuannya itu akan ikut setiap hari Jumat dari sekitar satu tahun yang lalu.
"Tidak, ya mau bagaimana lagi? Cuma ini yang bisa gue lakukan untuk mengobati rasa kangen yang gue punya selama ini." desah Zulla.
Jika dibilang lelah, sebenarnya Zulla juga lelah mengumpulkan dosa setiap minggunya dengan cara berbohong kepada orang rumah kalau setiap hari Jumat belajar bersama di rumah Becca. Padahal kenyataannya tidak, Zulla tidak pernah belajar bersama dengan temannya itu.
"Sudah sampai, Non." kata sang sopir sambil menghentikan mobil yang dia kendarai.
Becca menahan tangan Zulla ketika temannya itu akan memakai tas ranselnya lagi.
"Hati-hati ya, kalau misalkan lo butuh apa-apa, telepon gue saja." ujar Becca tulus sambil tersenyum menatap Zulla.
"Iya, terima kasih banyak tumpangannya." angguk Zulla seraya tersenyum.
Kedua jempol Becca mengacung ke atas mengarah pada Zulla sambil mengangguk berulang kali seperti orang di kelab malam yang disuguhi musik DJ.
"Pak sopir, terima kasih ya." Zulla langsung keluar mobil usai mengucapkan kata terima kasih.
Kaca mobil terbuka, Becca melambaikan tangannya mengarah ke Zulla yang juga membalas. Perlahan tapi pasti, mobil yang ditumpangi Becca sudah tertelan oleh kendaraan lain. Pandangan Zulla kini terfokus pada sebuah gedung tinggi, dan ramai.
Tanpa ada rasa takut sama sekali, Zulla memasuki area gedung yang selalu dia datangi setiap hari Jumat. Alasan Zulla memilih hari Jumat adalah karena jam belajarnya di sekolah tidak terlalu lama.
Tangan mungilnya sudah memegang gagang pintu kaca yang di sampingnya ada tulisan dorong. Dengan sekuat tenaga, Zulla mendorong pintu kaca tersebut sambil berjalan masuk.
Suasananya tidak beda jauh, masih sama saja. Banyak para perempuan berpakaian serba putih berlalu lalang di setiap sudut. Ada yang bersama orang sakit, ada yang menjaga meja resepsionis, ada yang menangani korban baru, ada yang membawa nampan berisi obat dan alat medis, ada yang hanya melewat saja dan masih banyak lagi kegiatannya.
Apa yang kalian pikirkan benar, tempat yang didatangi Zulla setiap hari Jumat adalah rumah sakit tempat dulu Marsel bekerja. Gadis itu rela berbohong hanya agar bisa datang ke sini. Yang Zulla impikan dan harapkan, siapa tahu dirinya bertemu dengan Marsel di rumah sakit.
Kaki kecil nan jenjangnya melangkah menyusuri rumah sakit. Dari lantai dasar bahkan hingga lantai lima. Zulla akan jalan-jalan dari lantai teratas terlebih dahulu. Seperti sekarang ini gadis berseragam sekolah dasar itu sedang berada di dalam lift bersama dengan orang lainnya.
Kebetulan hari ini orang yang datang ke hotel kesehatan itu lebih banyak dari biasanya. Zulla juga tidak tahu kenapa. Hingga lift berhenti di lantai lima dan pintunya terbuka. Semua orang berdesakan untuk keluar lebih dulu. Zulla yang memang berdiri paling dekat pintu, jadi terdorong-dorong oleh orang dewasa yang dia tidak kenal.
Bruk!
"Aw..." ringis Zulla yang terjatuh di depan lift karena tidak sengaja terdorong oleh seorang ibu-ibu yang menggandeng putranya.
Ibu-ibu itu bukannya membantu Zulla, malah langsung pergi begitu saja. Seorang dokter laki-laki berlari mendekati Zulla yang meringis kesakitan.
"Ayo Om bantu bangun." suara dokter lelaki yang saat ini berlutut di samping Zulla.
Kepala Zulla mendongak menatap siapa yang membantunya. Kedua mata gadis kecil itu seolah terhipnotis oleh dokter yang membantunya.
"Kamu bisa bangun?" tanya dokter itu lagi.
"Bisa kok, Om dokter." angguk Zulla pelan.
Dibantu oleh sang dokter, Zulla mencoba berdiri sebisanya meski di bagian lutut kanannya perih.
"Terima kasih Om dokter." tak lupa Zulla mengucap kata terima kasih untuk dokter yang sudah membantunya.
"Sebentar, lutut kamu berdarah. Biar Om obati, ayo ikut Om." ajak dokter tersebut sambil menarik tangan Zulla kembali memasuki lift.
"Tap..."
"Syut... Lukamu harus diobati." sela dokter yang tidak diketahui namanya oleh Zulla.
Lift sudah kembali turun dan sekarang berhenti di lantai tiga. Mereka keluar, Zulla menurut saja dibawa ke ruang kerja sang dokter.
"Aku mau ke taman." ujar Zulla membuat dokter bertubuh tinggi, wajah oval dan memiliki senyuman yang sulit dilupakan itu menoleh ke arah Zulla yang tadi dia dudukkan di sofa ruang praktiknya.
"Ayo saya obati di taman." ajaknya sambil membawa kotak P3K.
Lagi, untuk kedua kalinya Zulla menurut pada dokter yang menurutnya tampan. Mereka kembali naik ke dalam lift, tapi sekarang dokter tadi mengajak lewat lift khusus yang jelas tidak akan mengantre.
Bola mata Zulla yang berwarna hitam itu tak lepas dari tangan kecilnya yang digenggam erat-erat oleh sang dokter. Zulla terus berjalan di samping dokter tampan tersebut hingga akhirnya kini mereka sudah sampai di taman rumah sakit.
"Ya, duduk di sini. Om bakal obati lukamu biar tidak infeksi." dokter pemilik bola mata berwarna coklat itu membantu Zulla duduk lalu berjongkok di depan Zulla.
"Tahan sebentar ya, ini akan sedikit terasa perih." ujarnya seraya tersenyum begitu manis.
Kotak P3K yang tadi dibawa sudah dibuka. Lutut Zulla mulai terasa perih saat alkohol menyapa lukanya. Namun sebisa mungkin Zulla menahannya dengan cara meremas ujung rok seragamnya. Giginya pun sudah menggigit bibir bawahnya agar rasa sakitnya sedikit tertahan.
"Aw... Om dokter perih." ringis Zulla saat dokter tadi meneteskan obat merah lalu membalut lukanya dengan kain kasa.
"Sudah... Nanti juga sembuh." dokter tadi membereskan kotak P3K-nya lalu memberikan pada Zulla.
"Titip ini dulu ya, Om mau pergi sebentar. Nanti Om ke sini lagi buat mengambil, jangan pergi ke mana-mana." titah sang dokter.
Tidak ada jawaban suara dari Zulla, tapi gadis kecil itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kini Zulla sendirian di taman sambil memandangi banyak anak kecil yang bermain dengan orang tuanya.
"Ayah... Kakak kangen..." ujar Zulla lirih sambil memandangi lututnya yang terluka.
Ingin rasanya Zulla menangis, dia sangat merindukan lelaki bernama Marsel yang entah di mana. Meski Zulla sudah diberi fasilitas ponsel sendiri oleh Marsel dari kecil, namun gadis kecil itu belum tahu apa itu sosial media. Ponselnya saja harus berbagi dengan Yudha. Sebenarnya lebih tepatnya lagi, Zulla belum diperbolehkan memiliki akun media sosial pribadi. Erika bilang, nanti saat masuk SMP, baru diperbolehkan.
Hal yang membuat Zulla semakin sedih adalah saat memandang luka di lututnya. Dulu setiap kali dirinya terluka, pasti Marsel orang yang akan mengobati lukanya. Zulla tidak mau diobati oleh orang lain atau dokter lain. Beda dengan sekarang, setiap dirinya sakit pasti memanggil dokter untuk mengobatinya. Maka dari itulah Zulla tidak suka dengan yang namanya sakit.
"Ini, Om belikan kamu es krim biar lukanya cepat sembuh." dokter yang mengobati Zulla tadi kembali datang sambil menyodorkan satu contong es krim yang masih dibungkus.
Melihat es krim rasa strawberry yang begitu menggiurkan membuat Zulla menelan ludahnya sendiri.
"Ayah bilang, tidak boleh menerima makanan dari orang yang tidak dikenal." bibir Zulla tidak menjawab sesuai dengan hatinya.
Dokter tadi terkekeh lalu duduk di sebelah Zulla yang tetap tidak menerima es krim tersebut.
"Ini Om beli di kantin dan Om juga dokter loh. Nanti kalau kamu kenapa-napa pasti akan Om obati. Ayo ambil."
Setelah dipaksa, akhirnya Zulla mau mengambil es krim tersebut dan mulai memakannya. Ternyata dokter yang membelikan Zulla tadi juga membeli es krim rasa vanilla. Akhirnya mereka makan es krim berdua di bangku yang sama.
"Ayahmu pasti sangat menyayangimu, sampai-sampai dia bilang begitu. Tapi ke mana Ayahmu sekarang? Kenapa dia membiarkan kamu sendirian di rumah sakit?"
Mendengar pertanyaan dokter tampan, membuat hati Zulla sedikit nyelekit. Dia merindukan lelaki tampan yang dia panggil Ayah sejak usia lelaki itu masih dua puluh tiga tahun.
"Malah aku ke sini untuk mencari Ayah." sahut Zulla terdengar sedih.
"Memang Ayahmu sakit? Dia dirawat di rumah sakit ini?" dokter baik nan tampan itu terlihat penasaran.
Mata sayu Zulla memandang lekat-lekat ke arah sang dokter tampan. Zulla ingin bertanya apakah dokter itu pernah melihat Marsel selama ini, tapi Zulla mengurungkan niatnya.
"Ayahku itu..."
"Syukurlah, dokter di sini. Saya mencari-cari sedari tadi, ada pasien baru korban kecelakaan yang butuh penanganan segera." seorang suster datang menghentikan kata-kata Zulla.
"Saya akan menyusul." ujar dokter tadi.
"Om mau bekerja dulu ya, jangan lupa obati lukanya." ucap dokter dengan senyuman khas yang sulit dilupakan.
Zulla melihat dokter yang menolongnya itu berdiri. Saat melewati depannya, Zulla memberanikan diri menarik jemari tangan dokter tersebut. Hingga sekarang dokter tampan tadi berhenti di depan Zulla seraya menatap jarinya yang digenggam oleh jemari mungil Zulla.
"Kenapa?"
"Terima kasih Om dokter yang baik dan tampan." ujar Zulla memberanikan diri.
"Sama-sama." sahutnya lalu pergi ke ruang UGD, meninggalkan Zulla sendirian di taman.
Wajah Zulla dibalut senyum sekarang, ada sedih dan senang secara bersamaan dalam hatinya sekarang. Namun kesadarannya kembali saat merasa ada yang aneh di tangan kirinya.
"Eh...?" kaget Zulla saat kotak P3K milik dokter tadi masih ada bersamanya.
Cepat-cepat Zulla mencari dokter tadi di sekitar ruang UGD dengan langkah kaki yang sedikit pincang karena menahan sakit di lututnya. Kepala Zulla sudah menoleh ke sana sini, berharap bertemu atau melihat dokter tampan yang sudah baik hati padanya.
Harapan Zulla sirna, beberapa menit gadis kecil itu mencari keberadaan dokter tersebut namun tak kunjung ditemukan. Hingga akhirnya Zulla menyerah lalu memasukkan kotak P3K tersebut ke dalam tasnya.
Langkah kaki Zulla kini kembali membawanya memasuki lift. Gadis kecil itu akan mencoba mencari Marsel di lantai dua. Kalau di sana tidak ada, Zulla akan pulang ke rumah Becca agar Pak Mus tidak curiga.
"Apa Ayah juga kangen sama aku?" tanya Zulla lirih sambil melihat ke sana sini namun kedua matanya juga tak kunjung menemui sosok lelaki yang dia panggil Ayah.
Alasan Zulla datang ke rumah sakit sendiri tanpa Yudha adalah karena gadis kecil itu tidak mau membuat adiknya kepikiran atau galau dan lain sebagainya. Zulla lebih memilih melakukan sendiri, karena hanya dengan mendatangi tempat kerja Marsel dululah Zulla bisa lumayan tenang.
Setelah beberapa menit tak kunjung menemukan apa yang dia cari, Zulla langsung keluar rumah sakit dan mencegat taksi untuk mengantarnya ke rumah Becca. Selama ini Zulla harus rela mengumpulkan sisa uang jajannya selama satu minggu untuk biaya ongkos ke sana kemari selama mencari Marsel.
***
"Sus, tadi saya ada titip kotak P3K apa tidak?" dokter tampan yang membantu Zulla tadi baru tersadar kalau dia melupakan kotak P3K-nya.
"Tidak dok." sahut sang suster sambil menggelengkan kepalanya.
"Aish... Temani pasiennya sebentar, sus." titahnya yang langsung berlari ke taman rumah sakit khusus anak-anak.
Usai berlari-larian dari ruang UGD ke taman yang jaraknya lumayan jauh, kini kaki kedua dokter tadi sampai di depan bangku yang dia pakai duduk bersama gadis kecil entah siapa namanya.
"Aish... Kenapa bisa ceroboh sih." desahnya.
Setelah mendapati di bangku tadi kosong tidak ada apa-apa, dokter tampan itu kembali ke UGD lagi. Karena kebetulan hari ini dirinyalah yang bertanggung jawab dengan UGD.
"Ah... Ada sesuatu di dalam kotak itu. Kalau kotaknya sih banyak yang jual." desahnya.
Ternyata yang membuat dokter tadi sedikit menyesal adalah di dalam kotak itu ada sesuatu yang menurutnya berharga. Kini hilang bersama kotak P3K-nya.
Karena dirinya juga dibutuhkan oleh pasien, dokter tadi berusaha seprofesional mungkin agar tidak terlihat terlalu kehilangan. Namun saat melihat meja resepsionis, dia berjalan ke sana sebelum masuk ke ruang UGD.
"Sus, tadi melihat ada anak kecil pakai seragam SD apa tidak?"
Dua orang suster yang berjaga di meja resepsionis sama-sama berpikir, tapi beberapa menit kemudian mereka menggelengkan kepalanya kompak.
"Karena rumah sakit sedang ramai dan banyak pasien keluar masuk, kami kurang memerhatikan dok. Maaf." ujar suster yang diketahui bernama Nina.
"Oh... Ya sudah, terima kasih sus." balasnya lalu kembali berjalan menuju ruang UGD.
***
Next...