Chapter 18

1273 Words
Liliana pulang ke rumah dengan wajah yang sangat kesal. Ketika turun dari mobil ia bergegas masuk ke dalam rumah dengan sepatu hak tingginya yang menimbulkan bunyi berisik. Para asisten rumah tangganya yang sedang merumpi buru-buru berpencar ketika mereka mendengar bunyi sepatu Liliana yang menggema di sepanjang lorong masuk rumahnya. Liliana berhenti dan menatap para asisten rumah tangganya dengan nyalang. Ada yang sedang melap piring, ada yang sedang membersihkan kaca dan ada yang sedang menyetrika tumpukan baju yang sudah kering. "Bawakan aku teh seperti biasanya ke kamarku." kata Liliana pelan dan dingin lalu ia kembali melangkahkan kakinya menapaki tangga. Para asisten rumah tangga itu terburu-buru menyiapkan teh untuk Liliana segera. Naomi hanya memandang punggung Mamanya dengan napas panjang. Ketika para asisten rumah tangga itu berebut tidak mau mengantarkan teh itu ke Liliana karena takut dipecat, Naomi maju ke meja dapur milk keluarganya. "Ada apa?" tanya Naomi. Para asisten rumah tangganya menunduk dan saling pandang teman-temannya dengan bingung. Naomi memerhartikan ketiganya dengan baik-baik lalu kembali berkata, "Sini tehnya, biar aku yang antar." kata Naomi. Satu dari ketiga pelayan tersebut akhirnya mendekati Naomi dan menyerahkan teh itu kepadanya. Naomi menerima teh itu dan membawanya ke kamar Ibunya segera. Ia juga bisa mendengar helaan napas lega dari para asisten rumah tangganya barusan. Naomi mengetuk pintu kamar Ibunya dan tak berselang lama ada suara dari dalam yang menyahutnya untuk masuk. Naomi memutar kenop pintu dan mendorong pintu dengan kakinya lalu memasuki kamar Ibunya. Terlihat Ibunya sedang duduk santai di sofa dengan kaki lurus dan kepala yang bersandar pada tumpukan batal. Naomi mendekati Ibunya yang menatapnya dengan heran sampai Naomi berhasil meletakkan cangkir itu di atas meja. "Kemana para kurcaci itu kok kamu yang antar tehnya?" tanya Liliana pelan seraya meraih tehnya. "Lagi sibuk di dapur." ujar Naomi. "Byur!!!" Liliana menyemprot teh yang telah ia minum begitu saja, membuat Naomi kaget bukan main. "Kenapa, Ma?" tanya Naomi heran dengan mata yang cemas. "Sialan para kurcaci itu! Minta dipecat rupanya!" kata Liliana marah. "Kenapa sih, Ma?" tanya Naomi. "Coba aja kamu minum tehnya!" pinta Liliana, akhirnya Naomi meraih gelas itu dan meminum teh tersebut, ia lalu melepehkannya begitu saja. "Asin banget." kata Naomi. Liliana melirik kesal lalu dengan segera ia melangkah keluar kamarnya dan bergegas untuk mendatangi para asisten rumah tangganya. Dengan sepatu tinggi yang berdenting kuat hingga menimbulkan bunyi menggema di seluruh ruangan, para asisten rumah tangga itu saling tatap dengan bingung. Mereka hapal jika sang majikan berjalan cepat dan suara sepatunya menggelegar itu tandanya ia marah. Ketiga asisten rumah tangga itu tak ingin di pecat. Meski sang majikan suka marah-marah, tapi gaji yang diberikan kepada mereka sangat fantastis. Mereka bertiga bahkan terpaksa betah tinggal di rumah mewah itu karena gaji yang besar tersebut. "Siapa yang buatkan saya teh?" tanya Liliana sedikit nyaring. Tiga asisten rumah tangganya yang khusus bekerja di dapur dan kamar mandi saling menatap takut. Liliana mengedarkan pandangannya, menatap satu per satu asisten rumah tangganya tersebut dengan tajam dan menusuk. "Mama ..." panggil Naomi yang berhasil menyusul ke Mamanya. "Siapa?!" teriak Liliana sekali lagi yang membuat tiga asistennya sontak memandangnya dengan tatapan kaget dan takut. Para asisten itu takut jika mereka dipecat hari ini. "Aku, Ma!" kata Naomi pada Liliana, Liliana menoleh dan memandang Naomi dengan tatapan tak menusuk sekali. "Aku, bukan mereka!" kata Naomi lagi. "Jangan coba-coba lindungi mereka, Neo!" seru Liliana dengan mata yang berapi-api. Naomi menarik napas dalam-dalam. "Mama kesel sama Kak Abra, kenapa harus mereka jadi sasaran?" tanya Naomi. "Kamu gak usah sok tahu!" "Mana pikir Naomi gak tahu kalau mama takut menantu mama kak Clara yang bakalan nguasai harta kak Abra, kan?" tanya Naomi. "Diam, Neo!" "Mama bener-bener lupa bahwa kak Abra bisa sekaya sekarang itu karena mama sudah buang dia!" "Plakk!" tamparan itu tepat di pipi kiri Naomi. "Lancang! Kamu ngomong lagi, silahkan angkat kaki dari rumah ini!" kata Liliana. Naomi memegang pipi yang telah Liliana tampar itu, ia kesal dengan sikap Mamanya dan memilih pergi berlari menapaki tangga rumahnya menuju lantai dua. "Jangan buat kesalahan lagi atau kalian semua angkat kaki dari rumah ini!" ancam Liliana pada para asisten rumah tangganya. "Ba- Baik nyonya." kata ketiganya gugup. Liliana melangkah pergi dari area dapur dan cucian itu dengan kemarahan yang tertahan. Belum pernah sekalipun ia menampar Naomi, dan kini ia lakukan hal itu. Jika ia tak melakukannya, maka para asisten rumah tangganya akan meremehkannya, tidak ada Ibu yang suka dilawan anaknya dan tidak ada Ibu yang tega melukai anaknya jika bukan karena keterpaksaan. Langkah kaki Liliana terasa berat menapaki anak tangga. Anak yang ia lahirkan dari hasil cinta pertamanya, Abra telah ia lukai dan sebenarnya ia ingin menebus kesalahannya, tetapi rasa-rasanya itu tak mungkin, hati Abra sudah terlanjur sakit padanya. Liliana telah banyak melukai Abra yang membuat anak itu kini memandangnya dengan tatapan bahwa dirinya hanya patut dihormati saja. Tak ada pelukan hangat seperti dulu. Karena itu Liliana ingin tahu siapa Gadis dan apakah perempuan itu sudah pantas bersanding dengan Abra? *** "Mau honeymoon ke mana, Dis?" tanya Clara tiba-tiba setelah mereka berdua menceritakan banyak kejadian lucu di pernikahan Clara. Wajah Gadis terlihat bingung dengan pertanyaan Clara. Ia menoleh ke Abra yang sedang berbincang-bincang dengan Ibrahim. "Kalo lo mau ke mana?" tanya Gadis. "Lombok. Lo tahu sendiri kerjaan gus gak bisa ditinggal lama-lama." kata Clara mengeluh. "Bagus tuh." "Ke sana bareng a?" "Besok gue udah masuk kerja, Ra." kata Gadis. "What? Masak cuti cuma dua hari?" tanya Clara tak percaya. Ya kan aslinya gue cuti cuma buat nikahannya lo, Ra, bukan nikahan gue. "Karena nikah gue serba dadakan, Ra. Jadi gak bisa cuti aslinya." kata Gadis lagi. "Jablai donk si Abra ..." kata Clara dengan tawa senang. Abra hanya memandangnya sekilas tanpa ekspresi, Gadis menatap Abra dengan nyengir. "Udahan ya, gue mo pamit." kata Gadis ke Clara. Clara mengangguk. Abra berdiri begitupun Ibrahim yang duduk di sampingnya. "Cepet sembuh ya, sayangku ..." kata Gadis seraya memeluk Clara penuh sayang. "Baju-baju lo ada di kontrakan." kata Clara. "Eh, gue bakar aja ya, lo kan udah jadi nyonya besar." "Eh, eh, eh, no! Ntar gue ambil!" kata Gadis. Gadis dan Abra beranjak pergi, sebelum membuka pintu, Gadis melambai lagi ke arah Clara yang tersenyum senang. Gadis sangat bersyukur bahwa Clara dan Ibrahim baik-baik saja. "Tante, Gadis pamit ya ..." kata Gadis saat ia sudah keluar dan mendapati Ibu Clara sedang memandang James. "Eh, nak Gadis, tuh cowok siapa? Udah punya pacar belum? Kalau belum mau tante jodohkan ke Nita." kata perempuan paruh baya itu setengah berbisik sembari masih menatap James yang tegap dan tampan. "Oh itu, pengawal suami saya. Kabarnya sih udah deket sama perempuan, te, enam bulan lagi kayaknya entah mau nikah, entah mau tunangan." kata Gadis yang langsung ditanggapi dengan tatapan tajam Abra. Enam bulan lagi kontrak mereka habis dan Gadis benar-benar mengincar James yang memukau matanya atau ia hanya suka melihat ekspresi wajah Abra yang seperti kebakaran jenggot itu? "Sayang sekali ..." gumam perempuan paruh baya itu kecewa. "Kalo gitu saya dan suami pamit ya, tante, assalammualaikum." kata Gadis dan perempuan paruh baya itu mengangguk ke arahnya saat menjawab salamnya. Abra dan Gadis berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Sepanjang perjalanan keluar rumah sakit, semua mata perempuan muda dan tua, perawat perempuan, dokter perempuan mencuri pandang ke arah Abra yang tampan, tinggi, gagah dan mempesona itu. Sedang Abra memilih tak peduli dengan tatapan orang-orang tersebut. Gadia memilih bertindak. Ia melingkarkan tangannya di lengan Abra yang sontak membuat Abra menoleh dan menatapnya heran. "Dari pada lo gendong gue lagi kek tadi di rumah. Gue pegangan ke lo aja karena jujur kaki gue masih kesemutan." kata Gadis membual. Padahal sebenarnya ia jengkel melihat orang-orang itu yang melirik Abra penuh minat. Abra hanya tersenyum kecil melihat Gadis yang melingkarkan tangannya di lengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD