Chapter 19

1038 Words
Gadis dan Abra keluar dari rumah sakit langsung menuju rumah Liliana setelah mereka melakukan beberapa latihan sederhana. "Kita ketemu, di?" tanya Abra mencoba mengulang latihan mereka lagi. "London." "Tanggal ketemuan kita?" "Tanggal 10 dan tanggal 15 kau ke Maroko." "Kita bertemu kali kedua di?" "Maroko tapi cuma sehari." "Apa kita balik ke Indonesia sama-sama?" "Tidak. Aku kembali tanggal enam belas dan kau masih seminggu lagi karena ada investor luar negeri yang harus kau datangi." "Saat kembali apa aku menemuimu lagi?" "Ya, tentu, kau ke rumah sakit. Membuntutiku seperti layaknya penguntit." kata Gadis yang membuat Abra menoleh dan menatapnya heran. "Seharusnya sampai pada aku ke rumah sakit saja. Gak perlu ada kalimat tambahan membuntutiku seperti layaknya penguntit." protes Abra tak terima. "Ya Tuhan, Abra! Semua cowok bucin juga gitu. Biar lebih afdol acting kita!" kata Gadis berapi-api. "Gue bukan cowok bucin, Dis!" "Makanya sekarang belajar jadi Bucin..." lanjut Gadis dengan nyengir. "Nggak. Gak ada kalimat selanjutnya." "Trus kalo lo gak bucin ke gue, ngapain bolak-balik ke rumah sakit?" "Pedekate ala high classlah." "Kasih contoh ke gue pedekate ala lo itu." ujar Gadis. "Ngajakin makan siang or makan malam." "Yaelah kirain apaan." "Emang lo pikir apaan?" tanya Abra seraya memandangnya. "Embel-embelnya high class, nyatanya cuma makan malam or makan siang." "Lah terus?" "Gue pikir high class itu kayak lo bawa helikopter pribadi ke atap rumah sakit kayak film Descendats gitu, trus gue naik dan kita keliling Jakarta. Itu baru high class." "Otak lo isinya drama korea melulu. This is the real life." "Gak jauh beda, ini apa yang kita lakuin, drama ke ibu lo, kan?" "Terserah deh apa mau lo dan apa yang bakalan lo omongin ntar ke nyokap gue. Asal tanggal semuanya udah tersimpan di memori lo." ujar Abra. "Ini kita gak nginep di rumah Mama lo, kah Bra?" tanya Gadis enggan. "Berdoa aja semoga nggak." jawab Abra yang juga enggan. "Berapa gue punya adik tiri?" tanya Abra. "Tiga. Yang paling kecil si Johnatan itu udah nikah, nama istrinya Claire." "Siapa Claire." "Mantan lo yang udah nyampakkin lo." Abra menoleh ke Gadis dengan matanya yang biru indah itu. "Apa lagi? Masak gue salah lagi? Masak harus gue bilang 'buang' lo?" "Ninggalin gue. Itu kayaknya lebih enak didenger." kata Abra. "Oke. Oke." jawab Gadis acuh tak acuh. "Padahal sama aja." gumam Gadis. "Ya kalo buat orang yang high quality jomblo macem lo ini semua rasanya flatt, sama aja. Kalau gue yang udah banyak banget cewek yang ngantri, beda donk. " kata Abra panjang lebar. Gadis menatapnya sebal. "Seharusnya lo bersyukur dapat cewek model kayak gue yang mikirnya 'masak suami gue, gue kasih bekas gue kelak kalo gue suka main cowok' " kata Gadis seraya memasukkan satu kacang bawang ke mulutnya. Demi mendengar hal itu Abra sampai menoleh takjub ke Gadis dan memandangnya cukup lama dengan tatapan yang sangat dalam. "Abra, Awas!!!" kata Gadis, Abra langsung kembali menoleh ke depan dan kaget saat ia melihat ada lelaki tua yang sedang mendorong gerobak makannya itu. Abra merem mobilnya secara dadakan dan hanya kurang beberapa inci saja mobilnya akan menabrak pak tua tersebut. Abra dan Gadis saling pandang dengan tatapan kaget sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk turun dan menghampiri pak tua itu yang juga terkejut. "Bapak gak pa-pa?" tanya Abra dengan wajah panik dan kekhawatiran yang tercetak jelas di wajahnya. Pria tua itu menatapnya dengan tatapan takut dan bingung. "Saya ..." pak tua itu terlihat meragu. "Duduk dulu, pak ..." Ajak Gadis seraya memapah pak tua itu untuk duduk di pinggir trotoar. Abra mendorong gerobak milik pak Tua itu ke sisi trotoar dan menepikan mobilnya agar tak menimbulkan kecelakaan. Sedang Gadis memberikan pak tua itu air mineral. Dari jauh Abra terlihat sedang memberikan isyarat kepada para pengawalnya untuk tak keluar dari mobil. Abra tak ingin ada berita heboh lagi besok. Abra duduk di trotoar sisi pak tua. Gadis terus memerhatikan Abra yang bagitu memerhatikan pak Tua. Berulang kali bahkan Abra mengajak lelaki tua itu bertanya manakah bagian tubuhnya yang sakit sehingga setidaknya ia bisa mengobatinya. Cukup lama Abra dan Gadis berada di sana, mengundang beberapa tatapan orang-orang yang lalu lalang. Abra menengok ke arah gerobak bakso milik lelaki tua itu dan menatap begitu banyak baksonya yang masih tersisa. "Pak ... Berapa total semua bakso itu kalau laku terjual?" tanya Abra. "Berapa, ya, den?" tanya lelaki tua itu balik seraya memandang bakso dan dagangannya. Beberapa hari ini baksonya banyak sisa jadi tak banyak uang yang ia bawa pulang ke rumah. Di rumah istrinya akan tersenyum sabar dan ikhlas menerima berapapun uang yang ia berikan meski ia tahu tak akan cukup untuk kebutuhan rumah tangganya tapi istrinya bahagia karena suaminya selalu memberikan berapapun bakso yang tersisa untuk anak yatim. Abra mengeluarkan dompetnya dan mengambil seluruh uang tunai yang ia miliki lalu memberikannya pada lelaki tua itu. Lelaki tua itu kaget dan bingung. "Ini untuk beli bakso semua yang ada pada rombong bakso bapak, tapi kurang tahu saya entah cukup atau tidak." kata Abra. "Tunggu di sini, saya pergi cari kantong plastik dulu." kata lelaki tua itu. "Tidak perlu pak, bapak boleh jual lagi baksonya atau memberikannya pada panti asuhan di sana." tunjuk Abra kepada bangunan besar namun terlihat tua itu. "Ini kartu nama saya. Bapak simpan aja, barang kali bapak ada sesuatu hal yang dibutuhkan, bapak tinggal hubungi saya, saya dan istri pamit, pak." kata Abra seraya mengulurkan tangannya ke Gadis. Gadis meraih tangan Abra dan berdiri lalu masuk ke dalam mobil dan mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju rumah Liliana. Sepanjang perjalanan Gadis terus menengok ke arah Abra, tadi adalah hal yang tak pernah Gadis duga sebelumnya. "Kenapa, Dis?" tanya Abra, Gadis terkesiap dari sikapnya yang memerhatikan Abra diam-diam. "Gue keren, kah?" "Hmmmm mulai deh, narsis! Lagiano ngelamunin apa sih kok sampai hampir nabrak gitu." "Lo." jawab Abra jujur. Mata mereka bertemu dan entah mengapa d**a Gadis kembali berdesir. "Gue gak ngelamun, tapi ngelihatin lo." jawab Abra yang membuat Gadis semakin salah tingkah dan memilih melihat ke depan. "Masih jauh rumah nyokap lo?" tanya Gadis mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Bentar lagi nyampek." "Siapa nama adik perempuan lo yang resek?" tanya Gadis. "Emily Maudy. Kenapa emang?" "Ah, enggak, kayak namanya gak asing aja gitu." "Jangan-jangan kalian emang kenal?" goda Abra jahil. Gadis tak berharap dugaan Abra benar adanya. Karena kalau benar, semuanya akan kacau, pikir Gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD