"Lo masih yakin mau lanjut?"
Mendengar berbagai macam penjelasan tentang banyaknya risiko secara fisik maupun psikis yang mungkin akan menimpa Gladys setelah aborsi nanti, membuat Yudha jadi kembali mempertanyakan hal ini. Walaupun aborsi dilegalkan di negara ini, tapi tetap saja dokter berkewajiban memberi bimbingan konseling terlebih dahulu sebelum melakukannya dan wajib menunggu keputusan dari kedua belah pihak setelah konseling diberikan. Tentunya, dokter berharap agar orang-orang yang ingin membunuh calon anak mereka bisa lebih sadar.
"Lo juga enggak mau 'kan, mimpi lo terhalang karena anak ini? Cuma ini satu-satunya cara." balas Gladys berusaha meyakinkan Yudha agar segera menandatangani berkas di depannya.
"Ya tapi 'kan, gue juga takut kalau nanti lo kenapa-napa." desahnya.
"Lo juga enggak mau tanggung jawab 'kan? Terus kalau gue enggak bunuh anak ini sekarang, lo mau gue gimana? Gue ngelahirin dan besarin anak ini sendirian gitu?" desak Gladys lagi.
Kepala Gladys menggeleng sambil tertawa sinis menatap ke arah Yudha.
"Kalau gue ngelakuin itu, hidup gue yang hancur. Kesempatan buat gue hilang, dan mimpi gue bisa saja tertunda atau parahnya bakal berhenti sampai di sini." katanya penuh nada penekanan.
"Enggak. Gue enggak mau hancur sendirian. Setidaknya, biar impas kalau lo ragu tandatangan, lo juga harus hancur bareng gue. Kalau lo tetap bebas mengejar cita-cita dan mimpi lo sendirian, gue enggak akan rela. Apa pun bakal gue lakuin buat menghancurkan mimpi lo."
Bulu kuduk Yudha merinding seketika mendengar kata-kata Gladys yang cukup mengerikan. Rasanya mirip seperti melihat hantu di film hollywood.
"Kalau lo berhasil, gue juga harus berhasil. Kalau gue harus hancur, lo juga harus hancur. Gue mau, semuanya impas."
Yudha mengangguk sembari memejamkan kedua matanya. Dia meminta karena sempat ragu usai mengikuti konseling lima belas menit bersama dokter.
"Oke, gue tandatangani sekarang." putusnya sambil membubuhkan tinta di atas surat pernyataan dan perjanjian.
Proses berlanjut ke tahap selanjutnya. Kini Gladys sudah siap akan dibawa ke ruang operasi. Yudha menunggu di depan pintu dan melihat dua orang suster mendorong brankar menuju ke arahnya.
"Wait." pinta Yudha kepada dua suster tadi.
"Lo mau apa lagi?" kesal Gladys.
"Gue enggak akan berubah pikiran lagi. Gue cuma mau bilang, maaf ke lo. Gara-gara kecerobohan gue, lo jadi harus ngerasain ini dan nanggung semuanya sendirian. Maaf, sekali lagi." katanya tulus.
Gladys seolah bodo amat tentang apa yang Yudha katakan dan dia meminta kepada kedua suster tadi untuk segera membawanya ke dalam. Di depan ruang operasi, Yudha menunggu dengan gelisah. Dia tidak tenang, takut kalau Gladys kenapa-napa.
Jujur saja, yang Yudha khawatirkan sebenarnya bukan tentang Gladys sepenuhnya. Melainkan, dia takut kalau terjadi apa-apa pada Gladys, nanti berimbas pada orang tuanya juga. Sambil menunduk, dia beberapa kali melihat jam tangannya. Memastikan sudah berapa menit Gladys berada di dalam. Saking cemasnya, Yudha bahkan tidak bisa duduk santai dan lebih memilih berdiri.
Dugh!
"Argh...!"
Tubuh Yudha tersungkur ke lantai ketika dia mendapat serangan tiba-tiba. Ketika mendongak, jantungnya berpacu berkali-kali lipat lebih cepat ketimbang menunggu Gladys selesai operasi.
"Ayah..." ucapnya lirih.
Syok!
Yudha kaget bukan kepalang melihat di depannya ada Marsel, Alexa dan Zulla. Wajah Marsel tampak marah padanya. Tangannya terkepal kuat-kuat, bahkan urat-urat di lehernya sampai tertarik semua.
"Ini yang katanya kamu izin buat jalan-jalan ke Jogja sama temenmu? Dari kapan Jogja pindah ke Singapur?" cecar Marsel membuat Yudha tidak bisa berkutik.
Melihat adiknya dipukul cukup keras sampai sudut bibirnya sobek, membuat Zulla tidak tega. Dia ingin menolong Yudha, tapi Zulla juga marah pada adiknya.
Marsel dan Alexa bisa tahu Yudha di sini, itu semua karena Zulla. Waktu itu, saat Zulla meminta Yudha menjemputnya, dia tidak mematikan sambungan telepon sehingga perbincangan Yudha dan Gladys tentang rencana aborsinya di Singapura terdengar oleh Zulla. Butuh keberanian penuh bagi Zulla buat memberi tahu kedua orang tuanya tentang yang sebenarnya karena Zulla juga tidak ingin kalau adiknya menjadi orang jahat.
***
"Ya gitulah ceritanya." desah Zulla menceritakan tentang terjadinya pernikahan Yudha dengan Gladys kemarin lusa.
Tara dan Lingga yang mendengar ceritanya langsung dari Zulla, merasa tidak menyangka kalau temannya itu dilangkahi oleh adiknya yang bahkan masih sekolah. Terlebih lagi, pasangannya orang yang sudah merundung Zulla dan Yudha sewaktu kecil dulu.
"Wah... Gue enggak nyangka, Yudha bisa sehebat itu juga sampai bunting itu si Gladys." Lingga hanya bisa memberi respons seperti ini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hari sudah cukup gelap dan sudah pukul setengah sembilan malam. Mereka sudah selesai manggung di kafe milik Kendrick seperti biasa. Zulla sudah bersiap pulang, akan tetapi kedua matanya menangkap sesosok lelaki yang tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan.
Dalam hati, Zulla bersyukur karena Lingga dan Tara sudah pulang dari dua menit yang lalu. Jadi mereka tidak akan melihatnya bersama Alfa nantinya. Perlahan, Zulla mendekati Alfa diiringi senyuman semringah.
"Om Alfa mau nongkrong di sini?" tanyanya basa-basi.
"Tadinya saya mau lihat kamu nyanyi di sana, tapi kayaknya saya telat." kekehnya membuat Zulla ikut tertawa.
Pernyataan Alfa mampu membuat hidung mancung Zulla melambung ke angkasa. Seolah kini dia sedang terombang-ambing di atas awan tanpa tahu di mana dia harus turun.
"Aku bisa nyanyi lagi buat Om Alfa kalau Om mau denger aku nyanyi." tawarnya, meski Zulla sedikit meringis dalam hati karena sebenarnya dia malas memasang alat-alatnya lagi.
"Tidak perlu, pasti kamu capek 'kan. Setelah pesanan saya datang, kita pulang saja." ajaknya.
Kita? Om Alfa barusan bilang apa? Kita? Kita pulang aja? Bagi Zulla, kata kita yang dipakai Alfa barusan begitu ambigu.
Apa Om Alfa menganggap kalau gue sama dia itu ada hubungan sampai menjadi kita? Herannya lagi.
"Ayo." ajak Alfa membuyarkan lamunan Zulla tentang kata kita.
Karena tidak ingin membuat Alfa bingung, menunggu dan berpikir yang aneh-aneh tentangnya, Zulla mengangguk dan ikut saja.
***
Tak menyangka, Zulla kira dia akan segera pulang. Tapi ternyata tidak. Alfa malah mengajaknya jalan-jalan malam di taman sebentar. Tidak ada hal spesial yang mereka lakukan. Hanya duduk di salah satu bangku sambil menikmati secangkir kopi americano. Meski begitu, hal sederhana saja bisa membuat Zulla bahagia.
"Saya tidak tahu, kenapa rasa americano malam hari ini terasa lebih nikmat dari biasanya. Padahal saya sering meminumnya." kekeh Alfa membuat Zulla semakin tak karuan.
"Mungkin ada yang beda di hari ini buat Om Alfa." sahutnya.
Sambil menatap lurus ke depan, Alfa tersenyum. Dia mengangguk dan lalu terkekeh sambil menundukkan kepalanya menatap kopinya yang sudah habis setengah dan mulai dingin terkena embusan angin.
"Ya, mungkin saja begitu." angguknya.
"Emangnya apa yang bikin hari Om dokter beda di hari ini? Kalau aku boleh tahu." pancingnya.
Suasana begitu ramai, begitu banyak orang berlalu lalang di sana. Walau hari sudah cukup malam. Namanya juga di kota besar, wajar saja meski sudah tengah malam sekali pun tetap ada aktivitas.
"Kamu percaya keajaiban, mukjizat, atau hidayah?" tanya Alfa tiba-tiba sambil menoleh ke arah Zulla.
"Eum... Aku percaya." angguknya mantap.
"Kenapa?" lanjut Zulla bertanya karena memang penasaran.
Senyuman di wajah Alfa masih menjadi hiasan terapik di wajahnya. Semakin saja membuat Zulla dag dig dug merasakan jantungnya berdetak kencang di dalam sana.
"Sepertinya hari ini saya benar-benar menyaksikan keajaiban itu sendiri."
Zulla hanya bisa terdiam. Dia antara bingung dan penasaran tapi masih menunggu Alfa melanjutkan kata-katanya.
"Saya punya pasien yang menderita kanker paru-paru karena beliau sering diminta menemani suaminya saat sedang merokok. Minggu lalu, beliau dioperasi. Tapi kondisinya menurun drastis dan bisa dikatakan harapan hidupnya hanya dua puluh lima persen." Alfa mulai mengawali ceritanya.
"Lalu?"
"Keluarganya tidak pernah berhenti memohon kesehatan dan kesembuhan buat beliau, terutama sang suami yang begitu menyesal. Kemarin kondisi beliau kritis dan tadi sore sempat pingsan sebentar." lanjut Alfa setelah menghela napas sebentar.
"Mungkin Tuhan mengabulkan doa mereka. Setelah beliau pingsan, penyakit beliau tidak ada sama sekali. Atau bisa dikatakan kankernya mati, beliau sehat dan dinyatakan sembuh. Bahkan, beliau berkata bahwa tubuhnya jauh lebih segar dari sebelumnya."
Tak menyangka dan seperti sedang takjub. Zulla sampai merinding mendengarkan Alfa bercerita. Namun, Zulla akui bahwa keajaiban atau mukjizat itu memang ada. Meski tidak semua orang mengalami dan mendapatkan, tapi bisa dilihat dari pengalaman orang lain.
"Wah... Pasti seneng banget pasien dan keluarga itu." komentar Zulla yang tak dibuat-buat.
Bibir Alfa kembali bercerita. Selama dia menjadi dokter, baru kali ini dia mengalami sendiri melihat pasien yang dia tangani di meja operasi mendapat mukjizat seperti itu.
"Ya, mungkin ini yang membuat americano ini terasa lebih nikmat dari biasanya." katanya lagi lebih memperjelas.
Ya, meskipun gue sedikit kecewa sama alasannya Om dokter. Tapi enggak apa-apa. Desah hati kecil Zulla.
Ya tapi tetep aja. Gue 'kan berharap sesuatu spesial yang bikin Om Alfa ngerasa lebih nikmat minum americanonya itu karena gue.
Tak menutup kemungkinan bahwa Zulla akan kecewa memang. Namun mau bagaimana lagi, seperti itu yang Alfa rasakan dan dia tidak bisa mengubahnya begitu saja.
***
"Kak Zulla pulang!" teriak Zulla di tengah-tengah keheningan malam. Hanya ada ayah dan bundanya yang sedang menonton serial drama. Sudah jelas, pasti ayahnya menuruti kemauan bundanya.
"Eum... Kak Zulla dari mana aja? Jam sepuluh baru pulang?" tanya Marsel baik-baik pada anak gadisnya.
Mengetahui anak keduanya telah menghamili seorang gadis di usia mudanya, membuat Marsel jadi sedikit was-was kalau Zulla akan terjerumus ke pergaulan bebas. Akan tetapi, Marsel juga tidak mau mengekang Zulla dan terlalu curiga padanya. Hal itu akan membuat Zulla lebih tertekan nantinya. Sedangkan kuliah di fakultas kedokteran saja sudah membuat Zulla berat.
"Oh tadi habis nyanyi di kafe, aku ngerjain tugas sama Lingga, Yah." jawabnya santai sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian.
"Kakak udah makan?" kini ganti Alexa yang bertanya.
"Udah kok, Bun, tadi di kafe." Zulla berkata jujur tentang kata makan.
Meski sebenarnya Zulla bukan makan di kafe, melainkan makan di warung pinggir jalan bersama Alfa. Tapi mana mungkin Zulla akan mengatakan yang sebenarnya.
"Aku langsung naik." pamitnya sambil berjalan menuju tangga.
Saat sudah berhasil menginjakkan kaki di lantai dua, tak sengaja Zulla berpapasan dengan Gladys. Perempuan yang lebih tua satu tahun darinya dan ternyata jadi adik iparnya itu menatap Zulla biasa. Zulla pun tak ada niatan buat bertanya, dia hanya tersenyum sekilas pada Gladys.
Zulla tahu, Gladys marah padanya karena tindakannya yang memberi tahu orang tuanya jadi menggagalkan rencana Gladys yang ingin aborsi dan terjerat dalam ikatan pernikahan yang tidak dia harapkan. Tapi meski Gladys marah padanya, dia tidak menyesal telah melakukannya.
"Lo baru pulang?" tanya Gladys tiba-tiba membuat Zulla terdiam sejenak.
"Oh... Iya." angguknya sedikit canggung karena ini kali pertama Gladys mau bicara padanya setelah insiden di rumah sakit waktu itu.
Setelah jawaban Zulla barusan, Gladys kembali melangkahkan kakinya menuju tangga. Baru di tangga pertama dari atas, perkataan Zulla kembali menghentikan langkah kakinya.
"Glad..." panggilnya pelan.
"Eum?"
"Kalau lo ngidam sesuatu dan Yudha enggak mau nyariin, bilang aja ke gue. Nanti bakal gue coba cariin, sebagai bentuk maaf dari gue karena udah bikin lo berada di sini." ujarnya panjang namun bisa dicerna oleh Gladys dengan cepat.
"Thanks tawarannya. Tapi gue bisa cari sendiri." tolaknya terang-terangan.
"Oh... Iya." angguk Zulla lagi bagaikan orang bodoh sesaat.
Gladys benar-benar lanjut jalan ke lantai satu. Begitu pula dengan Zulla yang menuju ke kamar, tapi bukan kamarnya melainkan kamar sang adik. Ketika dibuka pintunya, ternyata Yudha sedang sibuk bermesraan dengan beberapa karakter dalam gim di ponselnya.
"Yud, kamu harus lebih baik lagi ke Gladys. Meski dia sering ngebully kamu waktu kecil dulu, tapi sekarang dia istrimu. Dan dia juga lagi hamil anakmu. Mereka berdua tanggung jawabmu meski kamu lebih muda dari Gladys." nasehatnya pada sang adik.
Zulla hanya mencoba menempatkan dirinya kalau-kalau dia berada di posisi Gladys sekarang. Pasti juga sulit, tapi tetap harus dijalani.
"Emang apa yang bisa aku lakuin? Dia bisa sendiri semuanya." kesalnya yang tidak terima diberi wejangan kecil dari kakaknya.
"Ya meski Gladys bisa sendiri, seenggaknya kamu lebih perhatian kek. Dia juga pasti capek tapi dia tetap harus ngelakuinnya. Contoh kecil aja, kamu bisa 'kan bantuin dia ngambil air minum di bawah kayak sekarang. Kamu enggak tahu 'kan, dia capek atau enggak." nada suara Zulla sedikit meninggi karena kesal pada adiknya malam-malam begini.
"Ah... Terserah. Aku mau tidur aja." karena terlalu kesal mendapatkan ceramah, Yudha melemparkan ponselnya lalu berbaring dan menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
Tingkah Yudha sampai membuat Zulla menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung keluar dari kamar adiknya dan baru melangkah ke kamarnya sendiri.
Hari ini begitu melelahkan bagi Zulla, tapi juga menyenangkan karena dia bisa duduk berdua di taman menikmati secangkir kopi bersama Alfa, makan bersama dan diantar pulang lagi oleh lelaki di dalam hatinya.
Kalau digambarkan, hari ini rasanya seperti pelangi. Penuh warna-warni.
***
Next...