Ara sampai di restoran sederhana yang sudah dipesan oleh teman-temannya untuk acara ulang tahun rekan gurunya. Ara datang bersama Aksa yang merupakan guru Bahasa Jawa. Saat masuk ke restoran, teman-teman mereka sudah berteriak menyambut.
“Bu Ara, Pak Aksa, kami di sini!” pekik mereka dengan heboh.
Baik guru magang atau guru tetap di sekolah itu semua diundang. Ara dan Aksa segera mendekati mereka.
“Terimakasih sudah datang,” ucap Bu Diana yang merupakan guru kelas enam.
“Sama-sama, Bu. Selamat ulang tahun ya,” ujar Ara.
“Waah, Pak Aksa dan Bu Ara datang sama-sama. Satu tahun lagi pasti datang bertiga,” goda salah satu guru pada Aksa dan Ara.
Aksa malu-malu mendapat godaan dari rekannya, sedangkan Ara yang koneknya lama malah bingung. Seketika Ara ingat ceramah dari Pak Ustad, kalau laki-laki dan perempuan belum menikah tetapi berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan. Apa tahun depan kalau dia datang bersama Aksa lagi akan ada setan yang menemani mereka?
“Bener gak Pak Aksa, Bu Ara? Tahun depan datang bertiga kan?” tanya rekan mereka lagi.
“Doakan saja, Bu!” pinta Aksa yang kini malu-malu pengen nyosor Ara.
“Kok Pak Aksa malah minta doain sih, Pak? Itu artinya tahun depan kita datang sama setan dong,” kata Ara.
“Kok setan?” tanya Aksa dan lainnya bingung.
“Kan kalau laki-laki dan perempuan berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan. Ini kali pertamanya kita boncengan berdua, kalau kita boncengan lagi bisa jadi setan ikut. Aku gak mau ya, Pak, kalau setannya ngikut,” oceh Ara.
“Tulung, biyen sing nompo bocah iki dadi guru sopo?” tanya Pak Ilham kepada teman-temannya. (Tolong, dulu yang menerima bocah ini jadi guru siapa)
“Sudah-sudah, jangan ribut! Ayo duduk, kita makan-makan!” ajak Bu Diana dengan senang.
“Tiup lilinnya dong, Bu!” pinta Pak Ilham kepada Bu Diana.
Kini mereka menyanyikan lagu tiup lilin. Ara menatap kue itu yang terlihat lezat, tetapi otaknya tidak menginginkannya. Yang Ara inginkan malah dia membawa babi, lalu ngepet bersama mumpung ada lilin.
Seorang pria masuk ke restoran tempat Bu Diana merayakan ulang tahun. Di malam-malam begini dan di dalam ruangan, cowok itu memakai kaca hitam persis seperti mafia yang tengah mengintai. Namun, mafia mana yang gesrek seperti Arsel?
Pria itu menatap awas pada Ara yang tampak ketawa-ketiwi dengan teman-temannya. “Apa guru di sekolah itu kekurangan guru cewek? Kenapa lebih banyak cowoknya?” tanya Arsel mendesis.
“Permisi, Pak. Mau pesan apa?” tanya seorang waitres wanita kepada Arsel.
“Pesan mantan yang hilang,” jawab Arsel tanpa menatap waitres.
“Loh loh … kenapa cowok itu sentuh-sentuh Ara?” tanya Arsel kepanasan saat melihat Aksa menyentuh tangan Ara. Waitres yang melihat Arsel ngamuk pun langsung menciut.
“Pak, mau pesan apa?” tanya waitres itu lagi memberanikan diri.
“Pesan buat cowok itu buat gak deket-deket sama calon istriku!” titah Arsel menunjuk Aksa.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya hanya ingin mencatat pesanan saja,” ujar waitres itu.
“Pesan apa saja dan enyahlah dari sini!” sentak Arsel yang kesal karena terus ditanyain.
Waitres itu pun pergi, meninggalkan Arsel yang terus kepanasan melihat adiknya dekat dengan cowok. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya Arsel kesal saat melihat adiknya bersama cowok, ini sudah ke sekian kali. Bagi Arsel, Ara tidak boleh dekat dengan cowok lain selain dirinya. Egois? Ya tentu saja sejak dulu Arsel memang egois dan kepala batu.
Ara memakan kue yang dibagikan oleh Bu Diana. Di sudut bibir Ara ada noda coklat yang membuat tangan Aksa gatal.
“Bu Ara, maaf,” ujar Aksa mengulurkan tangannya untuk membersihkan bibir Ara.
“Oi oi … gas banget deh Pak Aksa,” goda rekan-rekan mereka dengan senang. Yang memiliki acara Bu Diana, tetapi yang kini menjadi spot atensi malah Ara.
“Eh masih ada lagi, Bu,” kata Aksa yang kembali mengusap bibir Ara.
Ara tersipu mendapat perlakuan manis Aksa di depan umum. Meski Ara hanya suka Kim Taehyung, tetapi boleh leh kalau diperhatikan begitu. Cita-cita Ara lagi mempunyai kekasih yang act of service.
Saat Ara malu-malu meong, ada Arsel yang bertambah panas. Cowok itu mengangkat kaosnya hingga memperlihatkan perutnya. Arsel melakukan itu untuk membuat rasa panas yang ada di dirinya hilang. Namun, yang panas itu hatinya, mau Arsel melepas semua bajunya pun tidak bisa membuat cowok itu adem.
“Ayo dimakan makanan utamanya!” pinta Bu Diana.
“Bu Ara, mau makan apa?” tanya Aksa yang sangat gercep mendekati Ara. Mumpung bukan di sekolahan, Aksa akan caper secaper-capernya untuk mendapatkan hati Ara. Meski saingannya Taehyung, Aksa akan mengejar Bu Ara dengan ugal-ugalan.
“Yang paling deket saja,” jawab Ara.
“Sini aku suapin saja, Bu,” ucap Aksa yang kini menyodorkan sendok yang sudah berisi makanan pada Ara.
Brakkk!
Arsel memukul meja dengan kencang hingga beberapa pelanggan menatap ke arahnya. Pun dengan Ara yang tercekat saat melihat Arsel, ternyata Kakaknya nekat juga mendatanginya.
Sudah cukup kesabaran Arsel, dia tipe cowok pemarah dan sekarang emosinya dipancing-pancing. Cowok itu segera menghampiri Ara.
“Mas, ke– kenapa kamu kesini?” tanya Ara kikuk.
“Tentu saja menjemput calon istriku,” jawab Arsel menekan kata ‘Calon istri.
Sontak ucapan Arsel membuat rekan Ara tercekat. “Calon istri?” tanya mereka kompak penuh dramatis.
“Ya, Ara calon istri saya. Tadi Ara pergi tanpa pamit, jadi sebagai calon suami yang baik, saya pun menjemputnya,” jelas Arsel sambil merangkul pundak Ara.
“Bukan, dia bukan calon suamiku,” elak Ara sambil menggeleng.
“Kamu kok geger otak mendadak sih, Sayang? Kita kan sudah sepakat untuk menikah. Bahkan kamu sendiri yang bilang kalau pengen punya lima anak kembar dariku. Aku sudah mencari tutorial di berbagai media untuk memperoleh anak kembar, bahkan aku juga sudah berkonsultasi pada banyak Dokter untuk hasil yang akurat,” oceh Arsel dengan vulgar.
“Diam!” desis Ara.
“Tidak bisa diam, Ara. Agak sana, aku mau duduk.” Arsel memaksa tubuh Ara agar bergeser. Namun, Ara tidak mau dan tetap mempertahankan duduknya.
“Boleh saya di sini?” tanya Arsel pada Aksa.
Sungguh Aksa masih syok dengan kabar yang dibawa Arsel. Padahal dia sudah bersiap bersaing dengan Kim Taehyung, tetapi kini dia malah mendapatkan kabar bahwa Ara sudah mau menikah. Apalagi calon suaminya sangat tampan.
Aksa mengangguk, cowok itu berdiri untuk memberikan tempat pada Arsel. Namun, Ara mencegahnya.
“Jangan!” cegah Ara.
“Dia bukan calon suamiku, jadi kamu tetaplah duduk di situ. Dia gak berhak mengusir kamu,” ucap Ara.
Arsel yang mendengar ucapan Ara pun bertambah kesal. “Tidak apa-apa, Ara. Mau kamu geger otak, aku tetap cinta sama kamu,” desis Arsel menarik kursi kosong di bangku sebelah. Cowok itu tiba-tiba mengangkat kursi yang diduduki Ara membuat Ara memekik kecil.
Arsel memindahkan kursi Ara sedikit dan memasukkan kursinya sendiri. Kini Arsel duduk di antara Ara dan Aksa.
Suasana yang tadinya sangat menyenangkan kini berubah menjadi canggung karena kedatangan orang baru yang datang bagai jailangkung yang tidak diundang.
“Mas, yang kamu lakukan ini tidak sopan,” desis Ara pada Arsel.
“Bu, saya tidak apa-apa kan duduk di sini?” tanya Arsel pada yang punya hajat.
“Tentu saja tidak apa-apa. Silahkan ikut dimakan makanannya!” pinta Bu Diana.
“Anda baik sekali, Bu. Minta alamat rumahnya, Bu. Nanti saya kirimi hadiah buat Anda,” ujar Arsel.
Mereka berdua pun berbincang-bincang dengan seru, meski baru bertemu beberapa menit, mereka sudah seperti kawan lama yang akrab satu sama lain. Ara memijat keningnya yang terasa pusing.
“Ara, aku tidak menyangka kalau kamu sudah punya calon suami,” bisik Aksa membuat Ara menatap ke arah cowok itu.
“Percayalah, Pak Aksa. Dia Kakakku, bahkan kita satu kartu keluarga,” jawab Ara.
“Beneran?” tanya Aksa yang kini seolah ada harapan untuk mengejar Ara.
“Tentu saja,” jawab Ara. “Besok aku akan menunjukkan kartu keluarganya,” tambah Ara.
“Kalau begitu aku suapin lagi ya,” ujar Aksa yang kini mengambil makanan dan menyuapkan sendoknya pada Ara.
Saat Aksa mengarahkan sendok pada Ara, Arsel lah yang dengan sigap menerima suapan itu. Aksa membulatkan matanya.
“Terimakasih, Pak Aksa. Ayo suapi lagi!” pinta Arsel sambil mengunyah makanannya. Tidak ada gurat bersalah pada wajah cowok itu membuat Aksa ingin menghajarnya.
“Dasar b******n tengik,” maki Ara sambil mencubit paha Arsel dengan kencang.
Arsel memelototkan matanya karena pahanya terasa sakit. Cowok itu berusaha melepaskan tangan Ara, tetapi Ara tetap mencubitnya.
“Ara, lepasin!” desis Arsel memerintah.
“Gak mau,” jawab Ara.
“Oke kalau ini maumu,” ujar Arsel.
“Aaah … Ara, jangan diusap! Ahhh … eum.” Arsel mengeluarkan suara desahan dan suara rintihan.
Ara tercekat, pun dengan orang-orang yang kini penasaran apa yang dilakukan tangan Ara di bawah meja.
“Aaah … Ara, ini di depan umum. Nanti di rumah saja,” ujar Arsel. Buru-buru Ara melepaskan tangannya dari paha Arsel.
“Kenapa kamu membuat suara kayak gitu?” tanya Ara memukul paha Arsel.
“Memang rasanya enak dan membuatku ingin mendesah,” jawab Arsel mengedipkan sebelah matanya.
Ara yang kepalang malu pun segera berdiri, “Saya permisi,” ucap Ara berpamitan pada teman-temannya dan nyelonong pergi begitu saja.
“Bu Ara,” panggil Aksa yang kini berdiri untuk mencegah Ara pergi. Namun, pundaknya ditekan Arsel hingga membuat Aksa duduk lagi.
“Mengejar calon istri adalah tugas calon suami,” ujar Arsel dengan sombong.
Arsel pergi menyusul Ara, tetapi dia dihadang oleh satu waitres. “Pak, pesanan Anda sudah datang dan ini totalnya,” ucap waitres itu memberikan tagihan pada Arsel.
Arsel tercekat melihat nominal yang sangat banyak, “Kenapa banyak sekali? Saya belum makan apa-apa dan saya hanya sendirian. Kenapa sampai ada banyak menu?” tanya Arsel.
“Tadi Anda bilang ‘terserah apa saja. Jadi saya merekomendasikan menu ini. Silahkan bayar di sini!” pinta waitres itu sambil menunjukkan mesin EDC pada Arsel.
Arsel meraih dompet di saku celananya, cowok itu menggesek sendiri kartunya. “Bagikan makanan itu ke orang-orang di jalan!” titah Arsel. Meski Arsel merasa ditipu, tetapi cowok itu masih baik hati mau membayar. Setelahnya Arsel kembali mengejar Ara sebelum dia kehilangan jejak gadis itu.