Semua keluarga tampak cemas, mereka sedang menunggu kelahiran cucu pertama Marsel dan Alexa. Tengah malam tadi, Gladys merasa perutnya kontraksi dan ketubannya pecah. Mewakili putranya yang belum tahu menahu tentang hal seperti ini, Marsel segera membawa menantunya ke klinik bersalin milik Fana yang buka 24 jam. Meski 24 jam, Fana hanya ada ketika dia tidak sedang sibuk di rumah sakit. Kalau Fana sedang berhalangan, paling ada bidan yang membantu. Kebetulan malam hari ini, Fana ada dan wanita itu sendiri yang langsung menanganinya.
Tentunya, Marsel lebih memilih membawa Gladys ke klinik milik Fana ketimbang ke rumah sakit. Dia juga punya rasa malu kalau orang-orang tahu bahwa anak keduanya yang masih SMA menghamili perempuan sampai hamil dan akhirnya menikahinya.
"Gimana Mas, ada jawaban?" tanya Alexa ketika Marsel baru datang dari tempat lain buat menghubungi orang tua Gladys.
"Mereka cuma bilang, kalau mereka enggak punya anak namanya Gladys." desah Marsel.
Alexa tak menyangka, kalau orang tua Gladys bisa setega itu pada putrinya sendiri bahkan saat Gladys sedang berjuang mempertaruhkan antara hidup dan matinya.
"Mereka bener-bener keterlaluan." geram Alexa.
"Sabar Bunda, jangan emosi." Zulla ikut menenangkan Alexa.
Mereka bertiga ditambah Pak Mus jadi berempat sama-sama ketar-ketir menunggu kelahiran anggota baru keluarga Fabiano.
"Mas, udah lahir bayinya?" suara Rafli menyapa telinga Marsel.
Mendengar keponakan menantunya akan melahirkan, Rafli segera menyusul ke klinik bersama Karin. Mereka ikut cemas menunggu.
"Belum." gelengnya beberapa kali.
"Yudha mana?" Karin mencari-cari keberadaan Yudha tapi tidak ketemu.
"Disuruh dan dipaksa sama Mas Marsel nemenin di dalem." sahut Alexa membuat Karin mengangguk.
Sementara di dalam ruangan, Yudha merasakan tangannya hampir remuk karena terus-menerus diremas kuat-kuat oleh Gladys. Dia bahkan kadang ikut berteriak kesakitan setiap Gladys berteriak sambil meremas jemarinya.
Awalnya, Gladys enggan memegang tangan Yudha dan begitu juga sebaliknya. Lelaki yang baru menjadi mahasiswa itu canggung dan tidak tahu harus melakukan apa di dalam ruangan. Yudha masuk hanya karena takut ancaman dari Marsel, bukan atas kemauannya sendiri. Sehingga membuat Yudha, tadinya hanya berdiam diri di samping Gladys. Berkat Fana lah, akhirnya mereka jadi berpegangan tangan.
Untuk yang ke sekian kalinya, Fana memberi instruksi pada Gladys. Kalau sudah begini, Yudha akan bersiap-siap kesakitan lagi. Dia melihat keringat mengucur di sekujur tubuh Gladys dan perawat juga beberapa kali menyeka keringat di wajah Gladys terutama di sekitar pelipis dan kening agar tidak masuk ke mata.
Betul sekali, Yudha kembali merasa tangannya diremas kuat-kuat dan serasa hampir remuk. Ingin sekali rasanya dia menjitak kening Gladys sekencang mungkin agar rasa sakitnya impas.
Oeekkk... Ooeeekkkk...
Tubuh Yudha terdiam seketika, di saat dia mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang sampai-sampai bisa memekakkan telinga. Bisa Yudha lihat, Fana menggendong bayi kecil yang masih berlumuran darah itu.
"Selamat, bayinya perempuan. Sangat cantik kayak Mamanya, mata dan hidungnya mirip Papanya." kata Fana sambil meletakkan bayi merah tersebut ke sebuah timbangan perlahan-lahan.
Karena terlalu fokus pada bayinya, Gladys tak sadar kalau tangannya masih menggenggam jemari Yudha. Saat tersadar, dia melepaskan genggamannya secara kasar.
"Argh...!" pekik Gladys ketika dia merasakan Fana mulai menjahit.
Ketika berteriak, tiba-tiba saja dia refleks kembali meremas tangan Yudha sampai lelaki itu yang awalnya sudah akan keluar ruangan jadi tertahan.
Anggota keluarga yang di luar, mereka merasa sedikit lega setelah mendengar suara tangisan bayi dari dalam. Zulla tersenyum mendengar keponakannya sudah lahir ke dunia. Dalam doa, Zulla juga berharap kalau Gladys pun ikut selamat. Karena meski ada kisah kelam antara mereka, tapi Zulla juga ingin anaknya Yudha bisa melihat ibunya sampai dewasa nanti.
***
"Eunha, anyeong." Zulla menyapa keponakannya di minggu pagi.
Selalu seperti ini, dia suka setiap ada bayi di rumah. Terlebih lagi, kalau bayi itu masih sangat kecil seperti anak Yudha yang masih berusia sepuluh hari.
Eunha, nama putri kecilnya Yudha. Karena antara Yudha dan Gladys sama-sama tidak memikirkan nama sama sekali, jadilah Zulla yang memberi nama pada keponakannya. Zulla memberi nama lengkap, Eunha Sintiana Fabiano. Entah kenapa, Zulla menyukai nama Eunha yang terdengar seperti nama orang di Negeri Gingseng. Awalnya, Yudha protes karena ada nama keluarganya di belakang nama bayi itu. Tapi Marsel mengesahkan dan membuat Yudha tidak bisa berkutik.
"Anyeong..." sapanya lagi sambil mencolek-colek pipi merahnya.
Gadis itu masuk ke kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Saat melihat ke ranjang, Eunha sedang membuka mata sendiri. Sementara Yudha masih tertidur di sampingnya sedangkan Gladys terdengar seperti sedang di kamar mandi.
"Heh... Kenapa Ayahmu bisa mengabaikanmu kayak gini? Gimana kalau kamu jatuh?" dengusnya yang kesal karena Yudha tidak memerhatikan putrinya sama sekali.
Yudha juga tidak sepenuhnya tidak menganggap keberadaan Eunha. Hanya saja, lelaki itu masih kurang dewasa. Dia marah kalau waktunya diganggu karena harus mengurus Eunha meski hanya sebentar. Yudha hanya akan bermain dengan Eunha kalau dia ingin saja.
"O', lo kapan masuk?" kaget Gladys yang keluar dari kamar mandi dengan penampilan orang habis mandi.
"Lo kenapa ninggalin Eunha gitu aja? Gimana kalau dia jatuh?" bukannya menjawab, Zulla malah balik bertanya.
"Eunha udah bangun? Tadi pas gue mandi, dia masih tidur.”
"Lo kelamaan mandinya."
"Enggak, cuma lima menit gue mandi." kekeuhnya.
Zulla tak lagi menghiraukan Gladys, dia lebih fokus kepada bayi kecil itu. Sekarang, Zulla ganti mengganggu Yudha agar bangun.
"Mending jangan diganggu deh, Zul. Semalam Yudha kesusahan ngerjain tugas kuliahnya karena Eunha rewel dan bikin dia enggak bisa konsen. Ditambah, siangnya dia ada latihan renang."
Tanpa diduga, Gladys melarang Zulla yang akan membangunkan Yudha. Hal itu jadi menimbulkan kecurigaan di diri Zulla.
"Apaan nih? Lo mulai suka ke Yudha?" tanyanya penasaran.
"Cis... Suka apaan? Dia cuma Ayah dari anak gue. Jangan sampai anak gue punya Ayah yang belajarnya tertunda." desisnya penuh percaya diri.
Karena sudah dilarang, tentunya Zulla menuruti kata Gladys dan mengurungkan niatnya buat menjahili adik laki-lakinya.
"Eunha, ayo main!"
Kini ganti suara Zalle yang tiba-tiba datang dari luar. Gadis kecil itu tidak sendiri, tapi diikuti oleh kakaknya yang memiliki banyak bedak di wajahnya.
"Astaga. Berapa kilo Bunda ngasih bedak ke wajahmu hah?" tawa Zulla melihat adiknya.
Seolah sudah menjadi hal biasa, kalau kamar Yudha yang tadinya tenang berubah jadi ramai setelah kelahiran Eunha. Semuanya ingin bermain dengan putri kecil itu. Anggota keluarga semuanya menyukai Eunha dan menerimanya.
Sebenarnya, Gladys pernah bilang kalau dia ingin pindah dari rumah ini ke kontrakan saja. Tapi pihak keluarga tentu melarang. Mereka malah jadi mengkhawatirkan Gladys dan Eunha. Melihat kelakuan dan sikap Yudha selama ini, membuat Marsel dan Alexa tidak tega kalau harus membiarkan Gladys pindah ke kontrakan. Terlebih lagi, Eunha masih sangat kecil. Sedangkan antara Yudha maupun Gladys juga sama-sama sibuk menyelesaikan kuliah dan meraih mimpi masing-masing. Alexa begitu takut kalau cucu pertamanya akan terlantar. Lagi pula, setidaknya kalau di rumah, Alexa bisa sedikit membantu menjaga Eunha setelah pulang kerja kalau Gladys maupun Yudha masih sibuk di luar.
Begitulah kisahnya kenapa Gladys dan Yudha masih tinggal bersama Marsel sampai detik ini, bahkan setelah Gladys melahirkan.
"Biar aku yang mandiin Eunha." Zulla mengambil alih tugas Gladys memandikan Eunha.
Zulla bisa memandikan bayi yang usianya bahkan belum satu bulan. Dulu, saat Khael dan Zalle masih bayi juga dia sering melihat dan membantu Alexa, jadi membuatnya semakin paham.
***
"Bit, wortel, kentang juga udah semua." Zulla melihat lagi daftar bahan belanjanya di kertas yang dia bawa.
Gadis itu sedang berbelanja sendiri di supermarket yang jauh lebih lengkap. Niatnya, Zulla ingin membuat hidangan yang dia inginkan sendiri di hari minggu ini.
"Ah... Gochujang." ingatnya seketika.
"Ish... Kenapa bisa lupa sih? Itu 'kan bahan utama." desisnya sambil berjalan cepat mendorong trolley-nya ke bagian saus gochujang ditata.
Niatnya, Zulla ingin membuat tteokbokki dengan gorengan empat warna seperti yang dia lihat di sebuah acara televisi Korea. Dia ingin mencobanya sendiri di rumah dengan harapan sekali coba langsung berhasil. Semoga saja.
"Oke." Zulla berhasil mendapatkan saus gochujang di rak.
Gadis itu semakin maju dan mengambil biji wijen dengan ukuran paling sedikit. Saat sedang mengambil biji wijen, dia seperti melihat sebuah jam tangan yang dia kenali. Ketika mendongak, dugaannya benar adanya.
"Om Alfa?" sapanya semangat.
"Loh, kamu ngapain di sini?" Alfa juga terlihat sedikit kaget.
"Lagi nyanyi, Om."
"Kamu bisa aja." kekeh Alfa.
"Lagian Om ini aneh, ke supermarket ya jelas mau belanja lah Om. Masa mau jogging."
Betul juga. Alfa sedikit merutuki kebodohan pertanyaannya barusan. Tidak ada yang pergi ke supermarket untuk berolahraga.
"Belanja apa?" akhirnya Alfa mengganti pertanyaannya.
"Ini, mau nyoba-nyoba aja. Siapa tahu nanti jadi makanan enak hehehe..."
Tawa menular, Alfa ikut tertawa. Tapi Zulla malah semakin bingung karena melihat Alfa belanja sendiri. Bahkan, di trolley yang didorong Alfa penuh akan sayuran, daging, seafood, buah dan bumbu dapur.
"Om sendiri?" daripada semakin penasaran, Zulla memilih bertanya saja.
"Oh ini? Saya lagi bantu Mama belanja. Kebetulan, pembantu di rumah lagi pulang kampung jadi saya harus mau belanja." alibinya, padahal Alfa memang sesekali belanja isian dapur seperti sekarang kalau sedang ingin saja.
"Ah... Begitu?"
Keduanya lanjut belanja. Bahkan malah, mereka mencari bahan-bahan bersama. Zulla yang lebih dulu selesai akan barang belanjaannya pun memilih membantu Alfa mencarinya terlebih dahulu sebelum mengantre di kasir.
Setelah semua bahan didapatkan, Alfa membantu Zulla mengantrekan bahan belanjaannya. Lelaki itu bahkan mendahulukan belanjaan Zulla sebelum dirinya sendiri. Kini, keduanya sama-sama membawa trolley mereka ke tempat parkir dan menata semua barang belanjaan di mobil masing-masing. Tanpa mereka duga, bahkan mobil mereka parkir bersebelahan.
Beres dengan barang belanjaan, Alfa mengajak Zulla kembali ke supermarket. Di sana cukup lengkap, ada beberapa kafe juga di lantai dua. Jadi buat para pengunjung yang kelelahan atau kelaparan bisa diatasi di sana langsung tanpa harus bingung mencari tempat makan lagi.
"Kamu mau makan apa?" Alfa memilih bertanya karena takut pilihannya tidak sesuai dengan selera Zulla.
"Eum... Bagaimana kalau pizza?"
"Oke. Kita makan pizza." Alfa langsung menyetujui usulan Zulla.
Kebetulan, di kafe yang menghidangkan makanan cepat saji tidak sedang ramai. Hanya beberapa meja saja yang terisi. Alfa memilih meja di paling pinggir dan segera memesan pizza ukuran medium dengan ditemani minuman soda.
Belum lama, Zulla mendapatkan panggilan telepon dari Alexa yang meminta tolong padanya untuk membelikan s**u formula buat Eunha.
"Eum... Enggak akan lupa kok, Bun. s**u buat usia 0-6 bulan." katanya mengulangi agar Alexa lebih tenang.
Selain mendengar Zulla yang mengatakan tentang bayi, Alfa juga melihat foto bayi yang dipajang di belakang ponsel Zulla dan terlapisi silikon bening.
"Itu anaknya Yudha?" tanya Alfa memastikan.
"Eum... Cantik kan, Om." walau sedikit malu, tapi Zulla juga tidak bisa menghindar dari pertanyaan seperti ini.
"Perempuan?"
"Iya, perempuan." angguk Zulla seraya memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
Kabar tentang Marsel yang memiliki cucu dari putra keduanya sudah menyebar di rumah sakit. Tapi untunglah, setidaknya saat Eunha lahir, Yudha sudah bukan anak SMA lagi. Walau tidak bisa mengurangi rasa malu karena Yudha menikah di usia muda karena perempuannya hamil duluan.
"Pasti lucu banget." puji Alfa meski belum tahu bagaimana Eunha.
"Eum... Eunha emang lucu, Om. Dia bahkan udah sadar kamera." kikik Zulla saat teringat setiap dia mengeluarkan ponselnya buat mengambil gambar, anak gadisnya Yudha itu langsung diam dan tersenyum.
"Eunha?" bingung Alfa seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Ah... Iya, dia namanya Eunha. Aku yang ngasih nama hehehe..." cengir Zulla.
Dua gelas minuman soda pesanan mereka datang, menghentikan obrolan mereka untuk sesaat.
"Apa artinya?"
"Eunha, diambil dari bahasa Korea. Artinya juga sebagai galaksi." jelasnya singkat.
Walau tidak menjelaskan secara detail, Zulla yakin kalau Alfa akan paham. Lagi-lagi perbincangan mereka terputus karena datangnya pesanan. Seporsi pizza dengan topping yang diinginkan Zulla terhidang di atas meja.
"Makasih makanannya, Om." ujarnya sebelum memulai gigitan pertama.
Tersenyum saja Alfa mendengar dan melihat Zulla melakukan itu. Dia pun kini ikut mengambil satu potong pizza dan segera dia masukkan ke mulutnya.
Apa pun makanannya, tidak ada masalah. Selama itu dinikmati bersama orang spesial, maka akan terasa spesial pula.
***
Next...