Keluar Dari Rumah

1409 Words
"Kamu mau mampir?" gadis itu turun dari mobil Bara. "Sepertinya tidak bisa. Aku ada sedikit pekerjaan di hotel," jawab Bara yang kemudian menutup pintu mobilnya. "Baiklah kalau begitu." Kisya melangkah ke arah pintu pagar yang hanya setinggi d**a orang dewasa itu. "Ki?" panggil Bara kemudian. "Ya?" Kisya memutar tubuh. "Tolong pikirkan ajakanku." "Ajakan apa?" "Soal menikah." "Aku butuh waktu, Bara." "Dan aku butuh kamu." Kisya terkekeh sambil menutup mulut dengan tangannya. "Please," pria itu dengan pandangan penuh harap. "Baik, akan aku pikirkan." Kisya akhirnya mengiyakan. "Tapi jangan terlalu lama," ucap Bara lagi. "Kenapa?" "Aku nggak bisa menunggu terlalu lama. Kamu tahu, menunggu itu berat." Bara tertawa. "Iya, biar aku saja." Kisya pun ikut tertawa. "Ki!!" "Aku butuh waktu, Bara." "Berapa lama?" "Entahlah, satu tahun, dua tahun, atau ... "Terlalu lama," pria itu mendekat. "Kenapa kamu ingin sekali menikahi aku? mungkin saja aku ini orang yang tidak baik." Pria itu menggelengkan kepala. "Bukankah kamu ingin lepas dari keluargamu?" "Tapi bukan dengan menikah juga." "Lantas apa yang akan kamu lakukan?" "Aku baru lulus kuliah, mungkin aku akan bekerja. Dan setelah itu aku akan mencari cara agar segera bisa hidup mandiri." "Padahal aku menawarkan hal yang mudah." Kini Kisya yang menggelengkan kepala. "Aku tidak mau menggantungkan hidupku lagi kepada orang lain. Aku mau semuanya karena hasil jerih payahku. Agar aku tidak memiliki beban untuk selalu meuruti kemauan siapapun. Hanya aku, Bara." Pria itu terdiam. "Terimakasih, kamu sudah peduli. Tapi aku butuh waktu, untuk menyesuaikan semuanya, dan ini tidak mudah." Lalu Bara mengangguk-anggukan kepalanya. "Baklah, aku harus masuk." "Ya, benar. Aku juga harus pergi," sahut Bara. "Ya." Kemudian pria itu pun pergi. *** Kisya masuk ke dalam rumah saat waktu hampir malam, dan semua anggota keluarga berkumpul diruang makan. Membicarakan bayak hal dan saling melempar candaan. Benar-benar sudah seperti sebuah keluarga yang bahagia. Namun suasana hangat itu seketika berubah hening ketika Kisya masuk kedalam rumah. Dan dia hanya melewati ruang makan begitu saja. "Kisya?" suara Marwan terdengar memanggil, menghentikan langkah gadis itu yang telah menaiki tangga menuju ke lantai atas. "Ya?" Kisya mundur beberapa langkah hingga dia kembali ke dekat pintu ruang makan lalu menoleh. "Mau makan bersama? kami baru saja mulai." "Tidak yah, terimakasih." dia hendak kembali menaiki tangga. "Kisya?" panggil Marwan lagi. "Ya ayah?" Kisya kembali mundur. "Ayolah, kita makan malam bersama sesekali," pria itu menghampirinya. Gadis itu terdiam, karena tak biasanya sang ayah mengatakan hal tersebut, pria itu biasanya akan selalu acuh kepadanya walau mereka sedang berhadapan. "Ayolah Ki, kita makan sama-sama?" sahut Mischa dari ruang makan. Kisya melirik kepada kakaknya yang sedang menunggu. "Mischa sudah mengajakmu 'kan? ayolah, demi Mischa." ucap Marwan lagi. Kisya memejamkan mata sejenak, lagi-lagi demi Miacha. Bukan karena keinginan mereka ataupun karena dia dibutuhkan kehadirannya sebagai anggota keluarga. Tapi karena Mischa menginginkannya begitu. "Ayo Ki, kita ..." Sonya pun ikut bersuara. "Tidak, terimakasih." Kisya memotong ucapan ibunya, kemudian berlari melewati tangga ke arah kamar tidurnya dilantai dua. "Anak itu!" Marwan mengusap wajahnya kasar, dia tak tahu lagi bagaimana harus menghadapi anak bungsunya itu. Karena segalanya sudah dia lakukan, namun tetap saja Kisya jauh dari jangkauannya. "Maaf yah." Mischa dengan suara pelan dan raut sendu. "Kenapa kamu meminta maaf? bukan salahmu. Kisya hanya tidak bisa berempati pada apa yang sedang kita alami. Dia hanya memikirkan perasaannya sendiri," ucap Marwan. "Tapi ini semua berawal dari aku, karena aku yang memaksa dia untuk ... "Mischa, jangan diungkit lagi. Sudah bukan waktunya bagi kita untuk mengungkit hal itu lagi." Marwan mendekatinya. "Tapi semuanya karena aku yah," perempuan itu mulai terisak. "Tidak, Nak. Jangan selalu menyalahkan dirimu sendiri. Tidak ada hubungannya dengan ini." Namun Mischa semakin histeris, dia tak bisa lagi menahan tangisannya. Hal yang memang selalu terjadi di saat-saat seperti ini. "Mischa, ..." Sonya pun mendekatinya, seraya mengusap punggungnya dengan lembut. "Maaf Bu, maaf Ki!" Mischa berteriak, "Maafkan kakak, Ki!" teriaknya lagi. "Sudah, sudah. Jangan seperti ini." Arga merangkul pundaknya untuk membuatnya tenang. "Bawa Mischa ke atas, Arga." "Iya yah," pria itu membantunya untuk bangkit, "Ayo Mi, kita istirahat," katanya, seraya menggiring Mischa menuju tangga. Belum sampai mereka di tangga pertama, perempuan itu tiba-tiba saja terkulai lemas, dan dia tak sadarkan diri. "Mischa!" semua orang berteriak. *** "Sekarang lihat yang sudah kamu lakukan!" Marwan menarik Kisya setelah berhasil membuatnya membuka pintu kamarnya yang semula terkunci rapat. "Padahal Mischa hanya memintamu untuk makan bersama, tapi kamu malah membuatnya seperti ini karena penolakanmu!" pria itu dengan geram. Kisya mendelik, drama yang sama yang selama bertahun-tahun dia saksikan. Namun tak ada seorangpun diatara mereka yang menyadarinya selain dirinya. Semuanya mempercayai Mischa sepenuh hati. "Kisya!! kamu dengar?" Marwan kini berteriak. "Ya ayah," jawab gadis itu, datar. "Harus bagaimana ayah membuatmu mengerti? agar kamu tidak seperti ini, agar kamu merubah cara pandangmu terhadap kakakmu? Bagaimana lagi?" dia mengguncang bahu Kisya. "Kami berusaha menyamaratakan semuanya, tapi sulit karena kamu selalu tidak bisa menerima kenyataan ini." Kisya bergeming. "Kisya!! apa yang harus ayah lakukan?" dia kembali mengguncangkan bahu putri bungsunya itu. "Tidak perlu yah," gadis itu akhirnya buka suara. "Ayah tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya .... "Apa?" "Jangan pedulikan aku lagi setelah ini." "Apa Kisya?" Kisya mengangkat wajahnya. "Ayah tidak perlu melakukan apa-apa, karena selama ini juga memang tidak pernah melakukan apa-apa untukku. Hanya jangan pedulikan aku lagi, anggap aku tidak ada, dan akupun akan begitu. Seperti yang selama ini kalian lakukan. Dan lagi ... PLAKK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulusnya, sangat keras hingga membuat Kisya terhuyung kesamping. "Ayah!" Sonya berteriak. "Tidak tahu diri! aku bawa kau kerumah ini agar bisa tetap hidup, tapi apa balasanmu?" geram pria itu. "Ayah!" Sonya menghentikanya dari apa yang akan dia katakan. "Apa?" Kisya mengangkat wajahnya meskipun kepalanya terasa berdenging. "Tahu begini aku biarkan saja kau dipanti asuhan, atau dijalan sekalian," ucap pria itu lagi dengan amarah yang memuncak. "Aku hanya memintamu bersikap baik kepada kakakmu, dan itu tidaklah sulit. Tapi kau malah terus bersikap kurang ajar seperti ini." Kisya terdiam dengan bibir bergetar menahan tangis. Dan pikirannya yang menerka-nerka arti dari ucapan sang ayah. "Sekarang temui kakakmu dan minta maaflah kepadanya." Marwan tanpa meraba perasaan Kisya. "Aku tidak salah, lalu kenapa harus meminta maaf kepadanya?" dia memberanikan diri untuk menjawab. "Kisya, turutilah ayahmu Nak, jangan membangkang lagi." "Aku tidak salah, kenapa aku harus meminta maaf?" gadis itu berteriak. "Kisya, ..." Sonya berusaha menenangkan. "Apa karena dia Mischa, yang sangat ayah sayangi, jadi semua orang harus selalu meminta maaf kepadanya setiap kali terjadi sesuatu? lalu bagaimana jika terjadi sesuatu kepadaku? apakah ayah akan meminta maaf kepadaku?" Kisya dengan emosi yang sama seperti ayahnya. "Minta maaf, atau kau keluar dari rumah ini." Marwan menguatkan hati. Dia merasa harus melakukannya untuk membuat anak bungsunya itu mengalah dan melakukan perintahnya. "Bisa ayah ulangi, agar aku tidak salah dengar?" "Minta maaf kepada Mischa, atau kau keluar dari rumah ini sekarang juga." Marwan mengulang kalimatnya. "Baik, jika itu yang ayah mau, aku akan melakukannya," ucap Kisya yang kemudian menoleh kepada Mischa yang terbaring lemah di tempat tidurnya, dan dia yakini hanya akting belaka. Ketegangan di wajah Marwan mengendur seketika saat mengira putri keduanya itu akan melakukan apa yang dia perintahkan. Tapi dia salah, rupanya Kisya malah memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. *** "Kisya, apa yang kamu lakukan?" Sonya mengejarnya kembali kedalam kamarnya, dan gadis itu segera menarik sebuah koper dari atas lemari. Kisya menarik beberapa helai pakaian, lalu memasukannya kedalam koper tersebut secara kasar. Tidak lupa beberapa lembar dokumen yang dia ingat, dan tas selempangnya yang biasa dia bawa kemana pun pergi. "Kisya!!" Sonya menghadangnya ketika gadis itu hampir saja keluar dari kamarnya. "Aku pamit bu." katanya, dan air mata segera meluncur dari sudut matanya. "Aku tidak mau meminta maaf atas kesalahan yang tidak aku perbuat. Aku pergi," katanya lagi, kemudian bergegas menuruni tangga. Dia hampir berlari untuk keluar dari tempat itu. "Selangkah saja kau keluar melewati pintu itu, maka selamanya kau tidak akan diterima lagi dirumah ini." Marwan berteriak dari lantai atas, sejenak menghentikan langkah Kisya. Namun sekali lagi Kisya menguatkan hati, ini satu-satunya waktu yang tepat untuk melepaskan diri dari belenggu yang selama ini mengekangnya. "Kisya, dengarkan ibu. Jangan sampai emosi membuatmu merasa menyesal pada akhirnya. Turuti ayahmu nak, dan kembalilah kemari." Sonya menimpali. Kisya menggigit bibirnya kuat-kuat, dan sekali lagi dia meyakinkan hati untuk mengambil keputusan. Dan pada akhirnya, dia menarik kopernya dengan langkah yang tenang keluar dari rumah itu. "Kisya!" Sonya memanggilnya, namun gadis itu bergeming. Tak ingin lagi menoleh ke belakang dan mengingat apapun setelah ini. Dia berharap akan segera melupakan segala hal yang pernah menyakitinya selama ini. * * * Bersambung ... tap lovenya please.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD