Keadaan rumah sedang tidak seperti biasa. Banyak tangisan di setiap sudut ruangan. Terutama dari lelaki bernama Marsel, meski lelaki namun air matanya merembes membasahi kedua pipinya.
Gadis kecil yang sudah sudah berusia tiga tahun itu bingung ada apa di rumah. Kenapa semua orang mengeluarkan air mata. Karena melihat Erika dan Marsel menangis, hal itu membuat Zulla ikut menangis. Apalagi sedari tadi mereka, Zulla dan Yudha hanya bersama asisten rumah tangga.
Benar sekali, Zulla sudah memiliki seorang adik laki-laki yang masih berusia satu tahun. Yudha menangis tiada henti, bahkan kadang diberi dot pun tidak mau dan terus menangis.
Sekarang Marsel mendekat ke posisi kedua buah hatinya. Tangan kekarnya meraih Zulla yang menangis melihat Airin terbujur kaku terbalut kain putih yang Zulla sendiri tidak tahu apa nama kain itu.
"Ayah, kenapa Mama cuma diam saja?" meski masih berusia tiga tahu, Zulla sudah bisa bicara jelas.
Gadis kecil itu merasakan tubuh Marsel bergetar saat memeluknya. Kedua mata Zulla dan Marsel sama-sama memerah.
"Syut... Kakak kuat ya sama adiknya. Ada Ayah di sini." meski berat, namun Marsel berusaha menenangkan putri kecilnya yang pasti kehilangan Airin.
Hari ini adalah hari paling menyedihkan bagi keluarga kecil Marsel Fabiano. Lelaki itu tadi mendapat kabar jika Airin menjadi korban tabrak lari di jalan yang sangat sepi dan jarang dilalui orang.
"Mama kenapa, Yah?" Zulla menuntut jawaban dari Marsel.
"Mama tidur untuk selamanya, sayang. Mama sudah bahagia, kamu juga harus bahagia ya. Jangan sedih." satu kecupan lembut Marsel berikan di wajah putrinya kemudian berganti mengecup wajah Yudha yang terlelap dalam gendongan sang asisten rumah tangga.
"Ayah ke atas sebentar." pamit Marsel langsung pergi menuju kamarnya.
Zulla hanya melihat saja kepergian Marsel. Meski Zulla masih berusia tiga tahun, tapi dia mengerti apa yang dimaksud Marsel tentang Airin yang tidur untuk selama-lamanya. Air mata mengalir dari kelopak mata Zulla hingga membasahi kedua pipi gembulnya.
"Mama..." ujar Zulla lirih.
Sesampainya di kamar, lelaki kembali mengeluarkan air mata. Perempuan yang paling dia cintai selain Erika dan Zulla pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Akibat dari kecelakaan itu, nyawa Airin tidak terselamatkan dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kematian Airin membuat status Marsel resmi menjadi duda muda dua anak. Marsel sendiri tidak peduli akan statusnya, yang dia pedulikan sekarang bagaimana caranya menangkap pengendara yang menabrak Airin dan melarikan diri.
Besok jenazah akan dimakamkan, Marsel tak kuasa menahan kesedihannya. Padahal masih terasa jelas tadi pagi dirinya bercanda dengan Airin di kamar ini sebelum berangkat kerja. Mereka saling tertawa, menggoda dan meledek satu sama lain. Kini, karena sebuah kabar tentang kecelakaan Airin membuat kebahagiaan tadi pagi terganti dengan kesedihan.
"Kenapa kamu pergi meninggalkan kita, sayang?" tanya Marsel pada sebuah foto yang terbingkai pigura kayu.
Di dalam sana terasa sesak, sulit untuk bernafas. Paru-parunya seolah menciut kekurangan oksigen. Wajah putihnya berubah menjadi merah-merah karena air mata.
Pigura foto yang tadi berada di tangan Marsel kini terpajang rapi kembali di atas nakas samping ranjang kamar mereka. Di samping pigura tadi ada sebuket bunga Forget Me Not yang jelas berwarna biru indigo dan berukuran sebesar kuku manusia. Sangat lucu, bunga kesukaan Airin selama ini. Jarang orang yang tahu bunga tersebut, meski pun tahu kadang mereka tidak tahu namanya. Karena bunga itu memiliki nama yang sangat unik, Forget Me Not adalah namanya.
"Aku akan menangkap siapa pun yang menabrak kamu, Airin." tekad Marsel.
Tanpa sadar, kedua tangan Marsel yang dia sembunyikan di dalam saku celananya sudah terkepal kuat-kuat menahan amarah.
***
Dua tahun berlalu dari hari meninggalnya Airin. Tepat di hari ini, Zulla sudah siap memakai seragam TK. Erika yang mendandaninya dengan kuncir dua di sisi kanan dan kiri. Sepatu dan kaos kaki berwarna pink. Bahkan tasnya pun berwarna pink bercampur ungu dengan gambar kuda bertanduk satu.
Tik... Tik... Tik...
Bunyi hujan di atas genting...
Airnya turun tidak terkira...
Cobalah tengok dahan dan ranting...
Pohon dan kebun basah semua...
Beginilah suasana di dalam mobil Marsel jika ada kedua buah hatinya. Yang mulai sekolah Zulla, tapi Yudha tentu saja ikut karena tidak mau pisah dengan kakaknya. Tentu saja tidak hanya Marsel dan kedua buah hatinya saja. Namun juga ada Erika di sana yang nanti akan menemani Zulla bersekolah di hari pertama.
"Pokoknya aku mau Ayah yang memilihkan bangkunya." kekeuh Zulla dari beberapa hari lalu saat dirinya tahu akan sekolah.
"Siap, nanti Ayah pilihkan ya." tangan kekar Marsel terulur mengacak-acak pelan puncak kepala putri kecilnya yang tumbuh sehat dan tidak rewel sepeninggalan Airin.
"Ayah... Aku mau itu." kini ganti Yudha yang bersuara.
Marsel melihat Yudha menunjuk sebuah pedagang balon sisi jalan. Putranya itu suka sekali membeli balon gas, padahal di rumah koleksinya sudah banyak. Ada yang sudah wafat, kempes, on the way kempes dan baru.
"Nanti beli sama Oma ya." Marsel memarkirkan mobilnya di depan sekolah TK tempat buah hatinya menimba ilmu.
Cepat-cepat Marsel turun, membukakan pintu untuk kedua buah hatinya lalu menggendong mereka satu persatu dan menurunkan di samping mobil. Ditemani Erika, Marsel menggandeng Zulla menuju ruang kelasnya.
"Pokoknya Kakak tidak boleh nakal, tidak boleh bandel, jangan membantah apa yang dikatakan guru sama Oma. Kalau ada yang tidak paham, Kakak harus bertanya. Mengerti sayang?" petuah Marsel sambil terus berjalan.
Merasa tidak mendengar jawaban dari putrinya, Marsel menoleh sebentar ke arah Zulla. Ternyata anak gadisnya itu sedang melihat beberapa murid lain yang datang bersama ibu mereka. Hati Marsel teriris seketika. Marsel tahu, pasti Zulla juga ingin datang ke sekolah bersama ibunya. Apalagi ini hari pertama Zulla sekolah.
Melihat ada perubahan di wajah Marsel, sang mama hanya mengedikkan kedua bahunya. Lelaki itu akhirnya berjongkok dan memegang kedua bahu Zulla.
"Sayang, lihat Ayah..." pinta Marsel.
Zulla kecil langsung melihat Marsel, terlihat jelas di sana ada kesedihan. Pasti rindu di hati Zulla akan kehadiran Airin sangat besar. Marsel pun merasakannya sendiri.
"Kakak masih punya Ayah, Yudha dan Oma. Kami semua sayang sama Kakak. Jangan sedih lagi ya. Nanti malam kita jalan-jalan setelah Ayah pulang dari rumah sakit." rayu Marsel agar Zulla tidak sedih lagi.
Kepala Zulla mengangguk memandang Marsel kemudian memeluk leher ayahnya. Kecupan lembut Zulla dapatkan dari sang Ayah berulang kali. Gadis kecil itu lumayan tenang sekarang.
"Nanti Ayah jemput aku kan kalau pulang sekolah?" tanya Zulla sambil melepaskan kedua tangan mungilnya dari leher Marsel.
"Tidak bisa sayang, nanti dijemput Pak Mus. Ayah kan harus kerja."
"Ayah mau mengoperasi orang lagi?"
"Iya, jangan sedih ya. Nanti malam kan kita jalan-jalan."
Lagi, kepala Zulla kembali mengangguk. Marsel langsung mengajak Zulla masuk ke kelas dan memilihkan tempat duduk untuk putrinya. Selesai memilih, Marsel langsung pamit berangkat kerja karena dia juga takut telat.
***
Di hari ini, Zulla sangat gembira. Bukan hanya dirinya, tapi Yudha pun juga senang saat mendengar bahwa mereka akan memiliki Bunda baru. Empat tahun Zulla hidup tanpa seorang ibu, dan dia teramat bahagia saat melihat Marsel menikah dengan seorang gadis bernama Alexa.
Sekarang Zulla sudah bukan anak TK lagi, dia sudah kelas satu SD dan berusia tujuh tahun. Hari ini adalah hari pernikahan Marsel dan Alexa.
Dari awal Zulla melihat Alexa, dia sudah suka. Ibu barunya itu adalah teman Omnya yang bernama Rafli. Karena seingat Zulla, Alexa datang ke rumah bersama Rafli. Kemudian esok harinya mereka jalan-jalan bersama dengan Alexa dan Rafli. Bahkan Alexa memperbolehkan Zulla dan Yudha memanggilnya Bunda.
"Bunda..." panggil Zulla pelan hingga membuat Alexa menoleh.
"Iya, kenapa?" kedua tangan Alexa meraba ujung kepala Zulla bagai ke putrinya sendiri, padahal Alexa masih gadis dan seorang mahasiswi semester akhir.
Gelengan kepala dari putri suaminya didapatkan oleh Alexa. Perempuan itu gemas sendiri pada Zulla, membuat Alexa gemas dan ingin mencubit pipi gembulnya.
Hingga acara pernikahan telah usai. Zulla ingin bersama dengan Bunda barunya, tapi Erika melarang dan tetap mengajaknya pulang. Yudha pun rewel tidak mau diajak pulang serta enggan jauh dari Marsel.
Beberapa hari memiliki Bunda baru, hari Zulla dan Yudha benar-benar berubah. Lebih berwarna dari sebelumnya. Zulla bisa bermanja-manja pada Alexa, meminta dibuatkan makan ini itu, minta disuapi. Zulla juga lebih giat belajar jika yang menemani adalah Alexa. Ada yang membacakan dongeng hingga mereka tidur. Karena biasanya jika Erika yang membacakan dongeng, malah Erika duluan yang tidur.
"Bunda... Ayah kok belum pulang ya?" tanya Zulla dengan mulut penuh makanan.
"Syut... Kalau makan tidak boleh sambil bicara, nanti makanannya bisa keluar semua." Alexa tersenyum pada anak perempuan itu sambil mengusap kepalanya pelan.
"Iya Nda..." Zulla jadi semakin semangat memakan nasi beserta sayuran hasil masakan Alexa.
Melihat Alexa bisa dekat dengan kedua cucunya, Erika merasa tidak sia-sia sudah meminta Marsel menikah gadis itu. Terbukti jika Alexa memang gadis baik, bisa menerima Marsel apa adanya dan mau mengurus Zulla serta Yudha yang jelas bukan darah daging gadis itu.
"Cepat habiskan makanannya, habis ini kita belajar biar tambah pintar."
"Aku mau dibacakan dongeng, Nda." rengek Yudha.
"Iya, nanti habis belajar Bunda bacakan dongeng sampai kalian tidur. Jangan lupa juga sebelum tidur, harus mau minum susu."
Alexa mendapat anggukan kompak dari kedua buah hati suaminya. Rasa sayang Alexa pada mereka bukanlah rekayasa atau sebuah kepura-puraan belaka. Gadis itu memang menerima kondisi Marsel apa adanya meski sebenarnya dia terpaksa menikah dengan duda itu.
***
Tak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Tiga tahun sudah Zulla kembali memiliki ibu. Hati gadis kecil yang sekarang sudah berusia sepuluh tahun itu kini sedang gelisah. Pasalnya Bunda yang menyayanginya sedang koma dari beberapa minggu lalu.
Setiap hari Zulla selalu menjenguk Alexa di rumah sakit. Kadang juga saat malam minggu, Zulla menginap di rumah sakit bersama Yudha. Setelah beberapa minggu koma, akhirnya Alexa dikabarkan siuman dan kondisinya membaik setelah satu minggu dirawat.
Hari ini adalah jadwal Alexa pulang ke rumah. Zulla sudah menyiapkan kue penyambutan untuk kepulangan Alexa.
"Bunda pasti suka sama kuenya." kikik Zulla.
Baru juga Zulla merasa senang karena akan menyambut Alexa yang sudah sembuh dari sakitnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara Marsel dan Erika. Kedua matanya memanas melihat Marsel membawa koper besar seperti ingin pergi.
"Ayah mau ke mana?" Zulla menatap Marsel yang seperti sedang buru-buru ingin pergi.
Tak hanya Zulla yang bertanya, Yudha pun ikut bertanya. Tidak ada jawaban dari Marsel, lelaki itu hanya merengkuh tubuh kedua buah hatinya dan beberapa kali mencium wajah Zulla serta Yudha.
Di hari itu, Zulla merasa dunianya berubah menjadi kelam. Marsel pergi meninggalkannya entah ke mana dan tidak pernah pulang selama beberapa tahun. Alexa juga tidak pernah pulang ke rumah yang mereka tinggali lagi. Keseharian Zulla hanyalah bersama Erika, Yudha dan sopir keluarga Fabiano.
Zulla tidak suka hidup seperti ini. Tidak ada Marsel dan Alexa di sampingnya. Dia ingin seperti anak pada umumnya yang besar dengan kasih sayang kedua orang tuanya.
***
Next...