“Adakan rapat sekarang!” titah Arsel kepada Dani.
Dani yang tengah menyeruput kopinya langsung tersentak mendengar perintah Arsel. Pasalnya ini masih jam istirahat, baru lima menit dia duduk, tetapi sudah disuruh lagi.
“Dani, adakan rapat sekarang!” titah Arsel lagi.
“Yang benar saja, Pak. Ini masih istirahat,” jawab Dani.
“Tapi aku maunya sekarang. Jam istirahat ditunda,” ujar Arsel.
“Gak bisa, Pak. Jam operasional kantor sudah paten, masuk jam delapan pagi, istirahat jam dua belas, kerja lagi jam satu sampai jam lima,” jelas Dani yang memperjuangkan hak istirahatnya. Dia juga mau main game online, sudah menunggu waktu istirahat lama, eh pas istirahat masih disuruh rapat.
Arsel berkacak pinggang menatap Dani, “Yang bosnya aku atau kamu?” tanya pria tampan itu.
“Ya situ,” jawab Dani.
“Ya makanya jangan membantah!” sentak Arsel.
“Rapat apa lagi sih, Pak? Biasanya Pak Arsel malas rapat, kenapa sekarang malah disuruh rapat?” tanya Dani mengeluh.
“Cepat!” teriak Arsel kencang.
Dani segera bangun dari duduknya dan ngacir begitu saja sebelum Arsel kembali meledak-ledak. Dani mengumpulkan orang-orang untuk ikut rapat, tidak hanya Dani yang menggerutu, tetapi yang lain juga. Ibaratnya makan siang masih sampai tenggorokan, tukang emosi sudah menyuruh menghadap. Kalau gak butuh duit, mereka juga tidak sudi dipimpin oleh Arsel, laki-laki si tukang marah. Bahkan ada yang mendoakan Arsel untuk kena penyakit karena seringnya marah. Namun, namanya juga doa jelek, jadi doanya tidak akan diterima di langit dan ditolak oleh bumi, alhasil kembali pada diri sendiri yang mendoakan.
Dalam secepat kilat kini di ruang rapat tengah berkumpul ketua divisi yang membawa laptop masing-masing. Suara krasak-krusuk juga terdengar di sana.
“Ada hal penting apa sampai rapat mendadak?” tanya salah satu pria pada rekannya.
“Entahlah. Apa jangan-jangan ada pengumuman mutasi?” tanya yang lain.
“Jangan ngawur kamu!”
“Atau jangan-jangan ada pengurangan karyawan?”
“Jangan dong, anakku mau dikasih makan apa kalau aku kehilangan pekerjaan?”
Dani yang mendengar krasak-krusuk itu hanya diam, dia yang menjadi asisten pribadi Arsel hampir dua puluh empat jam kalau dipanggil harus datang pun tidak tau juga apa yang akan disampaikan oleh bosnya.
Suara pintu terbuka membuat semua mata menatap ke sumber suara, mereka melihat Arsel yang menampilkan raut serius, alhasil semuanya menjadi takut. Kalau rapat mendadak begini, kalau bukan masalah penurunan perusahaan pasti karena ada masalah.
“Selamat siang semuanya,” sapa Arsel.
“Siang, Pak,” jawab mereka kompak.
“Kita mulai saja rapatnya sekarang,” ujar Arsel. Mereka mengangguk mengiyakan, tetapi kaki mereka yang di bawah meja saling menendang satu sama lain dengan rekan terdekatnya.
“Rapat kali ini membahas bibit X dan bibit Y. Mengingat ke belakang saat belajar biologi di bangku sekolahan, indung telur hanya menghasilkan bibit Y, sedangkan laki-laki menghasilkan bibit X dan Y,” oceh Arsel membuat orang-orang di sana membulatkan matanya.
Ini perusahaan meliputi pangan, properti dan real estate, kenapa jadi membahas bibit X dan Y? Kini semua orang saling berpandangan satu sama lain.
“Menurut kalian, bagaimana bisa mendapatkan X dan Y lima sekaligus?” tanya Arsel pada karyawannya. Pandangan Arsel saat menatap mereka seolah berharap kalau mereka mampu memberikan jawaban.
“Pak, kita disuruh rapat saat jam istirahat karena hal ini?” tanya Dani.
“Iya, memangnya hal apa yang lebih penting dari perkembang biakan? Satu bulan lagi saya menikah dan saya ingin semuanya matang, dari pernikahan sampai hal berkembang biak,” jelas Arsel menggebu-gebu.
“Cepat jawab! Kalian biasa berpikir pakai logika, sekarang pikirkan cara untuk mendapat bayi kembar lima!” titah Arsel.
Dani mengepalkan tangannya dengan kuat, napasnya naik turun dengan hidung yang kembang kempis. Dani rela tidak makan dan hanya minum kopi, tetapi Arsel malah mempermainkannya seperti ini.
Tiba-tiba Dani berdiri, pria itu memukul meja dengan kencang sampai orang-orang tersentak. “Yang benar saja, Pak! Kami ini tim profesional yang paham cara kerja di bidang masing-masing, bukan paham masalah reproduksi. Meski kami berpikir secara logika, tapi kami juga tidak tahu yang Bapak miliki itu bibit X atau Y. Pak Arsel pintar, kuliah tinggi di luar negeri, tapi perkara begini saja pakai dirapatkan!” seloroh Dani bertubi-tubi. Pria itu benar-benar marah dengan ulah Arsel. Bagaimana tidak, dia kelaparan demi rapat, tetapi rapatnya tidak berisi.
“Oke, Dani keluar dari sini dan potong gaji!” titah Arsel membuat Dani gelagapan.
“Eh jangan, Pak!” pekik Dani yang takut potong gaji.
“Siapa yang mau potong gaji lagi? Keluar dari sini segera!” titah Arsel.
Semua orang tidak berani berkutik, mereka diam karena takut. Kini mereka pasrah dan legowo, biarkan saja rapatnya tidak bermutu, yang penting tidak dipotong gaji.
“Kalau boleh tau Pak Arsel mau menikah sama siapa ya?” tanya salah satu karyawan Arsel.
“Sama Ara, adikku,” jawab Arsel.
“Bagaimana bisa menikah sama adik sendiri?” tanya karyawan baru yang syok mendadak untung tidak stroke.
“Adik angkat lebih tepatnya, tetapi dia tidak mau menikah. Sekarang pikirkan cara agar di menerimaku!” titah Arsel.
“Menaklukkan perempuan itu mudah, buat dia nyaman dengan kelembutan,” celetuk satu orang dengan senyum mengembang karena membayangkan istrinya.
Arsel mendengarkan petuah karyawannya yang sudah menikah itu. Namun, Arsel seolah tidak percaya dengan ucapan pria itu karena terus menyuruhnya bersikap lembut. Adiknya seperti jaran kepang tidak mau diam, gadis bar-bar yang sering berbuat ulah, bagaimana mungkin adiknya akan senang dengan kelembutan? Yang ada adiknya lebih suka kesurupan.
“Terus beri dia makanan yang disukai. Coklat, desert, seblak, atau apapun yang disukai adik Pak Arsel,” jelas karyawan itu.
“Kalau dia sukanya Taehyung gimana? Apa saya harus bawa pria itu kesini?” tanya Arsel.
“Kalau Pak Arsel bawa Taehyung, yang ada adik Pak Arsel semakin gak mau menikah. Ya pikir saja, secara kegantengan saja sudah bagai langit dan bumi,” seloroh Dani yang masih tidak pergi dari sana.
Arsel membulatkan matanya mendengar ucapan Dani, terang-terangan asistennya itu mengatakan dia jelek?
Dani yang sadar apa yang diucapkan pun segera menutup bibirnya, “Aduh, cocotku lagi,” batin Dani.
“Keluar atau saya pecat!” desis Arsel mengusir Dani. Buru-buru Dani keluar karena tidak mau kehilangan pekerjaan. Meski bosnya sering darah tinggi, tetapi hanya kerja di sini dia punya banyak uang.
***
Pukul empat sore Ara tengah memasak menu makan malam. Meski hari masih sore, gadis itu sudah memasak karena gabut tidak ada kegiatan, gadis itu memilih untuk membuat makanan ala bintang lima menurutnya sendiri. Sembari memasak, Ara juga bernyanyi lagu anak-anak. Menjadi guru sekolah dasar membuat Ara senang, karena dia sendiri pecinta anak-anak, apalagi saat jam istirahat dia bisa bernyanyi sepuasnya dengan murid-muridnya.
Kali ini Ara memasak tumis pare dan sup tahu. Karena asyik memasak, Ara tidak menyadari ada seorang pria yang menatap dirinya dari pintu dapur.
“Satu-satu aku sayang Ibu … dua dua … aku sayang ayah. Tiga tiga aku sayang —”
“Aku sayang Ara,” sahut Arsel membuat Ara menoleh.
“Sudah pulang, Mas?” tanya Ara menatap Kakaknya yang masih memakai jas lengkap.
“Ya sudah lah, matamu itu kamu taruh dimana? Jelas-jelas aku di hadapanmu, ya berarti aku sudah pulang. Kalau ini bukan aku, kamu pikir setan?” tanya Arsel menyentak. Ara mencebikkan bibirnya, dia tidak kaget dengan jawaban Arsel karena memang pria itu semakin dewasa semakin suka ngegas seolah remnya blong.
Arsel sendiri yang berbicara menyentak, tetapi Arsel sendiri yang saat ini gelagapan. Pria itu memaki dirinya sendiri yang berbicara tidak bisa kalem, padahal dia mau bersikap sekalem mungkin untuk Ara. Arsel menghampiri Ara dan berdiri tepat di belakang gadis itu.
“Itu kalau aku yang dulu akan bilang begitu, tetapi sekarang aku gak akan mengatakan itu lagi,” bisik Arsel dengan suara sangat lembut seperti makhluk halus.
Ara mengerutkan dahinya bingung, gadis itu menoleh menatap Kakak angkatnya yang saat ini tersenyum manis.
“Sekarang aku jawab, iya aku sudah pulang kok,” tambah Arsel.
“Kenapa kamu aneh sekali?” tanya Ara.
“Aneh-aneh kamu yang aneh!” sentak Arsel. Ara terkesiap karena sentakan cowok itu yang tepat di hadapannya.
Arsel kembali gelagapan, “Eh bukan itu maksudku!” elak Arsel.
“Aku gak aneh, Ara. Aku baik hati,” ralat Arsel.
Arsel harap Ara tidak marah dengan mulut sialannya. Sungguh Arsel sudah belajar bicara lembut dan baik, tetapi lambe laknatnya saja yang keseringan berbicara kasar. Kini Arsel mempunyai misi untuk membuat Ara nyaman, jadi tidak boleh bicara sembarangan.
Ara meletakkan punggung tangannya ke kening Arsel. Tidak panas, tetapi kenapa Arsel aneh sekali?
“Mas, jujur sama aku! Tadi kamu pulang lewat mana?” tanya Ara sambil berkacak pinggang.
“Aku lewat jalan biasanya,” jawab Arsel.
“Bohong!” sentak Ara.
“Enggak bohong, Ara,” ujar Arsel kukuh.
“Kalau kamu gak lewat semak-semak, kamu gak akan kesambet kayak gini. Hari ini kamu aneh, Mas. Kamu sedikit-sedikit membentak, terus berubah lembut, terus membentak lagi. Pasti kamu kesamben jin tomang,” oceh Ara bertubi-tubi.
Hidung Arsel seketika kembang kempis mendengar ucapan adik yang sebentar lagi menjadi istrinya.
“Sekate-kate banget jadi orang ngatain aku kesambet jin tomang. Aku gak kesamben jin tomang, tapi jin ifrit!” pekik Arsel membanting bunga yang sejak tadi dia sembunyikan di balik punggungnya.
“Dasar tidak tau diuntung, disikapi lembut malah ngata-ngatain. Ini nih ciri-ciri gadis kurang ajar!” maki Arsel lagi.
Ara mengerjap-ngerjapkan matanya saat melihat kemarahan Arsel, apalagi saat cowok itu membuang bunga.
“Loh loh kok ngamuk,” kata Ara.
“Bagaimana gak ngamuk? Kamu gak tau bagaimana usahaku untuk bersikap lembut, tapi kamu malah gak ngehargain aku, Ara!” pekik Arsel kelewat kesal.
Ara yang melihat Arsel semakin ngamuk pun sedikit menyingkir. “Dah dah lek dang dang dut.” Ara mengambil kaleng kerupuk seraya memukulnya, gadis itu juga bersuara seolah menabuh kendang agar Arsel semakin mengamuk.
“Dah dah lek dang dang dut … eh … oh … eh … eh … oh … eh.” Ara memperlakukan Arsel bagai jaran kepang yang tengah kesurupan.
Coba katakan orang mana yang tidak marah kalau mendapatkan perlakuan demikian dari Ara? Orang marah bukannya diadem-ademin malah dikendangi.
“Gadis sialan!” teriak Arsel yang kini mengejar Ara.
“Kabuuur!” Ara berteriak kencang dan berlari meninggalkan Arsel.
Arsel tidak tinggal diam, pria itu mengejar Ara yang kini berlarian di rumahnya. Ara menaiki sofa untuk menghindari Arsel, tetapi Arsel lebih pintar melompat dan mengejar Ara lagi.
Sepasang suami istri memasuki rumah dan menatap keadaan rumah anaknya yang kini tidak baik-baik saja. Bantal sofa jatuh dimana-mana, ada barang berjatuhan lainnya dan dua orang dewasa tengah kejar-kejaran.
“Lihat, begini mereka mau menikah? Mau jadi apa anaknya nanti?” tanya Arman pada istrinya.
“Ra Ara, itu ada Arman maumandi!” pekik Arsel saat melihat orang tuanya datang.
Kan, sebenarnya yang mengajari Ara kurangajar itu adalah Arsel. Arsel ngefans banget sama penyanyi Arman Maulana dan ngefans juga sama Ayahnya sang pengusaha Arman maumandi.