36. Di Mana?

2569 Words
Bola mata Zulla memutar, memastikan ke sekitar kalau tidak ada barang yang tertinggal. Seketika itu, dia langsung keluar kamar dan berlari menuruni tangga. Hari ini, dia ada dua kelas dan jamnya berturut-turut. Sehingga membuat Zulla sedikit senang. Pasalnya, dia tidak perlu menunggu di tempat lain atau jalan-jalan keliling kampus dulu untuk menghabiskan waktu selama menunggu. Wajahnya berseri-seri melihat Marsel ada di meja makan. Ayahnya terlihat sedang bercanda bersama Zalle, adik bungsunya yang sangat lengket bagaikan lem dengan Marsel. "Aku cemburu sama Zalle." ujar Zulla sambil menunjukkan wajah cemberutnya melihat Marsel dan Zalle. Gadis itu duduk di tempatnya sambil menarik kursi lumayan kasar dan membanting tasnya begitu saja. Membuat Zalle dan Marsel yang awalnya sedang tertawa jadi diam seketika. Kata-kata Zulla barusan membuat pergerakan Alexa jadi lamban. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Zulla bersikap seperti ini. Marsel pun merasakan hal yang sama, merasa aneh akan tingkahnya yang dadakan. "Kak Zulla kenapa?" tanya Marsel dengan nada sedikit rendah dan kebingungan. Alexa jadi takut kalau ternyata selama ini Zulla merasa ayahnya direbut oleh Khael dan Zalle tapi Zulla tidak berani mengatakannya. Kalau memang begitu, Alexa tidak tahu harus bagaimana. Apalagi sekarang Zalle mendengar langsung kecemburuan kakaknya. Anak kecil itu pasti akan merasa sangat bersalah. Azallea Veronika Fabiano, atau yang kerap dipanggil Zalle agar tampak mirip dengan nama panggilan Zulla. Gadis kecil itu sedang melihat ke arah kakaknya yang hanya fokus menatap makanan. "Aku cemburu sama Zalle, Ayah." rengek Zulla tiba-tiba. "Ya cemburu kenapa, Kak?" Marsel masih keheranan dengan anak gadisnya. "Ayah enggak peka banget sih. Zalle suka digendong-gendong sama Ayah, tapi Ayah makin tua. Udah enggak kuat lagi gendong aku." Tampak jelas sekali wajah kesal Zulla pagi ini. Marsel dan Alexa seketika tertawa mendengarnya. Zulla cemburu pada adik bungsunya karena sebuah gendongan. "Aku 'kan juga masih pengen digendong sama Ayah. Tapi Ayah makin tua, makin rapuh, makin keriput. Ish, aku makin cemburu." dengusnya yang kesal mengetahui Marsel sudah seperti bapak-bapak. "Siapa yang cemburu?" Tiba-tiba ada suara dari atas. Ternyata Yudha sedang berjalan cepat menuju meja makan, diikuti oleh Khael yang siap dengan tas sekolahnya. Kedua anak laki-laki itu langsung ikut bergabung dan duduk di tempatnya masing-masing. "Kak Zulla cemburu tahu aku digendong terus sama Ayah." suara imut Zalle terdengar membuat Yudha tersedak makanannya. Seketika, Yudha tertawa mendengar aduan dari Zalle. Dia menatap Zulla yang meliriknya tajam dan mengatainya lewat gerakan bibir tapi Yudha hanya menjulurkan lidahnya saja mengejek kakaknya. "Berarti, kamu enggak cemburu sama Zalle karena merasa Ayah direbut sama Zalle 'kan, Kak?" tanya Alexa lebih memastikan ketakutannya lagi. "Bunda ngomong apa sih? Zalle juga anaknya Ayah, adik aku. Aku enggak ngerasa Zalle atau Khael ngerebut Ayah dari aku. Kalau aku ngerasa begitu, Zalle sama Khael juga bisa merasa kalau aku ngerebut Bundanya dari mereka." jelas Zulla agar Alexa juga tidak salah paham akan maksudnya tentang cemburu. Mendengar ini, Alexa rasanya lega. Dia tersenyum pada anak gadisnya yang dewasa terlalu cepat. Dia mengangguk mengerti. "Enggak ada yang ngerebut Bunda, kalian semua anaknya Bunda." kata Alexa seraya melihat keempat anaknya satu persatu. Suasana hangat di rumah masih bertahan sampai hari ini dan akan tetap hangat sampai kapan pun juga. Zulla senang memiliki keluarga yang utuh, tidak pernah mendengar kedua orang tuanya bertengkar hebat, selalu terhidang makanan setiap harinya, disambut ketika pulang belajar, memiliki pemandu arah saat dia tersesat, mendapatkan penasihat terbaik setiap dia salah, memiliki teman untuk mendengar keluhannya, mempunyai adik-adik yang bisa membuatnya tertawa dan merasa bangga sebagai seorang kakak, semuanya lengkap. Di rumah ini tidak ada yang kurang. Zulla memiliki semuanya, dan gadis itu berusaha untuk selalu mensyukurinya. "Ya udah, ayo cepetan sarapan. Tidak boleh ada yang telat." ajak Marsel mulai memegang sendok. Rumah akan kosong dari pagi sampai sore. Orang pertama yang pulang biasanya Alexa dan kedua buah hatinya yang masih di bangku PAUD. Setelah itu, random yang pulang. Bisa Marsel duluan, Yudha duluan, Zulla duluan atau bisa saja mereka bertiga pulang bersamaan. Tidak ada lagi babysitter di rumah yang mengurus kedua anak kecil itu. Setelah dari PAUD, Khael dan Zalle akan dijemput oleh orang dari penitipan anak dan akan berada di sana sampai Alexa atau Marsel menjemput. Sampai sejauh ini, semuanya aman dan tidak ada yang mengeluh. "Kalau Kak Zulla mau, Ayah masih kuat gendong loh." "Jangan, aku takut nanti pinggang Ayah sakit terus aku jatuh dan ikutan sakit juga." tolak Zulla mentah-mentah meski tadi dia bilang kalau cemburu. Alexa orang paling kencang tertawanya mendengar perkataan Zulla. Sedangkan yang ditertawakan hanya bisa mendengus dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Ayah kesel ya?" Khael ikut menggoda ayahnya. "Enggak..." gelengnya tanpa minat. Menu sarapan hari ini cukup simpel. Nasi putih dan telur mata sapi. Alexa menatanya serapi mungkin agar tidak tertukar. Karena seisi rumah memiliki selera yang berbeda untuk telur mata sapi. Marsel suka setengah matang, Alexa suka yang matang tapi kuningnya utuh. Zulla suka telur ceplok yang kuningnya dipecahkan dan digoreng sampai matang tapi bagian pinggirnya tidak mau sampai garing. Sementara Yudha tidak suka telur ceploknya dibalik dan bagian bawahnya harus sampai coklat. Sedangkan Khael dan Zalle memiliki selera yang sama, suka telur ceplok yang matang dan garing sampai bagian sisinya sedikit alot. Untung saja, Alexa bisa hafal dan sudah sangat paham meski mungkin ini hanya perkara telur ceplok saja. "Telur ceplok buatan Bunda emang terbaik." Yudha mengacungkan kedua jempolnya mengarah ke Alexa. "Eum... Kalau enggak terbaik, mana mungkin Bunda bikin telur ceplok yang berbeda-beda." Semuanya nyengir kuda menanggapi Alexa dan tak lama, Alexa mendapatkan jempol dari seluruh anggota keluarga. "Kak Zulla minta gendong Yudha aja, dia kuat gendong Kakak." usul Marsel mencoba menyarankan apa yang terlintas dalam pikirannya. "Apaan? Enggak, Kak Zulla berat." tolaknya mentah-mentah. "Siapa juga yang mau digendong sama kamu, ntar dikira kita pacaran." Zulla tak kalah menolaknya seperti Yudha. "Pacaran?" heran Marsel. Sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut, Zulla mengangguk menyahuti pertanyaan Marsel. Zulla yakin, pasti Marsel dan Alexa juga bingung dengan pernyataannya barusan. "Ayah tahu enggak? Kemarin malam masa pas aku di luar sama Yudha, 'kan enggak sengaja papasan sama guru les renangnya dia yang baru. Masa aku dibilang pacarnya." cerita Zulla tentang kejadian semalam sewaktu dia dan Yudha sedang makan malam di luar selesai Zulla bernyanyi di kafe. Marsel dan Alexa mendengarkan baik-baik cerita dari Zulla sambil terus melanjutkan sarapan. "Terus ya, pas aku sama Yudha bilang kalau aku kakaknya Yudha, gurunya enggak percaya karena badan aku lebih kecil dari Yudha. Ngeselin banget 'kan." Zulla sampai bersungut-sungut saat menceritakan tentang itu. "Terus, kemarin pas di tempat les renang. Gurunya bilang katanya aku enggak boleh keseringan pacaran. Gara-gara Kak Zulla tuh." kali ini ganti Yudha yang bercerita. Mendengar cerita kedua anaknya yang masih di masa remaja, Marsel hanya tersenyum saja. Tak heran memang, namanya juga kakak beradik beda gender dan bahkan fisik mereka mendukung untuk Zulla malah terlihat seperti adiknya Yudha. "Aku cemburu sama Kak Zulla." Kali ini ganti Zalle yang mengutarakan kecemburuannya. Zulla yang akan minum jadi tertunda gara-gara Zalle. "Kenapa?" "Kak Zulla bisa dikira pacarnya Kak Yudha, tapi aku enggak bisa. Kalau aku gede nanti, Kak Yudha udah kayak Om-Om." "Uhukk... Uhukkk..." Yudha tersedak makanannya mendengar ini. Dia menatap adiknya yang masih berusia empat tahun itu. Entah apa yang membuat Zalle berpikiran begitu. Tapi memang semua anggota keluarga tahu bahwa sedari kecil memang Zalle paling suka dengan Yudha meski Yudha sering sekali menjahili Zalle sampai menangis.   ***   Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswi kedokteran, pembimbing di tempat les musik, dan lain-lainnya, Zulla masih menyempatkan diri untuk datang ke acara reunian alumni seangkatannya yang kabarnya nanti akan diadakan setiap tahunnya. Dan hari ini adalah reuni pertama mereka setelah lulus satu tahun lalu. Zulla datang berdua bersama Lingga. Mereka juga sudah menyapa teman-teman sekolah yang dikenal dari semasa jadi pelajar dulu. Kebetulan, acaranya diadakan malam hari karena beberapa ada yang protes kalau diadakan di hari minggu. Katanya akan mengganggu hari libur mereka. Ada beberapa yang membawa pasangan ke reuni. Bahkan teman sekelas Zulla sudah ada tiga orang yang menikah dan dua di antaranya sedang dalam keadaan hamil. Kafe menjadi tempat pilihan untuk disewa buat reuni. Dan kebetulan hampir semua alumni datang. Dilihat dari buku daftar hadir, kalau dijumlahkan, hanya sekitar lima orang yang tidak datang. Saat ini, Zulla dan Lingga juga sedang dihadapkan dengan buku hadir. Mereka akan mengisinya dan memberikan tanda tangan. Saat melihat, ada nama yang membuat Zulla terpaku. Becca Areera, nama itu ada di sana. "Fit, semua nama yang ada di sini datang semua?" tanya Zulla kepada temannya yang bertugas menjaga meja berisi buku kehadiran. "Oh... Kalau di sini ada ceklis biru sama tanda tangan, berarti dateng. Kalau masih kosong, bisa jadi belum dateng atau emang enggak dateng orangnya." gadis yang dipanggil Fit tadi membalikkan kertas dan menunjukkan kolom yang beberapa di antaranya ada tanda ceklis dan tanda tangannya. "Ish... Kenapa harus ditulis tangan segala sih. 'Kan bisa diketik." gerutu Zulla. Gadis itu menggerutu karena nama-namanya ditulis menggunakan tangan semua. Dia pikir, Becca datang ke acara reuni. Tapi setelah dilihat kolom bagian namanya, masih kosong dan tidak ada tanda tangannya. "Emang kenapa, Zul?" tanya Fita karena penasaran. "Enggak, ini gue mau ceklis punya Lingga sekalian." Zulla melakukannya dan langsung tandatangan di kolom bagiannya lalu memberikan bolpoin ke Lingga agar temannya itu juga tandatangan. "Eung... Vanko dateng, Zul." Lingga memperlihatkan kolom yang bertuliskan Stevanko Sean, di sana sudah diceklis biru dan ada tandatangannya. Zulla tersenyum mengetahui satu temannya yang tidak bisa dihubungi sekali pun selama satu tahun ini hadir. Percakapan terakhir mereka saat keduanya saling meminta maaf di hari pengumuman kelulusan itulah pertemuan terakhir meraka. "Iya, Vanko udah dateng dari tadi." sahut Fita membenarkan. Tanpa berlama-lama lagi, Zulla langsung masuk dan bergabung dengan yang lain. Dia melihat dari ujung ke ujung, mencari keberadaan Vanko. Zulla ingin menanyakan banyak hal pada Vanko tentang satu tahun terakhir ini. "Hallo..." Belum sampai Zulla menemukan Vanko, lelaki yang dia cari sudah mendatanginya terlebih dulu. Wajah tampan lelaki itu dihiasi oleh senyuman. Zulla melihat Vanko yang berbeda. Wajahnya senantiasa dihiasi senyuman dan terlihat lebih hangat. Tidak seperti dulu yang jarang senyum dan lebih terlihat dingin. "Heh... Gue cariin juga." refleks Zulla menepuk lengan Vanko. "Dari mana lo?" tanya Lingga yang juga heran karena tiba-tiba Vanko muncul di sekitar mereka berdua. "Gue dari tadi di sini. Kalian aja yang enggak lihat." jawabnya sambil tersenyum lebar. Zulla semakin bertanya-tanya dalam hati, tentang arti senyuman Vanko. Apa itu senyuman yang benar-benar mengisyaratkan kebahagiaannya, atau hanya sebuah kedok belaka? Zulla ingin sekali bertanya, tapi rasanya tidak enak untuk mengorek perasaan yang sulit dijelaskan. "Kabar lo gimana? Kenapa lo enggak bisa dihubungi?" langsung saja Zulla menanyakan hal ini karena sedikit kesal juga pada Vanko yang seperti hilang tertelan batang pohon besar. Tangan Vanko menunjuk sebuah meja dan ada beberapa kursi kosong yang ada tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Langsung saja Zulla berjalan ke arah sana dan duduk. Lingga menyusul bersama Vanko lalu ikut duduk bertiga di sana. "Kabar gue baik-baik aja. Gue sibuk belajar bisnis di Malang. Kuliah iya, belajar langsung di kantor juga iya. Makanya gue enggak punya waktu buat diri sendiri." kekehnya sembari meminum jus yang dia ambil dari meja bagian minuman. "Ya tapi 'kan, masa lo enggak punya waktu banget sih? Nomer HP lo enggak aktif sama sekali. Atau jangan-jangan lo ganti nomer terus enggak ngasih tahu gue sama Lingga gitu?" Vanko sedikit kaget mendengar Zulla mencecarnya. Dia melambaikan tangan, memberikan tanda tidak sambil menggeleng beberapa kali. "Iya, keterlaluan lo kalau ganti nomer terus enggak ngehubungin kita berdua." sambar Lingga membenarkan kata-kata Zulla. Vanko merogoh saku celananya dan menunjukkan ponsel lamanya pada kedua temannya. "Coba miscall deh, gue enggak ganti nomer. Tapi emang gue lagi pengen bener-bener buat hidup tanpa gadget aja untuk sementara waktu. Pengen lebih nyibukin diri sama hal yang gue suka dan nikmatin hidup apa adanya." jelas Vanko agar Zulla dan Lingga tidak salah paham padanya. Penjelasan Vanko barusan membuat Zulla dan Lingga cengo. Mungkinkah Vanko benar-benar melakukannya selama ini? Melihat reaksi Zulla dan Lingga malah seperti orang bingung, Vanko jadi terkekeh sendiri dan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak ada kutunya. "Tapi kadang juga gue pegang HP, cuma jarang banget. Belum tentu sebulan sekali." kekehnya masih sambil menggaruk kepalanya. "Lo yakin? Enggak lagi ngelindur? Lo bisa hidup tanpa HP?" Zulla sampai menatap Vanko lekat-lekat, mencari sebuah kebohongan di sepasang mata Vanko yang menyimpan banyak cerita. "Terserah kalau kalian enggak percaya." Lingga memberikan sebuah tepuk tangan pelan untuk Vanko. Tak menyangka kalau Vanko bisa juga hidup seperti itu. Bahkan Lingga sampai menggeleng-gelengkan kepalanya antara percaya dan tidak. "Vanko... Gue kangen banget sama lo. Gimana kabar lo? Lo pasti kangen juga 'kan sama gue?" Seorang gadis yang wajahnya tak asing bagi mereka bertiga datang tiba-tiba lalu duduk di kursi kosong yang di sebelah Vanko dan langsung merangkul lengannya serta bergelayut manja. Hal ini membuat Vanko tidak nyaman dan langsung mendorong gadis itu lalu menghempaskan tangannya secara kasar. "Lo apa-apaan sih." mata Vanko tak senang melihat Sherly tiba-tiba saja berbuat seperti itu padanya. "Kurang waras lo jadi orang?" cibir Zulla yang juga tak suka akan kedatangan Sherly di antara mereka. "Gue enggak ada urusan sama lo ya. Urusan gue sama Vanko, calon pacar gue." Seketika Vanko menoleh ke arah Sherly, kaget mendengar apa yang Sherly katakan. Apa mungkin barusan dia salah dengar? "Enggak usah ngimpi lo bisa jadi pacarnya Vanko." Paper cup bekas bolu kukus yang dimakan Zulla tadi, tiba-tiba melayang ke arah Sherly setelah diremas-remas oleh Zulla. Tepat sekali mengenai wajahnya dan itu membuat Zulla tersenyum puas. "Ih... Jorok banget sih lo." dengus Sherly kesal dan berusaha membalas Zulla tapi dicegah oleh Vanko. "Sorry, tapi muka lo kayak tong sampah sih soalnya." Flat. Zulla mengatakannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apa pun. Namun Zulla senang bisa melihat raut wajah kesal dari Sherly yang tampak sangat jelas. "Irh... Pengen gue cakar muka lo yang songong itu." Sherly sudah bersiap dengan kuku-kuku panjangnya tapi tetap saja dia tidak bisa karena tertahan oleh Vanko. Suasana jadi ricuh di antara mereka usai kedatangan Sherly. Padahal tidak ada yang mengharapkannya sama sekali. Lagi pula, kenapa juga harus Sherly yang menghampiri dari sekian banyak teman sekolah mereka? "Lo mending pergi deh dari sini. Berisik tahu enggak lo." tak segan-segan Vanko pun mengusir Sherly supaya tidak mengganggu waktunya bersama kedua temannya. "Dasar, wanita enggak tahu diri ya lo. Udah diusir, masih aja ngejogrok di situ." dengus Lingga yang tak paham, sebenarnya Sherly terbuat dari apa. "Enggak mau. Gue mau di sini, nemenin calon suami gue." "Siapa calon suami lo? Tokek yang bergoyang? Pergi sana lo." Zulla bahkan sampai menendang kaki Sherly dari bawah meja sehingga menimbulkan suara pekikan dari bibir musuh Zulla dari lama itu. "Ya Vanko lah calon suami gue." "Lo beneran mau nikah sama dia, Van? Sama cacing keriput kayak dia?" heran Lingga. "Enggaklah, siapa juga yang mau sama dia." Sherly kesal waktu melihat Vanko mengedikkan kedua bahunya saat berkata seperti tadi. Tapi Zulla dan Lingga malah tertawa terbahak-bahak. "Lagian, gue udah ada yang punya." "Siapa? Lo dari kapan punya pacar baru? Enggak usah bohong." Sherly begitu kaget dan langsung menggoyang-goyangkan lengan Vanko tapi lagi-lagi tangannya ditepis oleh lelaki itu. "Lo beneran udah punya pacar lagi?" Zulla ikut penasaran. "Status gue sama dia 'kan masih pacaran." desahnya tanpa berani menyebutkan nama. Zulla paham maksudnya. Dia sedikit tidak menyangka kalau Vanko ternyata masih menganggap hubungannya dengan Becca ada. Padahal, Zulla kira Vanko sudah lupa. Seharusnya lo denger dan tahu apa yang dikatakan Vanko sekarang, Bec. Gue jamin, kalau lo denger pasti lo seneng. Tapi sekarang lo di mana? Batin Zulla yang kembali mengingat temannya yang sudah lama tidak ada kabar. Lo di mana? Tanyanya lagi masih di dalam hati. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD