Eps 7

2199 Words
Suer, ini belom gw edit! ** Usai makan malam, akan seperti biasa. Bulan sibuk di dapur, membersihkan peralatan masak dan bekas makan mereka. Sesekali ia menatap suami yang tiduran di sofa dengan teve yang menyala. Namun, tangan Andra sibuk dengan ponsel. Dan Bulan tau, itu adalah layar chat room aplikasi hijau. Tak perlu menebak, tak perlu khawatir memikirkan itu. Penjelasan Andra kala itu sudah cukup jelas jika memang tak ada cinta untuknya. Kenapa harus mengemis lagi? Semua hanya akan menambah luka saja. Bulan memilih membuat kopi mocca kesukaannya, lalu membawa secangkir kopi itu ke teras belakang. Duduk sendirian menatap bintang di langit yang bertabur sangat indah. Ia mengusap layar ponsel, masuk ke aplikasi hijau. [kak, besok di rumah nggak?] send ‘Kak She’ Tersenyum saat pesan yang ia kirim itu langsung centang dua biru. Menaruh ponsel ke atas meja, meraih cangkir dan menyesap kopinya sedikit. Klunting! Melirik ponselnya yang memperlihatkan pesan balasan dari bar notifikasi. Kembali Bulan menaruh cangkir di atas meja, lalu membuka pesan yang sudah pasti balasan dari Sherina. [Aku besok mau pergi ke butik, mau ambil pesanan. Kalo mau ikut, aku tungguin. Sekalian lho, nih, Zuco kangen pengen ketemu kamu] Tersenyum membaca serentetan pesan balasan dari kakak iparnya. Setidaknya dia besok memiliki acara dan tidak akan terbunuh dalam sepi. Diam, menatap ke depan sana. Menikmati malam yang semakin lama terasa semakin dingin. Dia akan mencari kesibukan. Dia nggak mau hanya berdiam di rumah dan mengamati polah tingkah Andra yang semakin hari hanya semakin membuatnya terluka. Jika Andra tak bisa mencintainya hanya karna dia yang manja, dia yang dari kecil sudah sakit-sakitan, dan dia yang memang belum pernah bekerja. Kali ini, dia akan keluar dari zona nyaman. Akan mencoba bekerja untuk bisa mandiri, untuk bisa sama seperti Nanda, walau itu sangat sulit. Tak terasa, kopinya sudah habis. Bulan beranjak, membawa kopi beserta ponsel masuk ke dalam. Tak lupa mengunci pintu dan mencuci cangkir bekas kopi tadi. Setelah dari kamar mandi, ia membuang nafas panjang lebih dulu. mengumpulkan mental untuk masuk ke kamar. “Berapa lama?” Tangan yang hampir memutar handle pintu itu, urung. Suara Andra dari dalam, yang ia tau jika sedang melakukan panggilan telpon, membuatnya diam tak bergerak. “Seminggu? Gimana kerjaan kamu?” Dari suaranya, Bulan tau, Andra terkejut dan tak setuju. “Aku nggak bisa jauh terlalu lama sama kamu, Nan.” Ia makin mengeratkan tangan yang ada di gagang pintu. Sungguh, pengakuan itu membuat hatinya teremas. “Cuma lima hari. Itu juga malamnya aku langsung ke apartemenmu, kan?” Bulan menengadah, makin melebarkan mata untuk menahan embun yang tetiba terpupuk di sana. Ternyata acara bulan madu yang ia buat kala itu benar-benar telah membuat suami dan kekasihnya tersiksa menahan rindu. Astaga … dia salah apa? “Ok, aku sekarang ke situ.” Tak begitu lama, pintu kamar terbuka. Sangat jelas jika Andra terlihat terkejut mendapati Bulan yang berdiri di depan pintu. Terlebih melihat kedua mata Bulan yang memang berkaca-kaca. “Uumm, aku mau pergi keluar.” Pamitnya, menyimpan ponselnya ke saku celana. Bulan tak mengatakan apa-apa, hanya menunduk, lalu tangannya bergerak, menghapus bulir yang hampir menetes. “Cuma bentar.” Kata yang selalu Bulan dengar, dan dia sudah sangat bosan. Menyingkir, kakinya bergeser memberikan jalan untuk suami. Andra menatap istrinya dengan tatapan tak tega, tapi ada kekasih yang sudah menunggu kedatangannya di luar sana. Ia tak ingin kehilangan lagi, dan ia ingin tetap mempertahankan Nanda. “Nanti pas pulang, mau dibawain apa?” Benar-benar tak bersuara. Bulan hanya menggeleng dengan tetap menunduk, tak mau menatap Andra. dia tak akan sanggup menatap wajah tampan yang begitu ia sukai, tetapi ternyata paling membuatnya sakit hati. “Yaudah, aku pergi dulu.” kakinya mendekat, mengecup puncak kepala Bulan sebentar, lalu melangkah pergi. keluar rumah. Mendengar bunyi pintu tertutup, Bulan mengangkat kepala. Membiarkan bulir mengalir di kedua pipi. Dari jendela kaca, bisa ia lihat mobil suaminya bergerak mundur, keluar dari halaman, dan detik kemudian mobil itu melaju meninggalkan rumah yang kini menjadi tempat tinggal mereka berdua. Bulan terisak, menjatuhkan punggung ke dinding yang ada di belakangnya. Pelan, tubuhnya merosot ke bawah, menutup wajah dengan kedua tangan. Ia menangis sendirian dalam malam yang penuh dengan sepi. ** Pukul 7.00am Tak seperti biasanya, kali ini Bulan bangun lebih siang. Begitu mata terbuka, ia menatap ke kasur samping. Tersenyum getir saat tak mendapati siapa pun ada di sana. Jadi semalaman ia tidur hanya sendirian? ‘Ah, hari ini hari minggu, pantas saja kak Andra nggak pulang. Ternyata dia menghabiskan malam bersama dengan kekasihnya. Sampai pagi.’ Menggeleng dengan ujung mata yang kembali basah. Sangat berharap Andra akan bisa menerimanya, lalu akan bisa berubah pelan-pelan. Namun ternyata … dari pulang petang, berlanjut jadi pulang pagi. Dan sekarang, malah nggak pulang. Tangan Bulan meraba kasur sampingnya. Ia menarik bantal yang selalu di gunakan Andra, mencium bantal itu, memeluknya, menumpahkan tangisnya. “Kak ….” Lirihnya dengan suara serak. “Aku harus gimana?” “Aku sakit kalau kamu giniin terus ….” Bisa memiliki raganya, bahkan status sah sudah ia dapatkan. Namun, ternyata sangat menyakitkan jika tak bisa memeluk hatinya. Hanya bisa menatapnya bahagia bersama dengan orang lain. Ingin melepaskannya pun tak bisa, hanya bisa menikmati kepedihan ini sendiri. Entah sudah berapa lama Bulan menangis, sampai bantal itu basah terkena ingus dan air mata. ia memegangi kepala yang sedikit berdenyut, semua masalah ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. ** Begitu turun dari taxi, Bulan langsung jongkok. Menangkap bocah kecil yang berlari ke arahnya. Berhambur, memeluk Bulan, dan dengan kesusahan Bulan menggendong keponakannya. Mencium pipi bulat Zuco yang sangat menggemaskan. “Tante, om Andra mana?” tanya Zuco, menatap wajah Bulan dengan kedua mata bulat yang mengedip. Bulan mencubit pipi Zuco, kembali mendaratkan kecupan di pipi putih yang cubby itu. “Eh, sendirian? Minggu, kan? Bukannya Andra libur?” Sherina yang baru keluar dari dalam rumah pun mempertanyakan kedatangannya yang hanya sendirian. Ya, ini memang hari libur, dan seharusnya full time suami adalah untuk istrinya. Ya, seharusnya memang seperti itu. Senyum palsu kembali terlihat di bibir Bulan. Dia masih bisa bertahan, dia masih bisa menunggu. Dan dia tak akan membiarkan semua orang tau seperti apa orang yang begitu ia cintai. “Kak Andra kecapekan. Tadi abis makan, balik tidur.” Bohongnya. Bocah kecil dalam gendongan Bulan mengerucutkan bibir. Dari awal dia sudah ngebet pengen banget ketemu sama Andra. “Nggak apa, Zuco. Besok om Andra ke sini kalo enggak capek, ya.” Ucap Bulan, mencoba menenangkan. Sherina mengulurkan kedua tangan. “Iya, besok om ke sini. Tolong di sampaiin ke om Andra ya, tante Bulan. Besok om Andra suruh ke sini. Zuco pengen gendong om.” “Aku pengen gendong om sekarang. Bukan besok!” ngambek dan mulai terlihat ada embun di kedua mata manis itu. Sherina mengambil anaknya dari gendongan Bulan. “Eh, nanti kan mau ketemu sama tante Shanaz sama om Sherko. Kemaren katanya om Sherko punya hadiah buat Zuco, kan?” Bocah tiga tahun itu mengusap mata yang mengembun. Kembali berbinar mengingat janji yang di berikan Sherko beberapa hari lalu saat mereka bertemu. “Nanti ada omma Gesia nggak, ma?” Sherina diam, menengadah, menatap langit yang cerah di atas sana. “Mama nggak tau. Nanti tanyain sama tante Shanaz aja, ya.” Bulan hanya tersenyum melihat cara Sherina menenangkan anaknya. Lalu mereka melangkah masuk ke dalam rumah setelah Zuco kembali ceria. Selayaknya keluarga, Bulan bebas mau ngapain aja di dalam rumah besar milik Vasco. “Gimana sama Andra? ada masalah?” tanya Sherina dengan tangan yang menuangkan orange jus untuk Bulan. Bulan tersenyum lagi. “Ya … begitu, kak.” “Nih, semalam aku coba bikin bronies.” Menyodorkan sepiring kue berwarna hitam dan segelas minuman. “Andra itu emang agak cuek sih. Tapi sebenernya sayang kok.” Lanjut Sherina. Memasukkan ponsel ke dalam tas. “Bik, tolong ambilin topinya Zuco di kamar atas, ya.” Suruhnya pada pembantu yang bekerja di rumahnya. “Iya, non.” Wanita itu segera meninggalkan pekerjaannya dan melangkah menuju tangga. Bulan menggigit bronies yang di sajikan. Senyum getir kembali terlihat di bibirnya. Ya, awalnya dia memang berfikir memang sikap Andra cuek seperti itu. Tapi ternyata, pikiran positifnya itu hanya untuk menenangkan hati saja. kenyataannya memang Andra cuek karna nggak cinta. Bahkan pernikahan mereka yang sudah satu bulan lebih ini belum ada kemajuan sama sekali. Nafkah batin yang memang dia inginkan, belum pernah ia dapat. Ah, cium aja nggak pernah, kok mau ke nafkah batin. Ilusi aja. “Uumm, kak, di kantor kak Kevin ada lowongan kerja buat aku, nggak?” tanyanya, setelah mengingat tujuannya mengunjungi Sherina. Kening Sherina berlipat mendengar itu. Wanita yang memang masih muda tetapi sudah menyandang status sebagai nyonya Bagaskara ini mengulas senyum tipis. “Kamu mau kerja?” Bulan nyengir. “Aku jenuh di rumah sendirian, kak. Pengen kerja, cari kesibukan.” “Kalau nggak salah sih sekertarisnya Vasco mau resign. Coba nanti kamu tanya sendiri ke Vasco. Sekarang dia lagi pergi sama papi.” Bulan buru-buru meneguk minuman, membuat bronies yang sempat seret di tenggorokan itu jadi tertelan. “Sekertarisnya kak Kevin resign?” Sherina memberinya anggukan, mulutnya bergerak mengunyah bronies buatannya. “Iya, Nanda mau resign. Kamu kenal dia? Eh, dia sempat dekat sama Andra lho. Mantannya mungkin.” Nyengir setelah mengatakan itu. Bulan mengalihkan tatapan. Tetiba sudut hati kembali perih mendengar kata mantan. Bahkan dia nggak tau jika Andra dan Nanda dulu memang memiliki hubungan. “Aku nggak kenal. Uumm, kenapa dia mau resign?” Sherina mengedikkan kedua bahu, tanda jika dia pun nggak begitu paham. “Nggak begitu jelas sih. Tapi katanya mau balik ke kampungnya. Pengen lama di sana.” Bulan menelan ludah. ‘Jadi obrolan mereka di telpon tadi malam soal Nanda yang mau balik ke kampung halaman. Dan samalam mereka habisin waktu berdua karna lama nggak akan ketemu?’ Bulan kembali meraih gelas, lalu meneguknya pelan-pelan. Ia menatap ke lain arah, mengusap embun yang hampir saja menetes. “Eh, kerja di butiknya Shanaz, mau? Ya, paling bantu-bantu nata sama kemas barang.” Kedua mata Bulan sedikit berbinar mendengar ada kesempatan untuknya. “Tapi aku kan, nggak ada pengalaman kerja, kak.” “Nggak apa. Nanti aku coba bilang ke Shanaz, ya.” Gadis itu ngangguk dengan begitu antusias. Dia benar-benar ingin bekerja. Ingin mencari kesibukan agar tak terlalu memikirkan suami dan kekasih suaminya. Selain itu, dia nggak mau jadi wanita yang bergantung pada Andra. sebut saja, ingin melepaskan diri pelan-pelan. ** Sore hari Bulan baru pulang. Ia menatap rumahnya yang masih sangat sepi. Sama sekali tak ada yang berubah, dan itu artinya suaminya nggak pulang. Astaga … rasanya dia ingin melaporkan pada pihak berwajib jika suaminya telah hilang. Memilih mandi dan diam di teras rumah, meminum kopi sambil membersihkan kebun yang hanya sempit. Matahari hampir tenggelam, dan mobil Andra juga belum terlihat. Bulan memilih masuk ke dalam, mengambil ponsel dan menatap layar yang ternyata tak ada satu pun pesan. Wajar, kan, kalau dia khawatir. ‘Sebegitu tak pentingnya kah, aku? Bahkan kamu tak menanyakan keadaanku sama sekali, kak. kenapa dulu harus menikahiku, kalau pada akhirnya akan menjadi seperti ini.’ Bulan duduk di sofa depan teve, mengambil kue bronies yang tadi dibawakan oleh Sherina. Memakan kue itu sampai habis beberapa potong. Nggak tahan jika hanya tetap diam, sementara kepalanya sibuk memikirkan keadaan Andra. akhirnya memilih mencari tau, ia menelfon nomor Andra. “Hallo,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke telinga. “Kakak di mana? Baik-baik saja, kan?” “Iya, aku baik kok. Uum, aku pulang agak malam. Maaf, semalam nggak pulang. Aku … uumm ….” “Ndra, ayam bakarnya habis. Bebek aja, mau nggak?” suara seorang wanita, yang Bulan sudah tau. Pasti itu dia, kan? “Iya, itu aja.” Jawaban Andra yang terdengar agak samar. Mungkin saja dia menjauhkan hape dari mulutnya. “Lan, jangan lupa makan. Aku nanti pulang setelah dari bandara.” Tak mengatakan apa-apa lagi. Bulan langsung menarik ponsel, menekan tombol berwarna merah dan meletakkan ponsel itu di atas meja. Kedua siku bertumpu di kedua kaki, lalu menutup wajah, menangis dalam persembunyian. Sakit mendengar tadi itu, tapi setidaknya, suaminya sehat dan baik-baik saja. Dia akan tetap bertahan, karna dia yakin, Tuhan pasti punya rencana. Tuhan nggak akan kasih ujian yang melebihi batas kemampuan. Mungkin semua ini adalah cara Tuhan menghapus dosa dia di masa lalu. Tepat pukul sebelas malam, mobil Andra baru memasuki plataran rumah. Dengan sesekali memijat bagian leher, cowok itu melangkah masuk ke dalam rumah, karna dia memang membawa kunci cadangan. Tertegun ketika melihat Bulan yang tidur di sofa depan teve dengan layar yang menyala. Andra mendekat, menatap wajah istrinya yang terlelap itu. Lalu melihat kue bronies yang ada di atas meja. Tepat di samping piring, ponsel Bulan berkedip, memperlihatkan sebuah pesan yang muncul di bar notifikasi. [Mulai kerja besok pagi juga boleh kok.] Pesan dari nomor bernama kontak ‘Kak Shanaz’ membuat kening Andra berlipat. Dari kecil Bulan lemah di fisik. Selain sakit asma, Bulan juga menderita sakit hipotermia. Oleh sebab itu, Bunda Yessi tak melepaskannya, tidak pernah membiarkan orang mengambilnya. Karna dia tak mau terjadi apa-apa pada Bulan. Lalu sekarang, Bulan akan bekerja? ‘Bulan, sekali pun kamu bekerja agar terlihat sama seperti Nanda, di mataku, kalian berdua tetap beda.’ Batin Andra. Cowok tampan itu memilih melangkah pergi masuk ke kamar. Keluar dengan membawa selimut, lalu menyelimuti tubuh Bulan. ‘Maafin aku ….’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD