Bara Dan Kisya

1156 Words
Kisya menangis didalam taksi yang membawanya menjauh dari rumah orang tuanya. Airmatanya luruh begitu saja dengan deras begitu mobil tersebut melaju kencang membelah jalanan ibu kota pada hampir malam itu. "Maaf, Mbak?" sang sopir memberanikan untuk bertanya setelah hampir satu jam mereka berputar-putar mengelilingi kota Jakarta. Merasa iba juga karena si gadis di kursi penumpang tak kunjung berhenti menangis. "Mbak mau turun dimana? saya bingung," sang sopir akhirnya berbicara. Kisya menghentikan tangisnya, baru menyadari hal tersebut setelah beberapa lama. "Mm ... saya, ... nggak tahu harus kemana pak," ucap gadis itu dengan nada putus asa. Dia tak punya teman dekat, apalagi saudara. Kerabat keluarga mereka pun tak terlalu dikenalnya karena dirinya memang jarang ikut jika ada acara. Alasannya tetap sama, semua perhatian tetap tertuju kepada Kisya. Si sopirpun terdiam. Kemudian perhatian Kisya beralih saat mobil yang ditumpanginya hampir melewati sebuah hotel yang dia kenal. "Disini aja pak," katanya, dan dia bersiap untuk turun. "Baik mbak." kemudian mobil memasuki area hotel bintang lima tersebut. "Terimakasih pak." Kisya menyerahkan dua lembar uang pecahan 50, yang disisihkanya dari uang bulanan pemberian sang ayah, kemudian turun. Kisya bermaksud masuk kedalam lobby hotel yang terang benderang itu setelah taksi yang mengantarnya pergi. Namun dia berhenti diambang pintu ketika menyadari sesuatu. "Kenapa juga aku malah kesini?" gumamnya dalam hati. Dan segera saja Kisya memutar tubuh untuk keluar dari gedung tersebut. Namun dia tertegun saat mendapati sosok di pintu masuk yang sepertinya baru saja kembali. "Kisya?" Gadis itu terdiam. Bara berjalan mendekat dan menatap Kisya dengan raut sedikit terkejut. "Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam begini? kamu mau kemana?" dia melirik koper yang ditariknya seolah gadis itu akan pergi jauh. Kisya tak menjawab, tenggorokannya terasa seperti tercekat, membuatnya merasa sesak dan sakit dalam waktu yang bersamaan. "Ki?" ucap Bara lagi. Entah mengapa matanya tak bisa diajak kompromi. Lelehan air yang hangat meluncur begitu saja saat pria itu mendekat kepadanya. "Kamu kenapa?" tanya Bara dengan kening berkerut dan kedua alis tebalnya saling bertautan. Kemudian tangisnya pecah begitu saja tanpa dia mengucapkan sepatah kata. Dan tanpa banyak bicara pula, Bara segera menariknya kedalam pelukan. *** Sebuah kamar di lantai paling atas menjadi tempat peristirahatannya malam ini. Dan sebuah bantal menjadi alat pelampiasan kesedihannya, meski itu pun tetap tak mampu meredam isakan yang terus keluar dari mulutnya. Dengan sebuah kantung es mengompres pipinya yang agak membengkak karena tamparan Marwan beberapa saat sebelumnya. Sementara Bara hanya terduduk di tepi ranjang, memperhatikan dalam diam. "Mau minum?" pria itu menyodorkan segelas teh hangat kepadanya. Kisya bangkit dan meraih gelas tersebut kemudian menyesap isinya sedikit. "Mau makan?" tawar Bara lagi setelah meletakan gelas teh diatas nakas, namun Kisya menggelengkan kepala. "Mau bicara sekarang?" pria itu bertanya. Kisya terdiam sambil memeluk bantal dengan sebelah tangannya, sementara tangan lainnya tetap memegangi kantung es yangenempel di pipi, namun keadaannya sudah lebih tenang dari pada sebelumnya. Hanya sesekali saja isakan keluar dari mulutnya. "Baiklah kalau begitu. Istirahatlah, mungkin besok kamu mau bercerita," pria itu bangkit dan bermaksud pergi. "Aku nggak pernah merasa sesakit ini selama hidupku bersama mereka." Kisya akhirnya bersuara, seraya menyeka matanya yang masih basah. "Aku nggak pernah merasa sebegitu tidak berharganya seperti hari ini. Aku bisa mengalah dan menyerahkan semua yang aku punya untuk Mischa, tapi meminta maaf untuk kesalahan yang tidak aku lakukan? aku nggak bisa," katanya, dan lagi-lagi air mata mengalir di pipinya. "Aku hanya nggak mau makan bersama mereka, lalu kenapa itu menjadi masalah besar?" "Apa karena Mischa yang meminta, sehingga semua orang harus menuruti kemauannya? lalu dimana posisiku saat itu? apa kedudukanku tidak ada disana? apa aku tidak memiliki hak yang sama seperti dia? sehinga aku harus selalu mengalah pada apapun yang dia lakukan?" "Lalu aku ini siapa?" dan tangisnya kembali pecah. "Hey, ..." Bara segera kembali ke tempat duduknya semula. Dia menarik kepala Kisya dan menenggelamkannya dalam pelukan. "Ayah bilang seharusnya aku dibiarkan saja di panti asuhan, atau di jalan sekalian. Memangnya aku ini siapa? apa aku buka anaknya juga?" Kisya terus berbicara. "Kalau bukan anaknya, kenapa aku bisa berada disana? kenapa dia harus membawaku ke rumah itu kalau akhirnya harus begini? aku nggak minta dia untuk membawa aku pulang kok!" tubuhnya bergetar , dan tangisannya terus berlangsung. "Aku nggak pernah minta untuk dia bawa! lalu kenapa juga aku lahir?" "Ssshhhh, ... sudah." Bara menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut untuk menenangkannya. "Aku merasa jadi orang yang paling nggak diinginkan di dunia. Bahkan keluaragku saja nggak menganggap aku ada. Lalu aku harus bagaimana?" "Siapa bilang kamu nggak diinginkan?" Bara membingkai wajah Kisya dengan kedua tangannya. "Siapa yang bilang begitu, hum? coba katakan!" Napas Kisya tersengal-sengal. "Tidak ada yang mengatakan hal bodoh semacam itu." Bara menatap kedalam dua bola matanya yang masih tergenang. "Jika disana tidak ada yang menginginkanmu, maka akan selalu ada orang yang menginginkan kehadiranmu di tempat lain," ucapnya dengan suara yang tenang, membuat tangisan Kisya perlahan terhenti. "Seperti aku, yang akan selalu menginginkanmu." katanya, lalu dia menempelkan kening mereka berdua. "Jadi, berhentilah menangis dan jangan lagi merasa jika dirimu tidak berharga." "Bara!! Kenapa keluarga sendiri terasa seperti orang lain, tapi orang lain malah terasa seperti keluarga sendiri?" ucap Kisya sambil meremat kemeja yang menempel di tubuh pria itu. Bara menggelengkan kepala. "Aku bukan orang lain bagimu, aku adalah Bara-mu, dan kamu adalah Kisya-ku," jawab Bara, yang membuat gadis itu segera menghambur kedalam pelukannya. * * Marwan membeku setelah mendengarkan penjelasan dari dokter yang dia panggil begitu mengetahui keadaan Mischa, ketika putri sulungnya itu terdengar muntah-muntah hebat di kamar mandi di dalam kamarnya saat pagi hari. Yang awalnya dikira karena pengaruh obat yang dikonsumsinya selama ini, namun ke engganan Mischa untuk dibawa kerumah sakit menyebabkan pria itu memanggil dokter kepercayaan mereka. "Saya perkirakan usia kehamilannya sudah dua bulan," ucap sang dokter dengan meyakinkan. "Mustahil." Marwan bereaksi. Pernikahannya bahkan belum ada satu bulan. "Untuk lebih meyakinkan, sebaiknya Mischa dibawa kerumah sakit agar di lakukan pemeriksaan lanjutan," dokter menyarankan. Marwan menoleh kepada Sonya yang juga terdiam sambil menutup mulutnya. Perempuan itu tentulah sangat terkejut. "Ba-baik, dokter. Akan saya lakukan." Marwan menganggukan kepalanya. *** Ke empat orang itu sama-sama terdiam dengan pikirannya masing-masing. "Maaf, Ayah." Mischa seperti biasa, memasang wajah memelas saat orang tuanya terlihat hampir bereaksi. Marwan tak menjawab. Dia hanya terdiam dengan pikirannya yang berkelana entah kemana. Namun tiba-tiba saja ingatannya di penuhi oleh Kisya. "Mm ... ini di luar perkiraan." Arga tampak berusaha mencairkan suasana. Dia juga tak mengira hal ini akan terjadi, namun segalanya memang benar dia lakukan. Marwan menghela napasnya dalam-dalam. "Semuanya sudah terjadi bukan? dan kalian juga sudah menikah. Apa pun yang ingin ayah lakukan sepertinya tidak akan berguna." pria itu dengan nada kecewa. "Yang penting kamu mau bertanggung jawab terhadap kondisinya Mischa," lanjutnya yang kemudian bangkit dari kursinya. "Ayah ..." Mischa memanggilnya saat pria itu hendak pergi. "Ayah harus pergi bekerja. Sekarang semua tanggung jawab atas kamu Arga yang pegang. Ayah tidak akan mencampuri rumah tangga kalian," katanya dengan langkah lunglai keluar dari dalam rumahnya. "Kisya, dimana kamu?" batinnya, saat dia mulai merindukan anak itu. * * * Bersambung ... tap lovenya please!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD