Bodoh, bego? Mungkin memang iya. Bulan dari kecil sudah di didik dengan sangat hati-hati oleh bunda Yessi dan bunda Keyla. Walau dia dulu pernah menyimpang, tapi itu dulu. semua orang selalu melakukan kesalahan dan pasti Tuhan akan memberi kesempatan untuk dia yang bersungguh-sungguh ingin berubah menjadi lebih baik.
Di dalam agama Bulan dan Andra, perceraian itu nggak ada. Apa lagi poligami, itu juga nggak ada. Karna mereka di ajarkan untuk setia pada pasangan hidupnya. Walau kenyataannya … sesulit ini.
Liburan—bulan madu—yang Bulan inginkan memang benar-benar di turuti oleh Andra. Seminggu kurang beberapa hari, mereka habiskan hanya berdua di negara sakura. Perlakukan yang manis dan terlihat penuh sayang, memang membuat Bulan bahagia. Namun, jangan pernah kalian bayangkan adegan suami istri pada umumnya terlah terjadi di sana. Ya, mereka hanya berdua, tak ada Nanda di sana. Tapi ponsel tidak pernah jauh dari Andra. Pagi, malam dan siang tak hentinya mereka berdua saling berkomunikasi melalui via telpon. Lalu akan berbalasan chat, bahkan saat dia tengah duduk bersama Bulan.
Dan … hari ini mereka telah pulang. Mereka kembali dari ‘bulan madu’. Pasangan pada umumnya, pasti akan merasa sangat bahagia, tapi berbeda dengan Bulan saat ini. Malam ini, seharusnya ia bisa menikmati moment libur terakhir Andra. berada di rumah, menghabiskan malam berdua, misalnya. Sayang, semua itu hanya ilusi semata. Sudah sejak jam tujuh tadi, Andra pergi. Bahkan tak mempedulikan Bulan yang memintanya untuk tetap tinggal di rumah.
“Aku pergi sebentar.”
“Kak, badanku sedikit meriang.”
“Kubawakan obat saat pulang nanti.”
Di sini, di depan layar teve yang menyala, Bulan diam dengan pikiran yang mengelana jauh. Ia tak lagi menangis, karna hatinya terasa sudah membeku. Satu tangan memegang obat asma, dan tak henti ia menghirup barang penting itu.
Jam di dinding sudah menunjuk di angka dua dini hari, tetapi tak ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang. Bulan madu yang ia rencanakan, ternyata hanya akan menyakiti hatinya sendiri.
Ia merebahkan kepala di sandaran sofa, mencoba memejamkan mata yang terasa amat perih. “Bunda … aku nggak kuat ….” Gumamnya lirih, mengutarakan isi hati yang terluka parah.
“Kenapa bunda milih jadi biarawati?” tanyanya pada bunda Yessi saat itu.
Wanita yang memakai baju berwarna hitam kombinasi putih itu tersenyum. “Pilihan, Lan.”
Saat itu Bulan terkekeh mendengar jawaban singkat dari Bundanya. “Hidup sendirian, memang nggak kesepian, bun?”
Bunda Yessi menunduk, tapi bibirnya tetap mengulas senyuman. “Bunda bahagia. Kesepian yang tanpa luka, itu lebih indah.”
“Lan,”
Suara yang sudah sangat melekat di telinga. Lamunan tentang obrolannya dengan Bunda Yessi membuyar. Bulan membuka mata, menegakkan kepala. Entah sejak kapan, Andra sekarang sudah berdiri di depannya. Kunci mobil juga sudah tergeletak di atas meja.
Hanya saling diam, saling tatap tanpa ada yang mengatakan apa pun. Setelehnya, Bulan membuang muka. Terlalu sakit melihat wajah Andra yang selalu kelelahan setiap kali pulang pagi begini. Tak bertanya, tak mengatakan apa pun, ia beranjak, melangkah menuju ke kamar mandi.
“Lan, aku mau tidur, bangunin jam tujuh, ya. Jam delapan aku ada pertemuan dengan beberapa suplier.”
Suara dari luar membuat Bulan menajamkan pendengaran. Tak menjawab, hanya mengencangkan kedua tangan yang memegang wastafle di dalam kamar mandi. Lelah menangis, tapi air mata tetap saja keluar, melewati kedua pipinya yang sudah sangat kusut.
Setelah mencuci muka, Bulan keluar. Diam menatap suaminya yang sudah memejamkan mata. Tidur miring memeluk guling. Tatapan Bulan tertuju ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Tangannya mengepal, menahan keinginan untuk mengambil ponsel itu.
Sesuai yang Andra inginkan, tepat pukul tujuh, Bulan membangunkannya. Begitu Andra beranjak ke kamar mandi, ia mulai sibuk menyiapkan baju kerja suaminya. Menjadi manager di swalayan CAE, swalayan yang cukup besar di kota dan mempunyai beberapa cabang. Begitu baju seragam sudah siap, Bulan memasukkan laptop ke dalam tas, beserta beberapa berkas yang ia tau jika itu memang tentang pekerjaan.
Menoleh ketika suaminya itu masuk ke kamar. Rambut basah, dan tetesan air itu jatuh ke kulit tubuh yang tanpa terbungkus kain. Terlihat begitu indah. Tubuh yang telanjang d**a, hanya ada handuk yang menutup di area penting saja. Bulan mengulas senyum tipis, menyadari, sosok sempurna itu adalah suaminya. Dia adalah Andra, miliknya.
“Kak,” panggilnya saat Andra hampir meraih baju seragam berwarna hitam. “Tubuh kakak masih basah. Nanti seragamnya ikutan basah. Aku bantu keringkan rambut, ya.”
Andra tak menjawab, juga tak menolak. Dia langsung duduk saat Bulan menyuruhnya duduk di kursi meja rias. Dengan begitu hati-hati Bulan mengusap rambut basah Andra. Meletakkan handuk kecil itu saat rambut sudah tak lagi berair.
Tangan yang hampir meraih hair drayer itu, urung. Kini bisa ia lihat dengan sangat jelas, di punggung putih Andra ini, ada beberapa luka kuku jari dan tanda merah yang sangat kentara. Oh, jadi semalam … mereka melakukannya lagi?
Tangan itu melemah, ia mundur dan menjatuhkan pantatnya di tepi tempat tidur.
Melihat Bulan yang menunduk dan diam, Andra menoleh. “Lan, kenapa?” tanyanya, seperti tak melakukan apa-apa.
Bulan menelan ludah beberapa kali. Sungguh, dia lelah jika harus menangis setiap waktu. Pelan, ia mengangkat kepala, mengulas senyum getir yang penuh luka. “Kakak … kakak ….” Ia menarik nafas dalam, terasa susah untuk bicara. “Apa di luar … apa kakak punya kekasih?”
Diam, tenang dan tak ada sedikit pun rasa terkejut mendengar pertanyaan Bulan. “Lan—”
“Aku udah tau.” Bulan mengusap hidung. Ia kembali tersenyum getir. “Bisa nggak, kakak belajar mencintai aku?” mohonnya, dan perlahan kedua mata yang terpupuk embun itu, menganak juga.
Tak bisa bicara apa pun. Terpaku melihat wajah tenang Bulan. Nggak marah, nggak maki, tapi malah memohon padanya. Lalu derai air mata itu, ternyata menyalur juga ke dalam hatinya. “Lan, maaf ….”
Bulan meraih kedua tangan Andra, ia jongkok di depan suami, mendongak menatap wajah tampan yang begitu ia kagumi. “Ajari aku untuk bisa menjadi wanita yang kakak suka. Ajari aku agar kakak hanya cinta ke aku, hanya aku, bukan wanita yang lain.”
“Lan,” lidah Andra terasa kelu.
“Apa salahku, kak? Aku hanya mencintai dan berusaha berbakti sama kakak. Karna kakak adalah suamiku. Kita udah di persatukan di hadapan Tuhan. Kita udah pernah janji untuk sehidup semati.” Dia membiarkan aliran air mata itu semakin deras. “Bisa, kan, belajar mencintai aku?”
Tak ada jawaban, Andra tetap diam dengan ekspresi wajah yang sulit di tebak. Satu yang pasti, ia tak tega melihat Bulan sampai seperti ini.
“Jika aku harus menjadi wanita karir agar kakak bisa cinta ke aku, aku akan bekerja, kak. Jika kakak minta aku untuk mandiri seperti wanita itu, aku akan melakukannya. Jika kakak—”
“Bulan,” seru Andra, memotong kalimat yang akan kembali Bulan utarakan. Andra menelan ludahnya. “Kalian berbeda.”
Kalimat pendek itu membuat hati semakin terasa pedih. Kedua mata melebar, membuat bulirnya lolos dengan begitu mudah. “Aku bisa membuat perbedaan menjadi sama. Aku akan seperti dia.”
Andra menggeleng, menarik tangannya. “Lan, aku memang sayang sama kamu. Tapi … tapi aku mencintainya.”
Menahan agar tangisnya tak meraung, semua sendi terasa melemah, membuat tubuhnya jatuh terduduk di lantai. Jika ungkapan itu di dengar dari seorang pacar, atau lelaki yang bukan siapa-siapa. Mungkin tak akan sesakit ini.
“Lan, aku bebasin kamu. Kamu boleh berteman dengan lelaki mana pun. Anggap pernikahan kita hanya status yang harus kita jaga. Karna selama hitungan tahun ini, aku masih berusaha untuk menerimamu. Tetapi … ternyata cinta itu nggak bisa di paksakan.”
**
Lelah meratapi kehidupannya, Bulan memilih pergi keluar rumah. meminum kopi di caffe untuk membuat keadaannya sedikit membaik. Diam, menatap uap panas yang keluar dari cangkir kopi yang ia pesan. Kalimat demi kalimat yang dia dan Andra bicarakan tadi pagi, masih sangat jelas di telinga. Bahkan rasa pedih selalu kembali menusuk ketika kejujuran Andra yang ternyata begitu menyakitkan.
Bulan menegakkan tubuh, meraih sendok kecil dan memasukkan cake ke mulut dengan sangat pelan. Rasa manis yang berasal dari makanan kesukaan tak mampu menghilangkan pedih. Berkali ia menguspakan tissu di kedua mata.
“Bulan,”
Sapaan seseorang membuatnya mengangkat kepala. Ia sedikit terkejut karna terlalu fokus dengan lamunan. “Eh, kak Noel.”
Noel; salah satu teman Andra sejak dulu. Hanya saja, setelah pindah rumah, mereka jarang kumpul-kumpul lagi seperti dulu.
“Sendirian? Andra nggak ikut ngopi?” menoleh ke kiri kanan, mencari Andra yang mungkin sedang memesan sesuatu.
“Iya, kak. aku Cuma sendirian. Kak Andra katanya lembur kerja.” bohongnya, padahal dia sendiri nggak tau Andra udah pulang atau memang lembur.
“Boleh gabung?” ijinnya.
Bulan ngangguk dengan senyuman. “Iya, duduk aja.”
Noel menoleh, menatap meja kasir. “Mbak, yang pesenan nomor lima, pindah sini ya.” Teriaknya, memberitahu ke pelayan.
Begitu pelayan memberinya anggukan, Noel menarik kursi, mendudukkan p****t tepat di depan Bulan. Tersenyum menatap Bulan yang juga menatapnya. Sangat terlihat jelas jika Bulan baru saja menangis, kedua mata itu sedikit merah dan membengkak.
“Gimana sama Andra? lancar, kan?”
Bulan memaksakan untuk tersenyum. “Iya, kak.”
“Seneng banget ya, kemarin habis honey moon ke Jepang.” Celetuk Noel, mencoba mencari obrolan. “Jepang itu dulu menjadi negara incarannya Nanda.”
Mendengar nama itu, kening Bulan mengeryit, ia mulai tertarik untuk ngobrol sama Noel. “Nanda?” tanyanya, berpura tak tau tentang wanita bernama Nanda ini. Walau sebenarnya sudah sibuk mencari info tentang ‘Erna Nada Khalisa’.
“Nanda ini kalo nggak salah kerja di perusahaannya … uumm, saudaranya Andra.”
Obrolan mereka terjeda saat pelayan datang, mengantarkan pesanan Noel.
Bulan tersenyum, seperti tak ada masalah apa pun. “Kakak keknya deket sama Nanda. Dia … kekasih kakak? Atau … malam mantan pacar?” mencoba basa-basi.
Noel terkekeh. “Bukan lah. Setau gue, dia dulu pernah dekat sama Andra. Tapi itu udah dulu sih. Sekarang, Andra udah ada elo. Udah pasti dia Cuma ngumpet ndekemin lo di rumah.”
Bulan ikut tertawa. Tawa palsu, karna sebenarnya dia ingin menangis, meraung melepaskan semua rasa yang ia pendam ini. “Kakak bisa aja.”
Obrolan mereka berlanjut sampai hampir jam tujuh malam. Bulan pamit pulang dengan alasan pekerjaan rumah. sementara Noel bersikukuh ingin mengantarkan Bulan dengan alasan ingin bertemu teman.
Cukup membuat Andra terkejut saat melihat Bulan yang keluar dari dalam mobil Noel; salah satu temannya yang sudah bobrok banget. Bukan hanya main wanita, tetapi Noel juga seorang pecandu, sama seperti dia dan Juan dulu. namun, Noel ini yang paling parah.
Setelah Noel pamit pulang, Andra langsung masuk ke dalam. Menemui Bulan yang sedang menata baju di dalam lemari. Ia duduk di tepi tempat tidur, diam memperhatikan istrinya yang sebenarnya nggak jelek. Bahkan body Bulan juga terlihat menarik, hanya saja … dia belum tertarik. Di matanya, Nanda yang paling menarik.
“Lan, kenapa Noel?” tanyanya, terlihat sangat tak terima.
Bulan menghentikan tangan yang memasang kemeja ke gantungan baju. Menoleh dengan kedua alis yang bertaut. Bingung dengan kata-kata Andra.
“Noel itu bukan lelaki baik. Jangan dia.”
Kini Bulan tau arah pembicaraan Andra. “Aku hanya cari yang nyaman aja.” Kembali ia menggantung baju itu ke dalam lemari. Tak lagi pedulikan Andra yang masih protes.
Geram, Andra beranjak, berdiri di samping Bulan. “Lelaki itu banyak, Lan. Kenapa harus temanku?”
Bulan melemah, menarik nafas dalam, lalu membuangnya pelan. Ia menoleh, menengadah menatap wajah tak terima Andra. “Bisa nggak, kakak cariin aku pacar? Yang baik, yang nggak suka mainin perasaan. Dan bisa cinta sama aku.”