26. Bohong

1530 Words
Pelajaran matematika dimulai setelah dua menit setelah bel masuk kelas. Tidak ada yang pindah. Zulla benar-benar tidak mengizinkan Becca pindah dari sana. Hal ini akan dilakukan Zulla sampai kekesalannya pada Lingga hilang. Karena setiap melihat wajah Lingga, rasa kesal dan ingin mengamuk masih ada. Maka dari itu pula, Zulla enggan menoleh ke arah Lingga. Satu jam berlalu, tidak ada yang ribut selain karena berisik urusan pelajaran. Tiba-tiba saja, Zulla menyenggol kaki Becca dua kali sampai sang pemilik kaki menoleh. "Bu..." panggil Becca seraya mengangkat tangan kanannya ke atas. Vanko menunggu apa yang akan Becca katakan. Soalnya tidak biasanya Becca bertanya atau meminta penjelasan guru kalau Becca sedang kesulitan dalam memahami pelajaran saat di kelas. Pacarnya itu lebih sering bertanya padanya atau pada Zulla. "Ya? Kenapa, Bec? Ada yang kurang kamu mengerti?" sahut guru matematika yang duduk di kursi guru seraya mengecek tugas kelas lain. "Saya boleh izin ke UKS apa enggak, Bu? Perut saya sakit banget." tanya Becca seraya memasang tampang sedikit kesakitan dan tangannya memegang bagian perutnya. Perkataan yang Vanko dengar dari bibir Becca kali ini membuatnya merasa kasihan dan sekaligus aneh. Padahal tadi pagi saat mereka tak sengaja papasan di samping gerbang, Becca masih baik-baik saja dan tidak mengeluh bahwa dia sedang sakit perut. Lingga pun yang tadinya fokus pada buku paket dan soal-soalnya, jadi melihat Becca yang memang tampak kesakitan. Kasihan juga Lingga pada Becca. "Memangnya perut kamu sakit kenapa?" Pertanyaan yang terucap dari guru matematika itu pun mewakili pertanyaan Vanko dan Lingga sekarang. "Biasa Bu, lagi datang bulan hari pertama hehehe..." Syok! Bukan Vanko saja yang syok di sini. Tapi Lingga dan Becca sendiri pun ikut kaget mendengar jawaban alasan yang diberikan Zulla barusan. Kenapa juga Zulla harus memakai alasan itu. Membuat Becca merasa malu saja dia sekarang. Ditambah seisi kelas tahu semua, sedangkan lelaki di kelas itu bukan hanya ada Vanko dan Lingga saja. Zulla ngapain pakai alasan itu segala sih? Muka gue mau ditaruh di mana coba? Rutuk Becca dalam hatinya. "Kok kamu bisa tahu, Zul?" Ah elah, ini guru ribet banget sih. Hati Zulla tiba-tiba menggumel karena terlalu lama untuk bisa ke UKS saja. "Tadi Becca cerita ke saya, Bu. Dan Becca tidak berani bilang ke Ibu langsung tentang alasannya." sebisa mungkin Zulla mencari alasan yang begitu natural agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Gue enggak bilang begitu ya tadi ke lo." bisik Becca pelan di samping telinga Zulla, dan saking pelannya pun Vanko maupun Lingga tidak ada yang mendengar. Kening Vanko mengerut melihat apa yang dilakukan kedua gadis di depannya itu. Seperti ada yang aneh dari mereka berdua namun belum bisa ditebak. "Oh... Ya sudah, Zulla boleh menemani Becca ke ruang UKS. Jangan lupa nanti minta obat dan langsung diminum ya supaya sakitnya berkurang." Dalam hati, Zulla bersorak senang karena akhirnya idenya membuahkan hasil meski sedikit lama buat menunggu guru matematika itu mengizinkan mereka ke ruang UKS. "Lo perlu gue temenin juga, Bec?" bisik Vanko sebelum kedua gadis itu keluar kelas. "Enggak perlu, gue sama Zulla aja. Lo tetep di kelas, gue minta tolong lo catet semua materi dan penjelasan hari ini. Biar nanti gue bisa nyalin dari lo." sahut Becca sebelum akhirnya dia benar-benar berdiri. "Oh... Oke, nanti kalau jam istirahat gue susul ke UKS." Keluarlah mereka berdua dari kelas setelah mendapat izin. Kebetulan, UKS lumayan jauh dari kelas mereka dan di sana ada petugas kesehatan yang berjaga di waktu tak tentu. Sebelum sampai di ruang UKS, Becca masih pura-pura sakit perut saat berjalan. Tapi sebisa mungkin dia juga berjalan cepat agar segera sampai supaya dia tidak terlalu lama berpura-pura. Bukan hanya Becca yang berpura-pura, tapi Zulla pun sama. Dia memegang lengan Becca layaknya seseorang sedang menuntun orang sakit pada umumnya. Saat tak sengaja mereka berpapasan dengan guru, tentu saja mereka menjawab mau ke UKS dan Becca pura-pura mengaduh. Perjalanan masih belum selesai, mereka berdua masih harus menuruni tangga. Sampai akhirnya tiga menit berlalu mereka sampai di depan pintu ruang UKS. Zulla membuka pintu ruangan perlahan-lahan dan memanggil-manggil nama dokter yang mungkin berjaga. Tapi sampai Zulla mengantar Becca ke brankar, tidak ada yang menyahut. Ruangan hening dan seolah tidak ada orang selain mereka berdua. "Kayaknya enggak ada yang jaga deh, Zul." gumam Becca menyimpulkan keadaan sekarang. Anggukan menjadi pilihan Zulla menyahut kata-kata Becca. Gadis itu kembali berjalan ke arah meja tempat di mana buku pasien berada lalu Zulla menulis di buku kunjungan di sana. Nama, kelas, tingkat, mata pelajaran, hari, jam dan guru yang mengajar di kelas. Serta alasan ke UKS dan obat juga minum atau makanan yang diambil dari ruang UKS harus dituliskan secara rinci. Zulla mengisi semuanya dan mengambil satu tablet obat untuk sakit perut datang bulan. Meski nantinya Zulla yakin kalau Becca juga tidak akan meminumnya, tapi supaya para guru tidak curiga saja bahwa sebenarnya mereka pura-pura. "Nih obat buat lo, simpen aja buat nanti kalau lo dapet." Zulla memberikan obat itu pada teman baiknya. "Ish... Lo ya bisa-bisanya ngibulin guru pake ngomong gue dapet lagi. For your information ya, gue enggak lagi dapet." kesal Becca. Telinga Zulla panas rasanya mendengar omelan Becca kali ini. Dia hanya mengangguk-angguk paham seraya menatap Becca menggunakan ekor matanya. "Dikira gue enggak malu apa didenger semua temen sekelas." Becca masih saja tidak terima. "Iya-iya gue salah. Tapi 'kan yang penting manjur dan lo bisa bebas dari tu pelajaran yang katanya bikin lo pusing." Zulla mendesah sebelum meminum air mineral yang disediakan di kulkas ruang UKS. Keduanya sama-sama diam sekarang. Saling bergelut dengan pemikiran masing-masing. Sungguh, wajah Zulla dan Becca berbeda jauh. Gadis bermata bulat dengan rambut lurus sepinggang itu penuh kemasaman mengingat kejadian di toko buku. Sementara Becca, seolah cerahnya matahari pagi terus menyinarinya. Dia tidak bisa berhenti tersenyum setiap kali ingat semalam adalah ciuman pertamanya dengan Vanko. "Lo kenapa senyum-senyum sendiri?" Zulla menyadari senyuman di wajah Becca yang tak luntur dari pagi dia melihat Becca datang. "Enggak, gue cuma keinget MV barunya Mino Oppa aja semalam. Pengen nonton lagi tapi HP gue ketinggalan di tas hehehe..." cengir Becca. Alasan Becca bisa membuat Zulla mengangguk percaya. Tak heran lagi, Becca memang sering tersenyum tidak jelas karena idola mereka. "Jadi apa yang mau lo ceritain sampai-sampai lo punya ide buat ngajak gue ke sini?" Ingat Becca sekarang, kalau Zulla tadi mau curhat padanya yang entah tentang apa juga Becca belum tahu. Dia menunggu saja sampai Zulla membuka suara. "Kemarin pas gue ninggalin kalian di kafe steak itu, gue enggak sengaja ketemu sama Om dokter di toko buku." cerita awal Zulla. Kening Becca mengerut, dia tidak mengerti kenapa Zulla malah sedih kalau kemarin tidak sengaja ketemu Alfa. Padahal, biasanya, Zulla bakalan senang dan sangat menggebu-gebu saat bercerita padanya. "Kenapa?" heran Becca yang mencium bau keanehan dari diri Zulla. Pada akhirnya, Zulla menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Bahkan hingga sekarang pun, Zulla masih dalam emosi dan kekesalannya ketika menceritakan pada Becca. Tidak ada yang tertinggal satu pun. Tidak berbeda jauh dengan Becca yang melebarkan kedua telinganya agar dia bisa mendengar cerita Zulla tanpa kurang sedikit pun. Tangan Becca sampai meremas-remas bantal yang ada brankar seolah dia sedang melampiaskan kemarahannya pada Lingga ke bantal di atas pangkuannya. Tak habis pikir kenapa, juga Lingga datang di waktu tak tepat. Ditambah, Lingga memanggil Zulla dengan sebutan My Princess pula. "Ish... Pengen gue jadiin rujak rasanya tu mulut kecebong air." kesal Becca setelah mendengar seluruh cerita Zulla. "Gue aja kesel banget rasanya pen gue timpuk pake patung Liberty." "Ih... Zulla! Sakit!" pekik Becca ketika tangannya barusan dicubit oleh Zulla tanpa sadar. Jelas, teriakan Becca membuyarkan ilusi Zulla dalam sekejap mata. Dia hanya nyengir kuda melihat Becca mengusap-usap tangannya yang barusan tak sengaja dia cubit keras. "Hehehe... Peace, maapin gue. Asli, enggak sengaja." Zulla masih nyengir seolah tak takut kalau giginya bisa-bisa kering. Dengusan Becca membuat Zulla jadi semakin semangat buat membujuk Becca supaya tidak ngambek berkelanjutan padanya. Tapi saat Zulla melihatnya, benar saja bekas cubitannya tadi merah dan mungkin besok akan membiru. "Bec, gue minta tolong ke lo kalau jangan bahas masalah ini ke Vanko." "Terus lo mau Vanko ngira gue beneran datang bulan?" Pupil mata Zulla terbuka lebar-lebar meski tak selebar lapangan sepak bola Rungrado May Day di Pyongyang. Pertanyaan Becca kali ini terlihat lebih serius dan sangat serius ketimbang pertanyaan dari sebelum-sebelumnya. Tak sampai lima menit, Zulla membekap mulutnya sendiri. Sedikit tidak menyangka kalau kedua temannya itu sudah lebih dekat dari apa yang dia lihat. "Tunggu, apa jangan-jangan lo ada janji tidur bareng sama dia? Makanya lo takut kalau Vanko ngira lo lagi dapet terus acara kalian gagal?" Pertanyaan Zulla barusan berhasil membuat Becca lebih syok lagi. Kenapa juga temannya itu sampai bertanya hal yang sama seperti yang Lingga tanyakan semalam. Memangnya, di pikiran mereka berdua, setiap yang pacaran selalu berakhir dengan hubungan di atas ranjang. “Ngaco aja lo, secinta-cintanya gue ke Vanko ya. Enggak bakal mungkin lah kalau gue mau ditidurin sama dia kecuali dia mau nikahin gue. Dan lagi, Vanko enggak mungkin juga minta gue jadi pemuas nafsunya. Lo denger sendiri semalam dia bilang apa.” Jelas Becca yang benar-benar takut kalau dikira sudah pernah tidur dengan Vanko. Penjelasan Becca membuat Zulla nyengir kuda dan mengangguk percaya. Dia menyesali pemikirannya barusan yang entah kenapa tiba-tiba bisa berpikir ke arah sana. Bahkan Zulla juga mengucap maaf pada Becca atas pemikiran kotornya tadi. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD