twenty-one : white lilies

1902 Words
Memasuki awal-awal bulan April, Jala pasti mellow. Selalu. Sebenarnya tidak hanya Jala sih, tapi sang kepala keluarga di rumah alias Hamdan juga begitu. Namun, sepertinya bulan April tahun ini tidak begitu terasa mellow bagi Hamdan karena beberapa alasan. Jala pikir, dengan adanya beberapa perubahan yang terjadi dalam hidupnya, memasuki bulan April tahun ini juga bisa membuatnya merasa biasa saja. Ternyata tidak, terutama ketika hari ini adalah tanggal 3 April. Dari bangun tidur saja Jala juga sudah tidak bersemangat begitu mengetahui tanggal berapa sekarang. Ketika sarapan, Jala yang biasanya banyak omong justru lebih banyak diam dan seperti orang sakit. Padahal, Hamdan nampaknya biasa saja, Lara apalagi. Sebab kembaran Jala itu memang sama sekali tidak pernah menganggap tanggal hari ini spesial, berbeda dengan Jala dan papi mereka. Dalam perjalanan menuju sekolah, Jala masih diam dan tidak banyak bicara. Seolah mengerti, Hamdan dan Lara membiarkannya saja. Setiap tahun juga begitu. Walau Jala tidak mengatakan apa-apa, tapi mereka selalu tahu apa alasannya. Sesampainya di sekolah, Jala juga masih belum bersemangat. Ia yang biasanya riang menyapa teman-temannya dan mengajak mereka untuk nongkrong di kantin sampai bel masuk berdering, kali ini langsung duduk di bangkunya yang ada di sudut paling belakang ketika memasuki kelas, tanpa menyapa siapapun. Bahkan, Jala juga hanya melewati teman-temannya. Di tempat duduknya, Jala duduk menghadap jendela dengan tatapan sendu. Siapapun yang melihat pasti akan langsung tahu, he's not okay right now. "Eh, Ja, lu kenapa dah? Ribut sama Lara lagi apa?" Haikal, salah satu teman akrab Jala di kelas ini sekaligus teman tongkrongannya, mendekat pada Jala dan menanyakan itu. Jala tidak menjawab, menoleh pun tidak. "Oi-" Haikal sudah hampir ngoceh lagi, kalau saja ia tidak ditarik oleh Jeffar, yang tidak hanya teman sekelas Jala, tapi juga temannya sejak SMP. "Sssttt, biarin dulu dia sendiri." Samar, Jala mendengar Jeffar berbisik pada Haikal. "Ini tanggal 3 April, jadi Jala pasti mellow gitu." "Lah? Emang kenapa?" "Hari ini nyokapnya ulang tahun." "Oh...oke." "Dia mellow karena lo tau sendiri, dia nggak pernah punya kesempatan untuk ngerayain ulang tahun nyokapnya. Jangankan ngerayain, dia bahkan nggak pernah ketemu sama sekali dengan nyokapnya. Jadi, biarin dulu dia sendiri." Diam-diam Jala tersenyum pahit mendengar penjelasan yang diberikan Jeffar pada Haikal. Jala dan Jeffar sudah akrab sejak SMP sehingga Jeffar memang sudah mengetahui banyak hal tentang Jala. Yah, yang dikatakan oleh Jeffar tadi pun benar. Setiap tanggal 3 April, Jala memang sedih, karena ini adalah tanggal ulang tahun maminya. Lucu ya rasanya. Kalau dipikirkan lagi, kenapa Jala harus repot-repot bersedih? Padahal, Jala sama sekali tidak bertemu dengan maminya, apalagi merayakan ulang tahunnya. Ia pun bisa tahu tanggal ini karena pernah iseng bertanya pada sang papi. Begitu papinya menjawab kalau ulang tahunnya jatuh pada tanggal hari ini setiap tahunnya, Jala pun langsung paham, kenapa pada tanggal itu, sang papi selalu terlihat bersedih. Akhirnya, Jala juga merasakan yang sama. Apa mungkin ya merindukan seseorang yang tidak pernah ditemui bahkan rupanya saat ini pun tidak tahu bagaimana? Kalau memang tidak mungkin, kenapa Jala justru merasa seperti ini? Jala kangen maminya, walau mereka tidak pernah bertemu. Satu keinginan terbesar Jala, ia mau bertemu dengan sosok yang hanya ia ketahui namanya saja itu, setidaknya sekali seumur hidup. Jala mau ketemu Mami. Mau peluk Mami. Mau merayakan ulang tahun Mami. Kapan ya? *** "Lo ngikut kan main billiard? Ditraktir Kak Albert kita hari ini, sebelum dia mulai ujian." Jala menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Devan, teman tongkrongannya dari kelas sebelah ,yang kini sedang mencegat Jala di depan pintu sebelum Jala bisa keluar dari kelas untuk pulang. "Gue skip dulu," ujar Jala. "Lah? Kenapa? Biasanya juga maju nomor satu lo kalau main billiard." "Ada urusan." "Urusan apa dah?" "Kepo lu," sungut Jala. "Udahlah, kasih tau Kak Albert aja gue nggak bisa ikut hari ini, gantinya traktir gue makan aja besok." "Ye, nggak mau rugi banget!" Jala hanya mengedikkan bahu, lalu mengajak Devan high five. Setelah itu, ia berlalu pergi meninggalkan kelas, juga meninggalkan sekolah. Untuk hari ini, Jala sengaja melewati jalan yang sekiranya tidak akan membuatnya bertemu dengan Lara. Ia tidak mau mereka pulang bersama hari ini, selain itu Jala juga ingin pergi ke suatu tempat dulu dan Lara tidak perlu tahu. Selama ini Jala selalu memasang image sebagai seseorang yang ceria dan banyak mengoceh. Karena itu, Jala tidak mau orang lain melihat sisinya yang sedih seperti ini, termasuk kembarannya sendiri. Apalagi, Lara tidak menyikapi hari ini sebagaimana Jala menyikapinya. Yang menjadi tujuan Jala sepulang sekolah ini adalah toko bunga. Letaknya tidak begitu jauh dari sekolah, jadi Jala memutuskan untuk jalan kaki kesana. Mau naik angkutan umum tanggung, sedangkan Jala tidak punya kendaraan sendiri yang digunakannya untuk ke sekolah. Jadi, Jala rela sedikit kelelahan karena berjalan menuju toko bunga itu. Sesampainya disana, Jala langsung disambut oleh warna-warni bunga dan harumnya yang menyerbak ke sepenjuru ruangan. Namun, dari sekian banyak bunga berwarna-warni itu, Jala tidak repot-repot untuk melihat-lihat terlebih dahulu bunga mana yang akan dia beli. Jala sudah punya pilihannya sendiri. "Saya mau satu buket bunga lily ya, Mbak," pesan Jala kepada perempuan yang bekerja toko bunga itu. "Buketnya bikin yang paling cantik." "Buat pacarnya ya, Mas?" Jala menggeleng. "Buat mami saya." "Siap, Mas." Jala hanya tersenyum. Pahit. Hanya sedikit sekali informasi yang Jala ketahui tentang maminya, bahkan semua informasi itu bisa dihitungnya dengan jari. Mulai dari mami dan papinya yang satu sekolah, mami yang satu tahun lebih muda dari papi namun merupakan siswa akselerasi sehingga mereka berada di kelas yang sama, mami yang ulang tahunnya berdekatan dengan papi, mami yang pintar dan cantik, mami yang dulu primadona di sekolah, mami yang bercita-cita ingin jadi arsitek, mami yang tidak suka seledri, mami yang menggemarri Westlife, mami yang bernama Kalani Pramusita Danuarji, dan mami yang tidak suka bunga mawar tapi suka bunga lily putih. Jika dipikirkan rasanya sedih sekali hanya mengetahui sebatas itu tentang wanita yang sudah melahirkan kita ke dunia. Tapi mau bagaimana lagi? Seperti itulah kenyataannya. Hanya sebatas itu yang diketahui Jala lewat apa yang pernah diceritakan papinya. Sekarang, mereka sudah tidak tahu apa-apa lagi. Sudah mencari kemana-mana, wanita bernama Kalani Pramusita Danuarji itu tetap tidak pernah ditemukan. Entah bagaimana rupanya sekarang, apa pekerjaannya, atau apakah ia masih hidup atau tidak...mereka tidak tahu. Tapi, Jala selalu percaya kalau maminya masih hidup dan tidak seperti Lara yang menganggap kalau mereka tidak pernah dianggap oleh sang mami, Jala justru berpikiran sebaliknya. Jala percaya, kalau setiap detik, maminya tidak pernah tidak ingat mereka. Mungkin juga, setiap waktu mereka diperhatikan oleh jauh oleh mami yang untuk sekarang memiliki alasan tersendiri kenapa tidak pernah muncul. Jala meyakini itu. Karenanya, setiap tahun Jala selalu membeli bunga lily putih di hari ulang tahun maminya. Walau tidak bisa mengucapkan secara langsung dan memberikan kado, tapi Jala selalu merayakan ulang tahun mami dengan membeli bunga kesukaannya. That's the least he can do. Setelah buket bunga lily putih yang dipesannya selesai, Jala segera membayar dan mengucapkan terima kasih pada pekerja toko bunga yang telah merangkai buket bunga lily itu jadi sangat cantik. Cukup lama Jala berdiam diri di depan toko bunga dan memandangi buket bunga di tangannya dengan perasaan campur aduk. Ia nyaris saja menangis ketika bergumam, "Happy birthday, Mami." *** Karena suasana hatinya yang terlalu mellow, Jala sampai lupa kalau sebenarnya ia memang ada urusan sepulang sekolah hari ini. Jala baru ingat ketika ia sedang berjalan-jalan tanpa tujuan sambil memegangi buket bunganya, lalu ia mendapat telepon dari papinya yang menanyakan keberadaan Jala yang belum hadir ke kantor Metallic Esport. Iya, hari ini Jala diharuskan untuk datang ke kantornya Tante Ambar itu untuk melakukan pendaftaran rekrutmen pro player disana. Sesuai yang dikatakan Tante Ambar bulan lalu, akan ada rekrutmen pro player baru di Metallic Esport dan Jala yang diminta ikut pun dengan senang hati melakukannya. Jala sesuka itu pada game dan tim esport tempat wanita yang selama beberapa bulan ini dekat dengan papinya bekerja, adalah tim esport yang paling disukai Jala selama ini. Tentu saja, ia mau menjadi pro player disana. Karena telepon papinya itu, Jala yang semula hanya berjalan tanpa tujuan pada akhirnya memesan ojek online dan pergi menuju kantor Ambar. Untung saja Jala tidak lupa membawa persyaratan untuk mendaftar meski hari ini ia bisa dibilang sedang tidak baik-baik saja. Jala cukup takjub ketika ia tiba di kantor itu. Berbeda dengan kantor papinya yang terkesan sangat formal dan dingin, kantor Metallic Esport justru memberikan kesan fun dengan interior bertema game dan ruangannya banyak dihiasi lampu neon. Rasanya Jala seperti masuk ke kamar sendiri, hanya saja versi yang lebih besar dan bermodal. Ternyata Ambar sudah menunggu di lobi. Melihat wanita itu, Jala otomatis tersenyum. "Hai, Tante, maaf ya aku telat. Tadi aku agak error dikit," ujar Jala. Ambar tersenyum. Seperti biasa, Jala selalu menganggap kalau senyuman Ambar itu menawan, dari pertama kali lihat sudah begitu. "Nggak apa-apa, nggak telat-telat amat kok," kata Ambar. "Abis darimana emang?" Ambar melirik buket bunga di tangan Jala. "Beli bunga buat pacar kamu?" Jala menggelengkan kepala. "Buat gebetan?" Ia menggelengkan kepala lagi, lantas menyodorkan buket bunga tersebut kepada Ambar. "Buat Tante. Nih." "Eh, serius?" Kali ini Jala menganggukkan kepala dan tersenyum. "Iya, buat Tante." "Wah, makasih! Kok kamu tau sih kalau Tante suka bunga lily putih?" Oh. Ini mungkin konyol, tapi mendengar Ambar begitu, Jala justru jadi hendak menangis. Kenapa bisa kebetulan begini sih? Padahal Jala hanya iseng saja memberi buket bunga lily yang diberinya itu kepada Ambar karena tidak tahu juga harus diapakan bunganya. Jala kan, tidak bisa memberinya langsug ke mami yang entah ada dimana sekarang. "Aku iseng aja, Tante. Someone I know, suka bunga itu soalnya." Ambar tersenyum lebar. "Makasih banyak ya! You kinda made my day! Kamu juga suka susah ditebak ya, kayak papi kamu." Jala tidak tahu harus mengatakan apa-apa lagi selain tersenyum. Sedangkan di kepalanya ia justru membayangkan, apakah maminya akan bereaksi seperti itu juga ketika Jala memberinya buket bunga tersebut? Tidak mau hatinya bersedih, Jala pun mengesampingkan andai-andai tersebut. Lalu, Ambar menemani Jala melakukan proses pendaftaran. Jala juga diberi penjelasan mengenai alur proses rekrutmennya nanti. Setelah selesai dengan urusan pendaftaran, Ambar mengajak Jala ke ruangannya.  Berbeda dengan seisi kantor yang interiornya bertema fun dan game, interior ruangan Ambar justru bisa dikatakan biasa saja, mirip-mirip dengan interior ruangan papinya. Jala dipersilahkan untuk duduk di sofa, sementara Ambar meletakkan bunga pemberian Jala tadi di sebuah vas. Di saat Ambar sedang melakukan itu, tanpa sadar Jala melamun. Walau suasana hatinya sempat membaik, namun karena hari ini masih tanggal 3 April, jadilah hati Jala masih bersedih. Padahal selama ini Jala selalu senang ketika bertemu Ambar, rasanya persis seperti ketika dirinya bertemu dengan Gema. Sejak diperkenalkan oleh papinya dengan Ambar sekitar lebih dari sebulan lalu, Hamdan sudah tidak lagi menutup-nutupi hubungannya dengan Ambar. Walau katanya masih teman, tapi intensitas komunikasi mereka semakin bertambah. Jala pun jadi kian akrab dengan Ambar karena itu. Sedangkan Lara masih menutup diri dari Ambar dan masih belum mendukung hubungan papinya dan wanita itu, namun Lara sudah bisa bersikap sopan. Jadilah, Jala yang lebih akrab dengan Ambar sehingga diajak Ambar ke kantornya pun, Jala tidak merasa canggung sama sekali. Ambar langsung sadar kalau Jala melamun begitu ia selesai menaruh buket bunganya di dalam vas. Melihat Jala begitu, Ambar pun segera menghampirinya. "Jala? Are you okay?" Jala menoleh pada Ambar karena ditanya begitu. Biasanya, ia akan menjawab baik-baik saja jika ada yang mengajukan pertanyaan semacam itu padanya. Tetapi, melihat kepedulian di mata Ambar ketika bertanya padanya, Jala jadi tidak punya tenaga untuk berbohong. Jala menghembuskan napas berat, menggelengkan kepala, lantas jujur berkata, "I'm not okay. Hari ini mami aku ulang tahun dan aku pengen ketemu Mami. Aku kangen Mami."    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD