2

1048 Words
Hari ini aku sungguh kesal. Walaupun Sari, sahabatku, sempat datang untuk memberikan kue yang cukup besar sehingga bisa dimakan ramai-ramai satu kelas untuk merayakan ultahku, tetap saja BT. Di hari spesialku, si iblis kecil itu tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Parahnya, sampai istirahat jam pertama berakhir, dia belum juga menunjukkan wajah gantengnya. "Kenapa Na?" tanya Hafis, wakil ketua kelasku. "Nggak apa-apa," jawabku sekenanya. "Yaudah, sana panggil guru selanjutnya!" suruhnya. "Hah? Kok aku?" tanyaku protes. "Lah? Emang siapa lagi? Amnesia? Kau kan ketua kelas," jawab Hafis dengan wajah kesal. "Ah, iya. Lupa," kataku seraya mulai bangun dari dudukku. Mulai tahun ajaran baru, aku memang menjabat sebagai ketua kelas. Entah setan apa yang merasuki teman-temanku sehingga mereka memilihku yang enggan menjadi ketua kelas ini untuk menjadi ketua kelas di XI IPS-2. Sejak tahun ajaran baru pula aku tidak sekelas lagi dengan Sari. Si kuda nil itu sudah berpindah aliran dari IPS ke IPA. Hebatnya, dia masuk di kelas XI IPA-3. Selain Sari, Ridwan-mantan ketua kelasku pas kelas X juga ikut-ikutan pindah aliran. Dia sudah menjadi cogan baru di kelas XI IPA-2. Bahkan aku dengar-dari gosip yang beredar, dia sudah taken sama adik kelas. Padahal dulu, Ridwan itu sukanya sama yang 'matang' alias kakak kelas. Aku memasuki ruang guru dan memanggil guru mata pelajaran berikutnya. Pelajaran selanjutnya Geografi. Guru pengajarnya bukan lagi bu Nanik tapi Bu Iva, si guru paling eksis yang lagi demen banget main **. Hampir setiap kegiatannya diabadikan di insta story milik beliau. "Oi, pacar!" Aku menoleh dan mendapati si iblis kecil sudah berdiri di depan Lab. Biologi dengan jas labnya. Dia melambaikan tangannya dengan senyuman tanpa dosa. Sumpah pengen aku tonjok! "Pacar nyapa kok malah manyun. Kenapa?" tanya si iblis kecil heran. "Nggak apa-apa," jawabku sekenanya. "Oh," katanya santai. Aku perhatikan si iblis kecil dengan tajam, sementara dia hanya memasang wajah oon.   "Tahu hari ini adalah hari apa?" tanyaku. "Hari jumat, emang kenapa?" katanya balik nanya. "Tanggal berapa?" tanyaku lagi masih berupaya memancing otak cerdasnya untuk berfungsi. "Tanggal 27 Januari," jawabnya. "Terus?" Aku menghela napas panjang saat si iblis cuma melongo. "Aku ultah, Damai," kataku penuh penekanan. Sudah kesel sampai nyebut nama. "Oh," katanya lagi. "Nggak mau bilang sesuatu gitu? Met ultah atau apa?" tanyaku bersikukuh. "Kan udah kemarin," jawab Damai santai. Aku katubkan bibirku rapat-rapat. Dikit lagi sudah kukubur dia di belakang sekolah. "Ya kan kemarin, sekarang bilang lagi dong. Kan yang bener aku ultah hari ini," ucapku ngotot. Damai mengerucutkan bibirnya. "Penting?" tanyanya. Aku kepalkan tanganku kuat-kuat. "Banget!" Damai hanya melongo. Si iblis kecil itu tiba-tiba masuk ke dalam lab. Aku tunggu beberapa saat tapi dia tidak keluar lagi, malah asyik bercanda sama teman ceweknya. "Nyebelin banget," dengusku kesal. "Damai, Na?" Sapaan itu membuatku menoleh dan kulihat si mie keriting dalam helm telah berdiri di dekatku. "Hai, Iqbal!" sapaku. "Yo!" sahut Iqbal. "Ngapain berdiri kayak pengemis maksa dikasih uang?" tanya Iqbal setengah meledek. Aku memanyunkan bibirku. "Asem kau! Nggak ada ejekan lain ya?" Iqbal nyengir. "Ada," jawab Iqbal. "Tukang minta-minta masuk sekolah," imbuh Iqbal lalu ngakak. "Dih, nyebelin amat sih," gerutuku. "Sorry. Btw aku dengar kau ultah hari ini. Selamat ultah ya," kata Iqbal sembari mengulurkan tangannya. Aku terima uluran tangan Iqbal sehingga kami berjabat tangan. "Kok tahu?" tanyaku setelah tanganku melepas tangan Iqbal. "Ah, dari Damai. Dia nggak cerita?" tanya Iqbal heran. "Cerita apa?" jawabku balik nanya. "Tadi pagi untuk pertama kalinya Damai bikin story di wa dan ngucapin HBD buat kau jam 12 malam. Niat amat dia," terang Iqbal. Aku menganga, kaget setengah mati. "Damai bikin story di wa?" tanyaku masih tidak percaya. Iqbal mengangguk. "Iya. Lho? Kau nggak tahu?" jawab Iqbal balik tanya. Aku geleng-geleng kepala. "Nggak tahu," jawabku jujur. Aku segera mengecek WhatsAppsku dan nggak ada pemberitahuan Damai bikin story. “Kok nggak ada?” tanyaku heran. "Waduh, haha," Iqbal ngakak saat tahu kalau aku-pacar yang sebenarnya adalah penerima pesan dari storynya Damai telah dihide. Iqbal pun masuk ke dalam lab dan entah kenapa si iblis kecil itu balik lagi menghampiriku. "Pacar, kata-." "Oh, iya. Udah jangan dibahas," potong si iblis kecil. "Kenapa?" tanyaku heran. "Malu," jawab Damai sembari tersipu malu. Sumpah aku nggak paham arus otaknya dia. "Oh iya, ntar kencan ya. Pulang sekolah aku masih ada binjar, jadi kita jalan sekitar jam enam. Bye," kata Damai lalu masuk kembali ke Lab. Ini romantis sih, tapi kok kesel yah? *** Pulang sekolah, aku segera mandi. Kalau biasanya masih mager, kali ini langsung dandan cantik. Aku juga memilih pakaian yang ayah belikan sebagai hadiah ulangtahun. Aku juga sengaja meminjam maskara Sari agar mataku terlihat lebih cling-cling. "Ciyee, anak ayah sudah cantik aja," goda ayah yang tiba-tiba nongol entah darimana.   Aku yang sedang asyik memakai pelembab bibir hanya mengabaikan ayah yang emang suka banget menggodaku. "Nas, nggak masak dulu? Ayah laper nih," pinta ayah. "Beli aja, Yah. Udah jam 5, ntar Damai dateng aku belum siap lagi," ungkapku sembari merapikan bedakku yang sepertinya sedikit menor sehingga bukannya kelihatan cantik malah mirip mayat hidup. "Oh, Damai udah mau datang. Emang janjian jam berapa?" tanya ayah lagi. Ayah longorku itu masuk ke kamar dan duduk di kasurku. "Jam enam, Yah," jawabku. "Astaga, itu satu jam lagi. Masakin ayah bentar nggak akan bikin bedak sekilu luntur Nas," protes ayah. "Dih, apaan sih! Nanas nggak pake bedak sekilo, alay deh," sanggahku. Ayah memegangi perutnya yang sudah bunyi-bunyi nggak jelas. "Nas, laper nih! Nggak denger kau suara rintihan perut ayah?" kata ayah mengiba. "Ayah, Nanas sudah cantik dan rapi ini," ucapku. Ayah manyun. "Ayah doakan hujan," kata ayah ngambek. "Langit cerah, kok," kataku sembari menunjuk ke luar jendela. "Cuaca bisa berubah dalam sekejap anak muda," elak Ayah nggak mau kalah. Aku hanya diam saja sambil memandang diriku di cermin, berusaha melihat lagi penampilanku. Handphoneku berdering, si iblis kecil menelpon. "Halo?" "Halo, Pacar," sahut Damai dari seberang sana. "Ada apa, Pacar? Udah otw jemput aku ya?" tebakku dengan girang. "Bukan, aku nggak bisa kencan. Batal ya, ada urusan," katanya. "Hah?!!" "Emang kenapa?" tanyaku bingung. "Aku lupa," jawab Damai nggak jelas. "Lupa apa?" tanyaku lagi. "Aku udah janjian belajar bareng Kafi," jawabnya. "Kafi?" "Iya, teman sekelas. Cewek, tapi masih cantikan kamu! Udah ya, aku harus ke asrama." "Heh? Tunggu dulu!" kataku mencegah Damai menutup telpon. "Apa lagi?" tanya Damai ngerasa terganggu. "Kok batalin janji demi cewek lain sih?" protesku. "Lah, bukan gitu. Ini belajar bareng buat persiapan OSK. Kalau kencan kan bisa lain kali," jelas Damai. "Kok batalinnya mendadak? Di hari ultahku lagi?" aku masih ngotot. "Lah mending aku batalin satu jam sebelum waktu janjian, daripada aku batalin lewat jam janjian hayo? Ntar kau tambah marah lagi. Berisik tahu dengerin cewek ngomel," oceh Damai. Aku mencengkram kuat handphone di tanganku dan kulihat ayah yang sudah guling-guling ngetawain aku. "Yaudah ya, Jelek! Bye," katanya. Tut tut tut. Telpon ditutup! "Haha, rasain! Makanya jangan durhaka sama orangtua, kena karma tuh!" ledek ayah masih sambil ngakak. Aku terdiam, kecewa berat. Bersama dengan suara tawa ayah yang terus menggema di telingaku, aku mengutuk Damai sambil bikinin ayah makanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD