Ku Mohon Aruna

1564 Words
"Dek.. kok baru pulang?". Panggilan kak Alia di abaikan begitu saja. Si bungsu memilih berlari tanpa melihat tiga pasang mata yang mengawasinya. Anantha berusaha mengejar adiknya. Berharap Aruna bisa menjelaskan mengapa dia pulang selarut ini. Pukul 11.48, jam dinding di rumah itu sudah kesekian kali dilirik oleh seluruh anggota keluarga. "Anantha biarkan adikmu istirahat!". Ayah Lesmana memperingatkan putranya. Ayah dan anak saling menatap dengan aura permusuhan. Aruna berhasil lolos dan menutup pintu secepatnya. Gadis itu menghabiskan malam ini dengan jalan-jalan bersama Damar. Sekedar makan nasi goreng di pinggiran trotoar dan berburu bantal tanpa hasil. Terduduk sebentar di ranjang kemudian bangkit kembali dan mulai membersihkan diri. "Tok tok tok". Sekali lagi pintu kamar diketok kakaknya. "Dek buka pintunya? Kamu sudah makan?". Suara Alia kembali terdengar. "Alia ayah bilang apa? Biarkan adik istirahat! Kalian bisa bertanya apa pun besok pagi!". Suara ayah meminta dengan serius pada putrinya. "Apa ayah tidak khawatir? Aruna baru pertama kali seperti ini?". Alia tidak mau kalah dengan statement ayah. "Ayah melakukan ini karena ayah sangat khawatir". Ada nada kemarahan pada ucapan ayah Lesmana. Kericuhan seperti ini sudah terjadi selama 3 hari berturut-turut. Dan Aruna masih konsisten memilih bersembunyi di kamarnya. Aruna mulai memasuki kamar mandi dan membasahi tubuhnya. Rintik air dari shower, menghantarkan tetesan di pelupuk mata. Kali ini dia tidak tahan. Gadis itu tersungkur di bawah dan menangis sesenggukan, sendirian. *** "Jangan lupa, aku mengirim mu ke California bukan untuk menjadi sahabatnya". Pria tua membuat bulu kuduk sekertaris pewaris Djoyodiningrat berdiri. Dia hanya bisa terdiam tanpa balas. "Bagaimana bisa kau membiarkannya berada dalam situasi ini". Sekali lagi mata tua Wiryo menatap penuh tekanan pada lawan bicaranya. "Maaf, saya lalai. Saya.. ". Surya belum selesai menjelaskan. "Yah.. Aku tahu, ini salahnya sendiri (dia sedang tidak bersamamu, jadi itu kebodohannya sendiri)". Wiryo memotong ucapan. "Ambilkan yang aku minta tadi!". Seorang asisten sigap mengambil tagihan pengobatan Hendra. "Mengapa Hendra memerlukan pengobatan ini". Wiryo menyodorkan kertas putih itu tepat di atas meja depan Surya berdiri. Antara Surya dan Presdir, dibatasi sebuah meja kerja berbahan kayu jati. Surya melirik sekertaris Wiryo, berharap menemukan kode bantuan. Dan sekertaris Wiryo melempar tatapan dengan pesan tersembunyi. Seolah berbisik 'percuma disembunyikan dia sudah tahu banyak'. "Tuan muda tiba-tiba pingsan". Jawab Surya penuh keraguan. "Apa perempuan itu yang membuatnya pingsan". Wiryo seolah tahu, Hendra pingsan dikarenakan post traumatic disorder yang dia derita. Surya kembali mencuri tanya melalui mata sekertaris kakek Djoyodiningrat. Sekertaris itu tampak keberatan sembari mengekpresikan ungkapan 'aku tidak tahu, jangan tanya lagi'. "Apa dia begitu menginginkan perempuan itu sampai mengabaikan traumanya". Wiryo mendesak dengan persepsi salah. "Bukan.. bukan Tania penyebabnya". Surya berupaya meluruskan. Mendengar ucapan Surya, kening Wiryo mengerut. "Lalu?". Dia meminta informasi lebih. "Nona Aruna yang pertama kali menemukan tuan muda tersungkur didekat ranjang tempat nona istirahat". Surya menyusun kata dengan hati-hati. "Apa? Bagaimana itu bisa terjadi?". Opa Wiryo kelihatan sangat penasaran. "Tuan muda meminta saya membeli Mension untuknya, kami belum sempat merenovasi ketika tuan muda memutuskan mengundang nona Aruna. Jadi ada sedikit kecelakaan hingga nona kurang enak badan dan butuh istirahat". Surya mengigit bibirnya, kebingungan. Apakah dia perlu menjelaskan sejauh ini?. "Lanjutkan". Wiryo mendesak. "Sepertinya tuan muda pingsan ketika berniat membangunkan nona Aruna". Tambah Surya. Lelaki tua itu merenung sejenak. Mengingatkan ungkapan Diana yang dia temui tempo hari. "Aku perlu tahu siapa perempuan yang membuatnya pingsan?. Sepertinya aku memiliki firasat baik". "Baiklah, segera kembali padanya dan bantu dia menyelesaikan masalah ini". Wiryo memberi instruksi yang mengejutkan. Beberapa menit lalu dia sengaja memisahkan Surya dengan cucunya, agar lelaki bermata biru itu terpuruk sendirian bersama masalahnya. "Ikut aku bro". Sekertaris Wiryo tersenyum menyeringai mengantarkan Surya. "Cih, jangan sentuh pundak ku". Surya tak mau kelihatan bersahabat, mereka berdua selalu bersaing. "2-0". Bisik Andos, lelaki Batak berusia 40 tahun. Dia tidak memiliki keahlian tentang analisis bisnis maupun marketing seperti Surya. Namun, insting pria ini dalam menyelesaikan masalah seolah punya level beberapa tingkatan di atas Surya. Andos mantan anggota penyidik polri yang memilih menanggalkan jabatannya setelah 10 tahun bertugas. Memang tidak bisa dianggap enteng. Memilih meninggal kesatuan karena kecewa berat setelah diberhentikannya kasus yang dia tangani akibat domino politik kala itu. Surya kalah 2 kali, pertama ketika dia mencari cara membebaskan Hendra dari perjanjian pernikahan yang di paksakan Opa Wiryo. Dan hari ini kekalahan keduanya. "Jika kau kalah 3 kali, sebaiknya kau memohon padaku untuk memberikan les privat". Pria itu suka sekali melihat ekspresi jengkel Surya. "Lihat saja, aku akan menangkan kasus ini besok". Surya menirukan gaya Hendra, menantang sekertaris kakek Wiryo. "Ah, kau ini masih saja lemah. Kasus ini sudah selesai". Serunya Andos santai. "Menikahlah supaya otakmu tambah cemerlang". Hinaan yang tiap saat Andos lontarkan. "Aku punya saran untukmu. Jangan terlalu bersahabat dengan atasan mu, supaya kau tidak terbelenggu". Andos kembali menepuk bahu Surya. Saran sebagai kakak tingkat pada adiknya. "Hentikan". Surya merasa di remehkan tiap kali mendapat tepukan bahu dari Andos. "Beri tahu tuan muda mu, gejolak internal karyawan hotel sudah kami selesaikan". Pernyataan Andos menimbulkan tanda tanya besar di otak Surya. Bagaimana caranya? "Hah". Andos menangkap ekspresi itu. "Kita buatkan reservasi khusus (palsu) buat artis itu, sehingga pada malam kejadian dia seolah-olah berada di kamar sebelah. Bukan kamar pribadi tuan muda mu". Andos menjelaskan enteng. _Ah aku benar-benar kalah_ bisik Surya pada dirinya. "Kau tampaknya belum paham!?". Surya tidak menjawab merasa butuh tutor pembimbing. "Tidak akan ada karyawan yang berani mengungkap, karena bukti resminya perempuan itu memesan kamar lain". Ungkapan Andos menimbulkan pertanyaan 'Oh begitu'. "Isu semacam ini akan segera sirna dan mereka kembali bekerja seperti biasa. Perhatikan orang-orang yang didalam sebelum mengurusi masalah eksternal". Pria itu seolah memberikan wejangan. "Oh iya, sampaikan pula padanya". Terhenti mengingat. "Siapa nama perempuan itu?". "Tania". Jawab Surya. "Ya ya.. Tania. Dia segera berangkat keluar negri melanjutkan study. Itu jalan terbaik. Reputasinya sedang hancur sekarang. Jika dia kembali ke dunia hiburan nasibnya akan lebih buruk lagi". Pria itu menjelaskan. *** "Brank. Brank. Brank...!!". Suara gedoran gerbang keluarga Lesmana terdengar nyaring hingga lantai 2. "Aruna.. Aruna.. ini aku Hendra.. tolong keluarlah.. ". Teriakan penuh harap sesekali terdengar seolah meyakinkan penghuni di dalam. "Nona.. nona Aruna.. percayalah pada kami.. !!". Sekertaris Hendra dengan setia turut membujuk. "Hai kalian, sampai kapan akan bertahan. Pulanglah.. tidak ada gunanya kalian berteriak-teriak seperti itu!!". Kak Anantha dan Alia berdiri dibalik gerbang yang menjulang tinggi tertutup. Menyisakan lubang kotak ditengah-tengah, Sebesar kepalan tangan pria dewasa. Biasanya di gunakan para satpam untuk membuka kunci. Dan memeriksa tamu yang datang. Satpam rumah keluarga itu ikut tegang berdiri kaku memegangi gerbang sembari berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Dia tahu yang di luar siapa. Tapi dia tidak bisa mengabaikan dua anak majikanya yang berdiri angkuh menolak permintaan apapun yang di lontarkan lelaki di luar. "Aruna.. aku tidak akan pergi sebelum menemui mu.. keluarlah aku hanya butuh bicara sebentar". Suara Hendra mengabaikan penolakan kakak-kakak Aruna. Dia terus fokus memanggil nama tunangannya. Entah bagaimana ceritanya pria itu mempertaruhkan harga diri demi menemui gadis kecil yang menjadi kunci peredam masalah. Kurang dari 10 jam. Hendra harus mampu menaklukkan kekacauan yang terjadi, atau semua kerja kerasnya lenyap sia-sia. Setelah diskusi panjang semalam bersama timnya mereka memutuskan menggunakan strategi berbeda. Berupaya membuat publik tersentuh melalui kepercayaan pasangan adalah cara ampuh membuat semua orang terkesan. Jika ada yang masih ingat bagaimana vokalis salah satu band ternama mampu menghadapi rumor buruk ketika dia mencalonkan diri menjadi gurbernur?. Rumor panas tentang kedekatan dirinya dengan sesama artis yang sudah menikah. Istrinya selalu tampil lemah lembut mempercayai suaminya, padahal spekulasi yang di bangun oleh lawan begitu gencar. Isu itu hilang bersama kemenangan sang vokalis pada pencalonannya, berkat dukungan dan kepercayaan istri. Strategi itu perlu di coba. Dan Hendra tidak akan mundur kali ini. Sekarang dia siap mengorbankan apapun termasuk harga dirinya. "Aruna.. kumohon.. beri aku kesempatan". "Brank.. Brank.. Brank!!". Hendra mulai lelah tapi dia tidak akan mengurungkan niatnya. Sampai berjumpa dengan Aruna. Ada rasa lain selain tujuannya menyelesaikan masalah. Entah apa itu?. Rasa itu mendorongnya ingin menatap wajah Aruna. "Yang kalian lakukan sia-sia.. pulang saja tuan muda". Alia melempar sindiran. Dua kakak Aruna bergantian menguji kesabaran Hendra dan skertarisnya. Di dalam rumah, hal yang sama terjadi. Kepala keluarga beserta istrinya terkunci di kamarnya sendiri. Pelaku tindakan ini tentu saja dua anak yang sedang berdiri diluar. "Cepat cari kunci cadangan". Perintah Lesmana digaungkan berkali-kali. Membuat pembantu rumah tangga ikut panik. Mencoba puluhan kunci cadangan yang beradu dalam satu wadah. Pembantu rumah tangga lainya juga sedang berusaha membuka pintu kamar si bungsu. "Non Aruna.. bangun.. bangun.. non.. ". Seorang asisten rumah tangga berusaha membangunkan Aruna setelah susah payah menemukan kunci pintu kamar Aruna. "Ada apa mbak Linda..". Gadis itu tidur dini hari, dia bahkan tidak mendengar suara keributan diluar. Masih berusaha mengumpulkan kesadaran. "Ah' Akhirnya". Ungkapan ayah Lesmana penuh kelegaan bisa keluar dari kamar. Menyusuri tangga dan segera menerobos masuk ke kamar putri kecilnya. "Ayo sayang ikut ayah, kita hentikan keributan dibawah. Kakak mu benar-benar keterlaluan". Pria itu menuntun putrinya yang masih mengenakan piyama tidur dan rambut terurai. Sembari mengikuti ayahnya langkah demi langkah. Aruna baru menyadari, terdengar suara seseorang yang terasa tidak asing ditelinga. Terus memanggil-manggil namanya. "Aruna.. Aruna.. ku mohon.. ku mohon... Keluarlah Aruna". Suara itu mulai putus asa. Aruna berjalan perlahan di iringi ayahnya. Berusaha memahami situasi. "Hendra lihat, ada nona Aruna, berdiri dibelakang". Surya memberi kesempatan atasannya mengintip gadis kecil yang diteriakkan namanya selama dua jam. Hendra segera menyambut, membuka matanya lebar-lebar, menatap Aruna penuh semangat dari lubang sebesar kepalan tangan. Kehadiran gadis itu membawa magnet tersendiri. Semangatnya kembali pulih, bersama dengan perasaan hangat membuncah di d**a.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD