"Dasar nakal!". Dokter Diana mengeluh, melihat Hendra berhenti sejenak di dekat tong sampah. Psikolog itu berfikir pasiennya akan membuang resep obat. Ternyata dia meremas post it lalu melemparnya kedalam tong sampah.
***
"Wah.. disini calon suami mu bekerja". Agus terbelalak menatap gedung pencakar langit Jaya Ritz Hotel. Hotel bintang 5 dengan interior yang terkenal artistik.
"Sudah.. abaikan, yang penting pekerjaan kita beres". Aruna benar-benar tidak yakin dia harus datang ke hotel ini sekali lagi. Setelah acara pertemuan keluarga yang menjadi tanda digadaikannya kehidupan dan masa depannya. Dalam mimpi pun dia tidak ingin mendatangi tempat ini.
Mereka menyusuri lobby hotel. Dan memasuki lift khusus, lift yang dulu dia gunakan bersama Hendra. Namun belum sempat masuk ke dalam, seorang sekuriti tersenyum ramah memberikan arahan untuk menggunakan lift lain. Ternyata lift tersebut bertuliskan 'tidak untuk umum'.
"Bip". Aruna memencet angka 5, itu artinya mereka akan menuju lantai 5.
"Setahu ku lantai 5 adalah lantai kantor pusat Djoyo Makmur Grup". Sela Lili, hari ini Aruna bersama 3 temanya mengantarkan beberapa desain contoh undangan untuk calon suaminya sendiri. Dia sengaja membawa teman-temannya, entah mengapa setelah kejadian di Mension yang penuh drama itu. Aruna tidak cukup berani menemui Hendra secara pribadi.
"Aku pernah baca artikel, kalau ga' salah 5 tahun lalu CEO baru mereka sengaja memindahkan kantor pusat ke hotel ini. Untuk mengurangi pengaruh anak perusahaan yang berkantor dalam satu icon Djoyo Tower ( Salah satu dari 4 icon Djoyo Tower memang berfungsi sebagai kantor induk beberapa anak perusahaan Djoyo Makmur Grup termasuk didalamnya kantor pusat Djoyo Makmur Grup sebelum akhirnya dipindahkan)". Lili tampak semangat memberikan informasi.
"Aku rasa Lili tahu lebih banyak dari pada Aruna, hebat juga". Sindir Dea, sembari melirik Aruna yang sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Ya begitulah, dari dulu aku bercita-cita menjadi tim marketing kantor pusat Djoyo Makmur Grup. Andai kalian tahu betapa kerennya menjadi bagian dari mereka". Tambah Lili mengenang mimpinya.
"Ah' aku baru ingat, calon kakak ipar ku leader salah satu tim marketing di sini. Jika beruntung nanti kita temui kak Adit". Informasi Aruna membuat mata Lili berbinar.
_Bukankah calon suami Aruna CEOnya, mengapa dia lebih bersemangat menemui kakak iparnya, huh' temanku satu ini_ Batin Dea.
"Aruna, WA dia sekarang..". Rengek Lili
"Iya sebentar".
"Ayo cepetan.."
"Iya.. iya.."
***
"Hen.. hentikan pekerjaan mu sekarang". Seorang sekretaris berlari membuka pintu, tergesa-gesah menemui atasannya.
"Ada apa?". Jawab CEO malas.
"Nona.. nona Aruna datang, dia di resepsionis lantai 5 bersama teman-temannya". Surya terlihat bersemangat. Berharap kedatangan nona kecil itu bisa menjadi obat kesuntukkan atasannya, yang akhir-akhir ini semakin menjadi.
"Ada urusan apa dia datang kemari".
Ah' ekspresi Hendra diluar prediksi Surya. Tidak begitu peduli dengan informasi yang dia bawa, masih sibuk memeriksa berkas laporan tersebar dimeja.
"Bukankah kamu sendiri yang mengundangnya". Raut muka Surya berubah drastis, dia mengingatkan permintaan pribadi Hendra pada Aruna ketika pertemuan mereka di mansion Sky tower.
"Oh, itu". Hendra sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas dimeja.
"Beritahu mereka untuk menyerahkan benda yang mereka bawa pada tita (sekertaris kantor), nanti aku periksa". Jawab Hendra padat.
"Begitu saja?! Kau tidak akan menemuinya". Surya kecewa.
"Apa kau tidak melihat, aku sedang sibuk". Hendra menekan intonasinya.
"Hah". Surya membuang nafas.
"Aku harap kamu tidak menyesal". Kalimat terakhir sekretarisnya membuat Hendra tidak nyaman. Pria itu meletakkan dokumen kasar.
Sejenak Hendra mencoba menghilangkan perasaan jengkel bercampur kecamuk yang tidak dapat didefinisikan, muncul begitu saja dari dalam dadanya. Dua perasaan yang menyatu dan membaur rumit.
Akhirnya menyerah, keluar dari ruangan mencari udara segar.
Langkahnya terhenti seketika, mata biru menangkap seseorang di ujung sana. Gadis yang enggan dia temui sedang menunggu pintu lift terbuka, berbincang ceria bersama teman-temanya. Sesekali dia tertawa dan menanggapi candaan.
_Aditya_ Gumam Hendra.
Salah satu Leader tim marketing turut serta bergabung dengan kelompok tersebut. Dia seolah memimpin yang lain dalam diskusi ringan penuh canda.
Hendra, CEO itu terdiam dalam pengamatan. Perlahan dirinya menyerah, tak sanggup lagi mengabaikan sesuatu yang menarik perhatian. Tergerak memanggil pelayan dan meminta menyampaikan pesannya. Bahwa Aruna di tunggu di ruang kerja CEO.
Dari kejauhan pria itu menatap tajam penuh harap, entah apa yang telah meruntuhkan sikap acuhnya. Mungkin dia sedang berusaha membatasi diri dengan gadis yang membuatnya kembali mengalami post-traumatic disorder. Sama dengan caranya menjauh dari ibu Gayatri.
"Maaf, nona tadi meminta anda menunggu". Pelayan suruhannya sedang berusaha menutupi keder, harus bicara secara langsung dengan CEO.
"Apa?? mengapa begitu??". Raut muka Hendra berubah kesal.
"Di.. dia.. ingin makan dulu sama teman-temannya". Mendengar penjelasan pelayan tersebut, Hendra langsung berlari menuju lift pribadinya. Karena gadis itu menghilang dibalik pintu lift setelah menerima pesan dari pelayannya.
Untung saja masih sempat menemukan Aruna. Hendra berjalan cepat menyapa.
"Aruna". Panggilan Hendra menyembunyikan nafas ngos-ngosan.
"Kau tidak menerima pesan ku". Pria itu pura-pura tidak tahu.
"Em... Maaf, aku ingin makan dulu sama teman-teman. Janji, 30 menit lagi aku temui kamu". Aruna. Gadis itu bersinar seperti biasa, dengan outfit santai dan riang.
"Aku sangat sibuk. Waktu ku tidak banyak, 30 menit lagi.. Hah' itu terlalu lama.. Jika kau menunda aku tidak tahu kapan bisa memeriksa pekerjaan mu". Hendra berbicara begitu saja, tidak peduli ada teman-teman Aruna. Yang turut andil dalam projek undangan mereka. Lelaki itu hanya fokus untuk memojokkan Aruna. Supaya Aruna terpaksa mengikuti kehendaknya.
Aditya menangkap kecanggungan yang ditunjukkan Aruna pada teman-temannya dan sebaliknya. Sayang sekali Hendra tidak peduli.
"Pak Hendra, bukankah ini jam istirahat? Saya rasa kita kembali menemui anda pada jam kerja merupakan tindakan yang benar". Aditya tidak bisa membiarkan Aruna, adik kekasihnya itu merasa malu.
"Apa saya bicara dengan anda". Hendra, selalu memiliki kata-kata tajam yang mampu menghujam lawan bicaranya.
"Saya juga khawatir dengan keselamatan Aruna". Aditya menyentil pertemuan terakhir mereka yang mengakibatkan Aruna jatuh sakit terlebih kakinya baru pulih.
"Apalagi anda sangat sibuk, aku dengar bahkan anda belum sempat menyampaikan maaf secara langsung pada orangtuanya. Takutnya jika Aruna mengalami hal yang sama, saya yakin anda pasti kesulitan mengatur waktu". Ucapan Aditya kali ini tidak kalah tajam. Dalam hal bekerja mereka bisa memposisikan diri sesuai peran masing-masing. Namun, ketika menyangkut kepentingan pribadi. Tidak ada struktur jabatan yang harus dipatuhi.
Hawa panas yang disemburkan dua orang laki-laki itu membuat 4 orang disekitarnya merasakan pengap bahkan keringat ikut menetes.
"Hemm...". Hendra tersenyum menyeringai. Senyum yang menakutkan.
"Saya lebih khawatir dari pada anda. Bahkan saya takut?!, Takut jika calon istri saya di tukar dengan yang lain karena pengaruh anda". Hendra makin tidak punya perasaan, mengungkit sesuatu yang seharusnya tidak perlu lagi di bahas.
"Atau sebaiknya saya menukar kembali calon saya?!. Mengambil yang seharusnya jadi milik saya". Ungkapan Hendra kali ini bahkan mampu membuat kak Aditya mengepalkan tangannya. Siapapun yang melihat pasti tahu dia sedang menahan emosi.
Aruna tidak sanggup lagi mendengar perdebatan yang makin berbahaya.
"Hendra..". Aruna mendekati pria itu.
"Baiklah aku akan ikut denganmu". Aruna berusaha membalik tubuh tinggi tegap Hendra, dengan tangan kecilnya.
"Ayolah...". Aruna terus mendorong tubuh yang tak bergerak itu.
"Sudah, aku akan menuruti kemauan mu". Pria itu luluh karena Aruna setengah memeluknya. Pelukan, sebatas berupaya mendorong Hendra menjauh dari kak Aditya dan teman-temannya. Bahkan gadis itu terpaksa merangkul lengan kiri Hendra dengan tangan kanannya. Supaya Hendra ikut bergerak bersama.
Ekspresi Hendra berubah dari resek menjadi sumringah.
Sesaat setelah berjalan beberapa langkah lebih jauh. Aruna kembali berlari kebelakang mendekati teman-temannya dan kak Adit. Sepertinya gadis itu minta maaf dan titip teman-temannya pada kak Adit. Dasar Aruna, gadis ini kadang terlalu bertanggungjawab.
Setelah kembali didekat Hendra. Pria itu memintanya naik lift bersama. Lift yang tidak diperkenankan untuknya tadi, kini bebas dia naiki.
"Mengapa lantai 7?". Aruna tidak mengerti. Tadi dia menyerahkan pekerjaan pada seorang perempuan di lantai 5.
"Karena aku butuh makan siang". Jawab CEO dingin.
"Huh.. ". Aruna membuang nafas lelah.
Ah' Aruna mengingatkan sesuatu. Dulu dia berdiri ditempat ini dan memandangi kaca yang sama. Perasaannya kala itu antara takut dan terkagum-kagum dengan visual Hendra. Dan sekarang jauh berbeda. Dia cenderung kesal dan lelah menghadapi sifatnya.
"Makan, juga bagian dari jadwalku". Jelas Hendra. Menangkap raut muka Aruna.
Entah mengapa Hendra menyodorkan lengan kirinya ketika pintu lift akan terbuka, Aruna mengabaikan.
"Kamu berada di lingkungan kerja ku, alangkah baiknya kalau kita terlihat mesra karena sebentar lagi kita akan menikah". Hendra menatapnya seakan berkata 'lakukan'.
Ungkapan Hendra terasa menghimpit d**a Aruna. Di ingatkan bahwa dia akan menikah membuatnya tertekan. Berakhir sebagai seseorang yang disuruh-suruh pria ini?.
"Ga' mau".
"Apa?". Hendra terkejut dengan penolakan Aruna.
"Aku ga' mau". Mungkin ke depan Aruna tidak punya hak menolak, tapi sekarang dirinya masih miliknya sendiri.
Ketika pintu lift terbuka. Hendra tidak sabaran, Menyerobot telapak tangan Aruna. Menggenggamnya dan berjalan penuh emosi. Tidak menyadari bahwa langkah kakinya terlalu cepat untuk gadis mungil Asia tenggara seperti Aruna.
"Jangan terlalu cepat kaki ku masih sakit". Keluh Aruna.
Sekejap Hendra melambat, dia berupaya keras menyamakan ritme dan lebar langkah Aruna. Entah dari mana perasaan hangat muncul mencairkan hati. Bersama dengan genggaman tangannya untuk Aruna dan ritme jalan beriringan. Hendra sesekali melirik gadis mungil disampingnya dengan rasa bangga.
Aruna sempat memalingkan wajahnya menatap pintu ukir Jepara. Tempat pertemuan keluarga. Kali kedua dia bertemu Hendra. Saat ini adalah pertemuan mereka ke 6, tapi rasanya sudah banyak hal yang terlewati bersama.
"Kamu ingin makan disitu?". Hendra menawarkan Aruna ruang makan di balik pintu Jepara.
"Tidak.. tidak ingin". Aruna mengambil langkah lebih dahulu. Menarik tangan Hendra dengan gerakan cepat. Pria itu menikmatinya, segala kehendak menjauhi gadis ini lenyap seketika.
***
"Sekarang apa lagi?!". Hendra sudah menaruh beberapa potongan daging di atas piring Aruna. Gadis ini tidak menunjukkan nafsu makan.
"Kau marah?, meminta mu makan bersama ku". Pria ini mulai tidak nyaman dengan muka masam Aruna.
"Apa kau ingin makan ditempat unik, seperti Goldstar Cave".
_Alih-alih menikmati hidangan bintang lima mengapa dia lebih ceria makan di tempat foto seperti itu?!_ Hendra menyindirnya karena tidak tahan.
Aha, Aruna menangkap sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan Hendra.
"Seorang penguntit harusnya menyembunyikan identitas". Sentilan Aruna, memicu wajah panik Hendra.
"Aku sudah cukup baik, tidak pernah mempersoalkan perilaku absrud tuan muda yang hampir membuatku celaka, 2 KALI". Aruna mengacungkan 2 jarinya, memberi tekanan pada Hendra. Lelaki yang membuatnya melompat dari gerbang kereta, siapa lagi kalau bukan ulah Hendra.
"Si.. si.apa yang menguntit mu". Hendra kelabakan, pria itu memutar otak memikirkan cara bagaimana menghentikan kecurigaan Aruna.
"Ah' lihat ini". Seolah menemukan jawaban, Hendra menunjukan sebuah foto i********:. Itu IG Damar meng-upload bayangan hitam perempuan, Damar menangkap siluetnya ketika Aruna mengamati ke unikan salah satu cafe di Bandung.
Teman Aruna saja belum tentu mengenalinya. Bagaimana bisa Hendra begitu detail menemukan bahwa siluet itu milik Aruna. Tapi, yang lebih menggelikan ternyata pria ini follower Damar.
"Hahaha". Aruna tidak bisa menyembunyikan kegeliannya.
"Kau follower Damar??". Todong Aruna.
"A.. aku.. hanya penasaran bagaimana kehidupan calon istriku dengan teman-temanya". Hendra menyusun kata acak semampunya.
_Dia?! kenapa tidak menyebutku rekan kerja lagi?_ Batin Aruna.
"Dan lagi, aku juga perlu tahu.. apa dia punya pacar atau tidak". Pria itu mengatur raut mukanya agar terkesan galak. Sayang, kelakuannya makin kelihatan lucu.
"Tepat Sekali!!. Kau terjebak, kau benar-benar orang dibalik penguntit". Seru Aruna spontan mengacungkan sendoknya. Hendra terkejut, menjatuhkan gelas berisikan air.
"Prang". Dan semuanya menjadi kacau berantakan.
Alasan Hendra sungguh tidak tepat jika digunakan untuk menjawab pertanyaan 'kenapa dia memfollow Damar'. Alasan itu lebih masuk akal difungsikan sebagai latarbelakang seseorang memutuskan menguntit orang lain.
Dan Aruna menangkapnya dengan cerdas. Matanya menatap aneh Hendra. Pria itu tidak bisa berkutik.
_Argh.. bodoh!! bodoh sekali aku!_
"Kriiiiing…!". Mengangkat handphone adalah perilaku tepat dan paling natural saat ini, alibi Hendra untuk melarikan diri dari situasi mati kutu.
_Wah, kau berdering tepat waktu_ Dia hampir tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia menerima panggilan Surya.
"Hendra!!, Kau dimana?!". Surya panik.
"Aku sedang makan ada apa?".
"Tim CorSec (Corporate Secretary) kewalahan menerima panggilan dari para wartawan dan rekan bisnis kita". Terdengar Suara bising dari ruang tempat Surya telepon.
"IG mu dibanjir komentar dan DM". Tambah Surya. (i********: official Hendra yang dikelola kantor)
"Apa yang kau lakukan di pesta Baskoro". Sekertaris itu hampir membentak atasnya.
_Ah' apa yang aku lakukan??_
"Tunggu sebentar aku segera kembali". Hendra mengeluarkan sesuatu dari dompet. Raut mukanya berubah serius.
"Dengarkan aku, kali ini aku belum tentu bisa membantumu". Suara Surya bergetar.
"Sekertaris kakek mu memintaku menemuinya".
"Apa!!". Hendra menyerahkan kartu berwarna platinum, lalu menyebutkan beberapa digit angka kepada Aruna. Setelah dirinya kesulitan menemukan bolpoin.
"Gunakan ini!, Ingat 220692". Pria itu mengulangnya dua kali.
"220692". Sebelum menghilang, tanpa sempat mengucapkan kata pamit pada Aruna.