Villa dengan style mediteranian itu memang luas. Attaya membimbing Tiara menaiki tangga menuju pintu utama dari villa tersebut. Pada wajah cantiknya, membayang keraguan dan waspada. Tak ayal tatapan matanya terus melirik Attaya dengan gelisah.
Seseorang membukakan pintu lebar-lebar, tepat ketika mereka telah sampai di depan pintu. "Selamat datang, Tuan Muda." Lelaki berusia lima puluh tahunan menyapa Attaya dengan hormat sambil sedikit membungkukkan tubuhnya ke depan.
"Pak Diman, saya dan teman saya kelaparan. Tolong siapkan makan ya," ujar Attaya sambil menggandeng Tiara melangkah melewati pintu.
"Baik, Tuan Muda. Apakah ada yang lain?" tanya Diman sebelum beranjak merasa harus bertanya lebih lanjut.
"Bawakan minum. Teh, kopi s**u dan air putih," sahut Attaya. wajahnya datar tanpa ekspresi saat mengucapkan kalimatnya.
Diman membungkuk kembali sebelum berlalu dari hadapan Attaya dan Tiara.
Ruangan itu sangat luas, pada tengah-tengah ruang, terdapat kursi sofa berbentuk U yang besar. Tiara terpana hingga ia hampir saja jatuh saat harus menuruni dua undakan tangga di mana ruangan yang terdapat sofa tersebut lebih rendah dari ruang dia masuk tadi.
"Upps!" seru Tiara yang langsung di peluk pinggangnya oleh Attaya.
"Hati-hati, Cantik. Di sini ada tangga turun." Attaya kembali membimbing Tiara menuruni dua undakan tersebut.
"Kita menunggu di sana sampai makanan siap ya," ucap Attaya seraya menunjuk ke arah sofa yang berukuran besar-besar dan terlihat sangat nyaman.
Tiara mengangguk dengan perasaan sedikit lega. Benar kata Attaya bahwa di villa itu mereka tidak hanya berduaan saja, tapi ada beberapa orang meskipun mungkin pelayan semua. Setidaknya bisa menghilangkan kekhawatiran dan perasaan takutnya.
Tiara duduk tanpa mengucapkan apa-apa. Attaya ikut duduk di sampingnya. Gadis itu seketika menoleh dengan tatapan keheranan. "Segitu luasnya kursi sofa ini, kenapa kamu memilih duduk di sampingku?" tanya Tiara.
"Ah ... aku cuma tidak ingin jauh-jauh dari kamu. Tiara, apa di matamu aku begitu menakutkan? Kenapa kamu seperti membenciku?" Attaya balik bertanya dengan tatapan menghiba.
"Kita baru kenal dan memoriku buruk tentang kamu. Aku tidak suka ketika harus masuk ke dalam situasi yang terawasi secara ketat. Maaf, tapi itulah yang aku rasakan," sahut Tiara merasa harus mengungkapkan apa yang dirasakannya.
"Untuk hal itu, tolong maafkan aku. Pagi itu aku datang ke kos kamu, sebenarnya ingin mengucapkan janji bahwa aku tidak akan membuatmu merasa terganggu lagi karena tidak akan mendatangi kantor itu lagi." Attaya menghela napas panjang saat mengingat perlakuan buruk kepadanya dari teman sekamar Tiara.
Tiara merasakan bahwa Attaya tengah mengingat kejadian sewaktu Hilda mengusirnya dengan kasar. "Untuk masalah itu, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku telah pulang ke rumah ibuku di sini. Aku tidak akan ke Jakarta lagi. Maafkan temanku yang telah salah paham, meskipun tampaknya sulit di maafkan. Sebab, sampai sekarang pun, aku masih belum bisa menerima apa yang telah dilakukannya padamu," tutur Tiara berusaha menjelaskan semuanya sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Lupakan saja hal-hal seperti itu. Sekarang fokus utamamu adalah mencari pekerjaan dan aku sangat berharap kalau kamu tidak alergi mendengar kata Jakarta," ucap Attaya sambil tersenyum.
"Terima kasih," timpal Tiara masih menundukkan wajahnya. "Tapi ... aku lebih suka di kota ini," lanjut Tiara.
"Sama-sama, tapi apakah sedalam itu kamu kesal padaku?" Attaya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang tinggi.
"A--aku ... jujur aja tidak suka berada pada situasi yang membuatku merasa pengap. Lagipula, aku bukan tipe orang yang suka menciptakan masalah. Aku cenderung menghindari segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan masalah," sahut Tiara.
"Masalah? Bisa dijelaskan apa masalah yang mungkin timbul saat terakhir kamu di kantor itu?" Attaya menatap wajah cantik Tiara dengan kekaguman yang tiada henti-hentinya.
"Oh, itu ya? Hmm ... pertama adalah jadi bahan gosip orang-orang yang akan membuatku tidak nyaman bekerja dan itu bukan masalah kecil. Kedua bisa jadi seperti tadi, aku dilabrak orang, dihina dan dicaci maki. Bagitu itu masalah besar," jawab Tiara sambil menoleh ke arah Attaya yang sedang mengaguminya.
Tiara membuang muka ke samping sambil menyeringai tidak suka. "Lagi pula, kenapa sih kamu melakukan hal itu padaku? Siapa juga tidak akan percaya ada ketulusan jika kamu, seorang pembesar, konglomerat muda yang sedang dipuja-puja berbagai kalangan, menggoda gadis biasa yang miskin seperti aku, pasti hanya iseng belaka ... dan aku, bukan wanita yang bersedia menjadi bahan iseng kaum kalian. Kaum borju yang kesana-sini naik mobil seharga puluhan milyar. Karena buatku, itu bukan suatu kebanggaan. Tapi justru aib!" Tiara menekankan kata per kata dalam kalimatnya dengan nada yang tegas.
Attaya ternganga mendengar penuturan Tiara. Sungguh ia tidak menduga jika gadis yang disukainya memiliki pemikiran sampai sejauh itu. Seketika dirinya merasa bersalah karena tidak melihat dari sisi Tiara, sebaliknya, ia hanya melihat dari sisinya saja. Tapi, mengenai tidak adanya ketulusan, dia tidak mau menerima hal itu, sebab, ia benar-benar menyukai Tiara apa adanya dan saat ini justru rasa sukanya semakin dalam. Tiara sangat berbeda dengan wanita-wanita kebanyakan. Gadis di hadapannya itu, sungguh luar biasa.
"Tiara, dengarkan aku. Aku minta maaf karena tidak menyadari sama sekali kalau keberadaanku akan menyulitkan kamu. Sungguh aku tidak tahu hal itu. Untuk masalah ketulusan ... aku akan membuktikannya pada kamu seiring waktu. Aku benar-benar tertarik padamu dan tidak mengerti dengan kata 'iseng' seperti yang kamu ucapkan. Aku sama sekali tidak berniat buruk. Tapi mungkin kamu tidak akan percaya karena sulit merubah paradigma seseorang. Hanya pembuktian yang bisa merubahnya," jawab Attaya dengan nada pasrah tapi serius.
"Jujur lagi, aku tidak berharap disukai olehmu. Maaf, tapi dunia kita berbeda dan aku tidak akan sanggup menghadapi segala masalah yang akan timbul ke depan dari perbedaan kita yang bagai langit dan bumi. Aku berharap, hari ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Semoga aku tidak akan melihatmu lagi di masa depan. Amin." Tiara mengoceh setengah berdoa.
Attaya tergugu di tempat, matanya sedikit membelalak. Dalam hatinya ada sesuatu yang mengiris perih. Perkataan Tiara cukup menyakitkan perasaannya. Lelaki itu membuang wajahnya ke samping dengan rahang yang mengetat. Ia merasakan amarah mendesak ulu hatinya, tapi sekuat tenaga ia menahan diri.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Attaya bangkit dari sofa dan meninggalkan Tiara sendirian di sana. Ia menaiki tangga menuju kamar utama yang biasa dipakainya saat berada di kota Bogor. Lelaki itu menelan salivanya berulang kali dengan wajah yang memerah.
Telepon genggam Attaya berdering dan ia menerimanya. Seseorang yang telah dipesan olehnya untuk membawakan sebuah handphone telah sampai di villanya. Kemudian, Attaya memanggil Diman agar segera menghadapnya.
Sementara itu, Tiara terbengong-bengong mendapati dirinya telah ditinggalkan oleh Attaya tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya. Ia segera mengingat perkataannya yang diucapkan sesuai dengan apa yang dirasakan oleh hatinya. 'Apa perkataanku telah menyinggung perasaannya? Tapi, bukankah aku harus jujur?' batin Tiara mulai merasakan resah.
Gadis itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia memutuskan akan menunggu lelaki itu selama sepuluh menit. Jika dalam sepuluh menit ia masih dibiarkan sendirian di sana, maka Tiara akan segera pergi dari villa tersebut, meskipun agak kebingungan karena lokasi villa sangat jauh dari rumah ibunya. Taksi sudah pasti sangat mahal, kendaraan umum ia tidak tahu harus naik apa dan hari mulai merambat sore yang sebentar lagi akan berganti gelap.
Seketika ia menyadari bahwa ia tidak bisa memberi kabar kepada ibunya karena dia tidak memiliki telepon genggam. Tiara merasa sangat kesal dan merutuki Attaya. Gara-gara lelaki itu handphonenya rusak parah! Menunggu menit-menit berlalu terasa sangat menyiksa bagi Tiara. Bolak-balik mata indahnya melihat jam tangan. Nyatanya setiap menatap ke angka-angka tersebut hanya berselang satu sampai dua menit saja dari terakhir dia melihatnya.
Menit ketujuh, Diman melangkah menghampiri Tiara. "Non, mari saya antar pulang," ujar Diman seraya mengulurkan tangannya ke depan, sebagai tanda mempersilakan tamunya berjalan lebih dulu ke arah luar.
Deg.
Seketika perasaan Tiara terasa sakit saat dirinya menyadari bahwa ia di usir secara halus dari villa tersebut. Setitik butiran bening luruh jatuh ke pipinya. Benar dugaannya bahwa memang ia hanya akan dijadikan objek keisengan Attaya. Terbukti setelah ia mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya, lelaki itu meninggalkannya begitu saja dan mengusirnya melalui seorang pelayan.
"Ya, saya memang mau pulang. Tolong katakan saja, jika mau ke arah kota, saya harus naik angkutan nomor berapa?" tanya Tiara dengan suara tercekat kepada Diman.
"Non akan di antar oleh supir kemana pun Nona mau pergi, silakan." Diman masih mengulurkan tangannya karena Tiara masih duduk termangu di tempat.
Gadis itu mulai beranjak perlahan dari sikap duduknya. Ia menatap Diman lekat-lekat. "Boleh infoin saja apa yang saya minta?" Tiara mengatakannya dengan tekanan memaksa.
Diman tertegun sebentar, tapi kemudian ia menjawab, "Saya tidak tahu Non."
Sikap Diman terlihat memaksa untuk segera meninggalkan villa itu dan Tiara merasa tersinggung karenanya. Dengan wajah cemberut dan tertekuk, ia segera melangkah cepat-cepat ke arah pintu. Setelah menuruni undakan tangga, tiba-tiba saja, Tiara berlari dengan cepat ke arah pinru gerbang tapi, tidak ada siapa pun di sana.
Tiara kebingungan mencari cara membuka pintu besi yang tinggi menjulanf tersebut. Ia sama sekali tidak menemukan kunci gembok atau kaitan kunci layaknya pintu pagar besi. Harusnya pintu itu tidak terkunci. Namun, ia kesulitan membukanya sebesar apapun ia berusaha menggeser pintu tersebut dengan kedua tangannya.
Sebuah mobil berhenti di belakang Tiara. Diman turun menghampiri gadis itu. "Nona, silakan masuk mobil karena pintu ini akan segera dibuka jika Nona masuk ke dalam mobil. Kami akan mengantar Nona kemana pun. Tolong jangan menolak, Nona," ujar Diman sambil bersikap sama seperti tadi, mempersilakan Tiara berjalan dan masuk ke dalam mobil yang telah dibukakan pintunya.
Gadis itu mengalah, ia pun segera memasuki mobil yang pintunya segera ditutup oleh Diman sebelum menaiki mobil tersebut.
"Ayo jalan," titah Diman kepada supir yang langsung menekan sebuah tombol di dekat setir dan pintu pagar seketika bergeser kiri dan kanannya saling menjauh sehingga mobil yang mereka tumpangi, bisa melewatinya. Tiara menoleh ke arah belakang saat ia merasa sudah melewati pagar itu dan melihat bagaimana pagar itu bergeser lagi untuk kembali tertutup rapat.
Rasa malu akibat dari ketidaktahuannya menyelinap dalam hati Tiara. Bagaimana pun seharusnya ia sadar kalau pagar itu dikendalikan oleh sensor saat tadi menyadari tidak ada penguncian manual pada pagar tersebut. Tiara mendengus kesal dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a^ sambil melihat keluar dari kaca jendela.
"Nona, ini tolong diterima dari Tuan." Diman menyodorkan sebuah bungkusan kertas kepadanya.
"Tidak usah, Pak. Terima kasih. Apa pun itu, saya tidak membutuhkannya." Tiara menjawab tanpa menoleh sama sekali.
"Nona, mohon untuk tidak menyulitkan saya. Jika Nona menolak, saya yang akan kena hukuman karena dianggap tidak becus kerja atau lebih parah jika dituduh menginginkan bingkisan ini. Mohon Nona menerimanya," desak Diman kepada Tiara.
Gadis itu terkejut mendengar perkataan Diman. Seorang lelaki yang kira-kira seumur ibunya itu, tidak mungkin mengatakan kebohongan. Rasa iba pun hadir di dalam hatinya.
"Baiklah, saya terima apapun ini, Pak. Saya merasa prihatin karena Bapak mempunyai majikan yang setara dengan ... apa ya yang begitu? Kejam dan sombong!" Tiara mengambil kantung kertas tersebut dan merogohnya ke dalam lalu mengeluarkan sebuah dus kecil dari dalam.
Gadis itu terhenyak saat tahu bahwa benda itu adalah telepon genggam merek ternama dengan seri terbaru yang harganya sangat mahal. Ia membelalakkan kedua bola matanya antara percaya dan tidak menatap dus tersebut. Hati kecilnya sangat senang mendapatkan benda itu, tapi egonya terusik. Rasanya ingin menolak dengan keras pemberian Attaya tapi ketika ia menengok ke arah Diman yang sedang menatapnya, Tiara tidak jadi protes. Ia hanya mendengus kasar sambil kembali membuang wajahnya ke arah luar.