41. Saya Kira

1881 Words
Satu mangkuk mie ayam bakso, segelas es teh ditambah sekarang segelas es kelapa sedang dinikmati oleh Zulla. Setelah selesai empat SKS hari ini, membuat Zulla kehabisan energi. Sehingga membuatnya ingin makan segala macam rupa. "Kayaknya ini doang belum cukup deh." desahnya sambil memasukkan serutan kelapa muda ke mulutnya. Bruk! Bola mata Zulla berpindah ke arah Lingga. Temannya itu pasti juga sama lelahnya sepertinya. Terlihat dari makanan yang dia pesan, tak beda jauh dengan Zulla. "Ayo, gue anter lo pulang dulu." ajak Lingga. Zulla menggelengkan kepalanya beberapa kali seraya menyedot es kelapa gula merahnya yang sudah habis tak tersisa. "Gue minta jemput Yudha aja. Lo bisa pulang langsung. Katanya lo harus bantuin nyokap bikin kue. Ntar lo makin capek kalau nganterin gue pulang dulu." tolak Zulla secara halus agar tidak melukai perasaan Lingga. "Yakin?" "Tenang aja, enggak perlu cemas sama keadaan gue.” Untuk menenangkan Lingga, Zulla tersenyum santai padanya sambil menaik turunkan kedua alisnya. Tak disangka, tiba-tiba Zulla berdiri dan menuju ke stand makanan ringan. Gadis itu mengambil beberapa jajan pasar dan dia bawa ke meja kantin tempatnya makan tadi. "Makan yang banyak, otak lo habis terkuras. Makan, makan semua." dengus Lingga membuat Zulla tertawa pelan. "Udah, pulang sana cepetan. Gue masih pengen di sini dulu sebentar sampai Yudha jemput ntar." "Kayak ada orang ngusir barusan tapi wujudnya enggak kelihatan." sindir Lingga sambil membawa tasnya dan menghilang dari area kantin. Sementara Zulla, kini gadis itu mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi adiknya. Pada sambungan pertama, Zulla sudah langsung bisa mendengar suara Yudha. "Tolong jemput aku di kampus dong, capek banget ini." pinta Zulla sopan. "Bentar, aku baru keluar dari tempat latihan." sahut Yudha yang terdengar seperti sedang berjalan. "Jadi, kamu bisa apa enggak? Aku masih di kampus." tanya Zulla memastikan adiknya. Hening. Sekitar satu menit berlalu, tapi tidak ada jawaban dari Yudha. Akhirnya Zulla memilih untuk melihat ponselnya dan obrolan via telepon masih tersambung. "Yudha ke mana sih?" tanyanya pada diri sendiri dengan nada pelan.   ***   Sesaat baru keluar dari gedung tempat Yudha les renang. Dia mendapat telepon dari kakaknya. Segera Yudha menerimanya dan dia mendengar Zulla memintanya menjemput di kampus. Belum sempat Yudha menyanggupi permintaan tolong Zulla, dia sudah dikagetkan oleh sosok wanita yang berdiri menyandarkan tubuhnya di mobil miliknya. Perlahan-lahan Yudha berjalan mendekat. Dia belum tahu siapa gadis itu karena tubuhnya dibalut hoodie hitam dan topi serta rambutnya tergerai. Saat Yudha semakin mendekat, dia masih bingung karena wajah perempuan itu setengah tertutup oleh masker. Ketika wanita itu mendongakkan kepala, ternyata dia adalah Gladys. Dalam ponselnya, Yudha mendengar Zulla bertanya pelan tapi sepertinya bukan pada dirinya. "Kak, kayaknya aku enggak bisa jemput deh. Maaf, tapi Kak Zulla pulang pakai taksi aja." tolak Yudha dan dia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Gladys... Ngapain lo berdiri di deket mobil gue?" Nada suara Yudha sudah tidak seperti dulu lagi. Meski masih kesal dan benci, tapi dia juga punya rasa bersalah atas kejadian beberapa minggu lalu yang menimpa mereka. "Ada yang perlu gue bahas sama lo, berkaitan sama malam itu." tak ragu-ragu, Gladys langsung mengatakan niatnya menemui Yudha di sini. Mata Yudha terpejam, dia mengangguk lalu menekan tombol lock dari kunci mobilnya agar Gladys bisa masuk lebih dulu. Sementara itu, Yudha memilih menaruh barang dan perlengkapannya ke jok tengah terlebih dahulu baru dia masuk ke jok kemudi. Sebelum bicara, Yudha lebih dulu membawa mobilnya keluar dari area gedung. Dia melihat sekilas ke arah Gladys yang menatap ke arah luar dengan kedua tangannya dia silangkan di depan d**a. "Lo mau ke mana?" Yudha mencoba sedikit lebih baik meski sebenarnya dia enggan. "Kalau boleh minta, gue pengen kita ke tempat yang sepi biar bisa lebih tenang ngobrolnya." sahutnya tanpa menatap ke arah Yudha. Dalam hati, Yudha sudah takut duluan. Dia sepertinya tahu, apa hasil dari perbuatan mereka malam itu meski Yudha masih mencoba tenang. Gladys tidak akan menemuinya kalau tidak ada kabar penting yang berkaitan dengannya. Rasa kesal akan permintaan Gladys, tertutup oleh rasa bersalahnya. Yudha menutupi kemauan Gladys yang ingin pergi ke tempat sepi. Sekarang, mereka sudah memasuki sebuah gang sempit yang sangat jarang dilewati bahkan belum tentu dalam satu minggu ada orang ke sana. Mobil berhenti, Yudha masih diam menunggu apa yang akan Gladys katakan. Walau Yudha tidak bisa menutupi rasa gugup dan takutnya. Bisa Yudha lihat, kini Gladys membuka tasnya dan memberikan sebuah amplop serta testpack pada Yudha. Wajah Yudha menampilkan senyum putus asa ketika melihat garis testpack itu ada dua. Tak puas akan itu, sekarang Yudha membuka amplop yang ternyata adalah surat dari dokter yang menyatakan bahwa Gladys memang sedang hamil dan usia kandungannya sudah empat minggu. "Gue tadi cek ke dokter, dan itu hasilnya." ujar Gladys disertai nada frustrasi. "Gue enggak pernah tidur sama cowok lain, gue juga belum pernah tidur sama cowok. Cuma sama lo, gue tidur, dan jelas kalau ini anak lo." lanjut Gladys mencoba menahan rasa sesak dalam dadanya. Yudha sudah mengantisipasi, cepat atau lambat, bisa jadi kabar ini akan dia dengar. Tapi Yudha tidak menyangka kalau dia akan mendengarnya hari ini. "Gue masih sekolah, Gladys. Selain itu, gue juga masih punya mimpi buat jadi atlet renang terbaik." hanya ini yang bisa Yudha katakan. Terdengar kekehan tawa dari bibir Gladys. Dia juga sudah mengira kalau jawaban Yudha akan seperti ini. "Ya... Bener kata orang. Mau gimana-gimana juga, yang rugi tetep cewek." desahnya. Yudha menatap Gladys yang terlihat masih santai. Walau Yudha juga tidak tahu bagaimana perasaan asli di dalam hati Gladys sekarang. "Gue juga masih kuliah. Gue juga masih pengen mewujudkan mimpi gue di dunia musik." lanjut Gladys lagi. "Gue juga belum siap punya anak, nikah, ngurus suami dan rumah. Lagi pula, gue juga enggak yakin kalau lo bakal mau tanggung jawab." Mendengar kalimat terakhir Gladys, rasanya Yudha seperti sedang dihantam kenyataan. Tebakan Gladys juga tidak salah, Yudha tidak mungkin mau bertanggung jawab segampang itu. Ditambah, mengingat masa lalu mereka yang sama-sama tidak ada kebaikannya sama sekali. "Tujuan gue nemuin lo hari ini, bukan mau minta pertanggungjawaban dari lo. Tapi gue mau minta bantuan dari lo." "Bantuan?" Gladys menganggukkan kepalanya sambil menatap serius ke arah Yudha. "Apa yang bisa gue bantu." "Lusa, ikut gue ke Singapur. Di sana, aborsi dilegalkan dan gue bisa mendapatkan perawatan medis yang layak tanpa takut kalau nanti bakal ada infeksi di rahim gue atau terjadi pendarahan setelah proses aborsi." Gladys menahan kata-katanya sebentar sebelum melanjutkan. "Karena gue tahu kalau aborsi itu berbahaya, makanya gue juga enggak mau sembarangan. Gue masih pengen punya rahim yang sehat dan lanjut mengejar mimpi gue." lanjut Gladys. "Lo juga bisa tenang buat ngewujudin mimpi lo jadi atlet renang. Lanjut sekolah sampai lulus dan kuliah tanpa mikirin beban." Yudha mendengarkan semuanya secara saksama. Meski dia sedikit takut mendengar kata aborsi, tapi semua yang dikatakan Gladys, dia benarkan semua. Yudha tidak mau sekolahnya putus di tengah jalan karena menikah. Dia juga tidak mau mimpinya terhambat karena adanya anak. "Apa yang perlu gue lakukan?" "Gue cuma butuh lo ikut ke rumah sakit buat tanda tangan sebagai bentuk persetujuan dari pihak ayah calon bayi. Tenang aja, gue enggak minta lo buat ngurusin gue di rumah sakit." "Jadi, gue cuma perlu ikut buat tanda tangan surat persetujuan aja?" Gladys mengangguk, dia mengiyakan dan membetulkan pertanyaan Yudha. "Lo enggak perlu mikirin masalah biaya juga. Tabungan pribadi gue cukup buat bayar semua biayanya." "Biar gue tanggung setengah. Bagaimanapun juga, lo hamil juga karena gue. Anak dalam rahim lo itu anak kita berdua, bukan anak lo doang. Jadi biar gue nanggung biayanya setengah." "Tabungan gue lebih dari cukup." "Gue tahu tabungan lo banyak. Tapi tolong, setidaknya biarin gue nanggung setengah biayanya biar rasa bersalah gue enggak terlalu besar." paksa Yudha. Gladys mendesah tapi akhirnya dia mengangguk dan setuju membiarkan Yudha membayar setengah biaya rumah sakit nanti. "Setelah aborsi itu nanti selesai. Kita anggap saja tidak pernah ada apa-apa di antara kita. Tentang malam itu, tentang kehamilan gue dan tentang aborsi nanti. Kita anggap hanya kisah horor yang sekali lewat saja." pinta Gladys. Bukan sesuatu yang berat dan sulit. Sudah pasti Yudha akan setuju. Dia juga enggan berurusan dengan Gladys lagi. Kalau Yudha tidak ingat akan kesalahannya malam itu, sudah jelas dia tidak akan menerima Gladys masuk ke dalam mobilnya dan menuruti kemauan Gladys yang mau pergi ke tempat sepi.   ***   Sepanjang jalan, Zulla mengumpati adiknya. Dia tak bisa membendung kekesalannya pada Yudha yang tidak tahu kenapa tidak bisa menjemputnya. "Padahal, dia juga udah selesai latihan. Terus apa susahnya jemput gue sebentar sih." tak henti-hentinya bibir tipis Zulla menggerutu seperti ini. Tin! Tin! Tin! Zulla menoleh ke samping dan ternyata yang membunyikan klakson barusan adalah Alfa. Senyumnya seketika terkembang. Ketika mendapat isyarat untuk masuk, Zulla segera membuka pintu mobilnya dan masuk. "Wah... Kita sering banget ketemu secara tidak sengaja kayak begini." kekeh Zulla. "Iya, saya juga tidak tahu kenapa mata saya selalu melihat kamu meski sedang berada di keramaian." Alfa ikut terkekeh menanggapi Zulla. "Om Alfa habis dari rumah sakit?" Sebuah anggukan menjadi jawaban atas pertanyaan Zulla. Gadis itu sedikit mencium bau amis dari Alfa, tapi baginya ini sudah sedikit biasa. Selain karena dia mahasiswi kedokteran, Zulla juga biasa karena Marsel. "Kamu mau martabak?" tawar Alfa tiba-tiba. "Apaan nih? Kenapa tiba-tiba Om Alfa nawarin aku martabak?" Diiringi tawa ringannya, Alfa menepikan mobil di depan pelataran martabak liberty. Makanan kesukaan Zulla sedari kecil. Matanya berbinar-binar hanya dengan melihat menu yang ditawarkan di sana. "Di rumah ada yang suka martabak manis, jadi saya mau beli dulu sebelum pulang." katanya santai. Zulla mengikuti ke mana perginya Alfa. Air liurnya serasa hampir menetes meski tadi Zulla sudah memakan banyak makanan dan minuman. Tapi bagi seorang pecinta martabak sepertinya, tetap saja lidahnya gatal ingin memakan makanan rasa manis itu. "Kamu suka rasa apa?" tanya Alfa lagi. "Biar aku beli sendiri aja, Om." cengirnya yang merasa tak enak kalau dia selalu dibayari oleh Alfa. "Anggap saja, ini hadiah dari saya buat hari ini karena seharian kamu sudah belajar keras." "Hah?" Zulla cengo dibuatnya. Bagaimana bisa Alfa berkata seperti itu? Padahal Zulla tidak bercerita padanya kalau dia sedang lelah. Apa jangan-jangan Om Alfa bisa baca pikiran gue? Wah... Nakutin kalau iya. Berarti Om Alfa tahu dong kalau gue suka sama dia selama ini? Pekik hati kecil Zulla. “Saya tahu karena saya pernah merasakan jadi mahasiswa kedokteran dulu.” kata Alfa membuat Zulla semakin kaget saja. Jawaban Alfa begitu pas dengan pertanyaannya dalam hati. Apaan ini? Nakutin banget. Zulla bergidik ngeri dan berharap dalam hati kalau Alfa tidak bisa membaca pikiran orang. "Kamu suka yang mana?" tanya Alfa lagi. "Aku suka Om Al-" Lidah Zulla kelu seketika. Dia tersadar, kalau barusan bibirnya hampir saja mengakui perasaannya pada Alfa. Enggak, jangan sampai Om Alfa tahu sekarang. Pekik hati Zulla merasa begitu kebingungan. "Suka apa? Suka saya?" Wajah Zulla memerah, paru-parunya terasa mengecil seketika lamun sebisa mungkin Zulla mengontrol dirinya secepat kilat. "Itu Om, maksud aku itu, aku suka rasa almond." angguk Zulla berulang kali. "Tadi aku mau bilang, aku suka Om, almond. Yang rasa almond gitu." alibi Zulla menjadikan kacang almond yang tak tahu apa-apa menjadi kambing hitamnya. "Oh... Saya kira, kamu suka sama saya." kekeh Alfa dan langsung mendekat ke penjual untuk memesankan martabak yang diinginkan Zulla tanpa tahu raut wajah Zulla sekarang bagaimana. Aku emang suka sama Om Alfa. Kata Zulla lirih dan hanya berani di dalam hati saja. Seperginya Alfa, tangan Zulla meremas baju bagian dadanya. Lega rasanya dia bisa mencari alibi yang mungkin saja tidak dicurigai oleh Alfa. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD