3

1006 Words
Hari ini adalah hari pertama hibernasi setelah sekolahku menerapkan sistem fullday. Walau niatnya begitu, pada akhirnya aku batal hibernasi. Si iblis kecil tiba-tiba datang dan menyeret paksa aku untuk pergi ke mall, nemenin belanja katanya. Aku pikir nemenin cowok belanja itu akan jauh berbeda dengan nemenin cewek belanja, akan tetapi kenyataannya sama saja. Aku menatap lurus ke depan dengan sesekali menguap lebar. Bosan. Pintu ruangan terbuka. Dengan gaya sok femes, iblis kecil itu memamerkan pakaian yang dikenakannya. "Gimana?" tanyanya. Aku hanya menatapnya malas dan mengangkat tanganku lalu mengibas-ngibaskannya. "Jelek ya?" tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Oke, aku beli," katanya. "Lah?!" Damai senyum lalu masuk ke ruangan yang sama. Tak lama kemudian dia muncul lagi dengan pakaian yang berbeda. "Gimana?" tanyanya. Kali ini aku mengangkat kedua jempolku. "Keren!" "Sip, beli ini juga," katanya girang. "Heh?!" Damai mengabaikanku, masuk lagi ke ruangan yang sama. Tak lama kemudian dia telah muncul dengan pakaian yang berbeda. "Gimana?" tanyanya lagi. Aku hanya diam mematung, malas ngejawab. "Oke, karena nggak dijawab aku beli," katanya lalu masuk lagi tanpa menunggu reaksiku. Iblis kecil pun keluar dengan pakaian aslinya. "Ai, sini," panggilnya. Aku menurut. "Apa?" sahutku. "Pegang," katanya sambil memberikan lima baju yang barusan dicobanya. Aku menerima baju-baju itu. "Yakin mau dibeli?" tanyaku ragu. Si iblis kecil mengangguk yakin. "Iya dibeli masak dicuri, kayak orang kere nafsu tinggi aja," sahutnya sewot. "Apaan tuh orang kere nafsu tinggi?" tanyaku kurang paham. "Orang yang nggak punya uang tapi ngebet pengen sesuatu, akhirnya malah nyuri karena nggak sanggup beli," jelas si iblis kecil. "Emang ada istilah kayak gitu?" tanyaku lagi. "Ada." "Dapat darimana istilah gitu?" tanyaku. "Dari otakku yang pintar," sahut si iblis sekenanya. Iseng, aku melihat harga pakaian yang akan Damai beli. "Astaga!!" pekikku tanpa sadar. "Ada apa?" tanya Damai sambil melihatku dengan heran. "Yakin mau dibeli semua?" tanyaku saking nggak percayanya dengan apa yang aku lihat barusan. "Iya, emang kenapa?" tanyaku. "Satu baju ini harganya Rp300.000, lho," ujarku sambil geleng-geleng kepala. Si iblis kecil ketawa geli lalu menyuruhku mengikutinya ke kasir tanpa menjawab pertanyaan dariku. Ternyata dia benar-benar membeli 5 baju yang dicobanya barusan. Semuanya. Total belanjaannya lebih dari 1,5 juta. Dia membayarnya pakai uang, bukan daun mangga. Ternyata Damai itu kaya, walau kebanyakan jadi lintah uang yang nyedot uang sakuku tiap hari. Setelah membayar baju-baju itu, Damai memintaku membawakan tas belanjaannya. Kami pun keluar dari toko baju dan entah ini sekedar perasaanku atau bukan, sekilas kami lebih mirip majikan kaya dan kuli angkutnya. Setelah dari toko baju, kami pergi menuju ke tempat paling sakral untuk para kaum jenius. Yups! Toko buku. Saat memasuki toko buku, aku berhenti bentar untuk menitipkan belanjaan Damai. Sementara iblis kecil itu telah menghilang entah kemana. Aku yakin dia sedang menikmati keharuman buku yang sudah menggoda hatinya untuk segera membeli buku-buku itu. Tak perlu repot mencari Damai, karena dia pasti berada di deretan buku yang berkaitan dengan 'matematika' dan TI. Aku berjalan pelan menuju Damai yang sedang memilih buku. Aku sudah mengambil keranjang, jaga-jaga kalau dia akan memborong banyak buku. Aku berdiri di sampingnya sambil sesekali melihat-lihat judul buku di deretan buku yang sedang Damai perhatikan dengan seksama. Dilihat dari judulnya saja, aku sudah pusing. Aku nggak cocok dengan genre buku aliran pusing begitu. "Aku beli ini, ini, ini." kata Damai sambil mengambil beberapa buku dan memasukkannya ke keranjang yang kupegang. Tak jauh dari tempat kami, sudah berdiri tiga orang cewek yang sepertinya juga sedang memilih buku. Salah satu dari mereka melihatku dan aku hanya berdiri bengong melihatnya. Sejujurnya aku sepertinya kenal atau pernah melihatnya. Namun, aku ini mudah lupa kalau berkaitan dengan wajah dan nama orang, jadi aku memilih diam saja. Bisa gawat kalau aku salah orang. Pasti malu pakai es batu, beku. Aku mengarahkan pandanganku ke arah lain, mencoba mengabaikan cewek yang terus melihat ke arahku. Tiba-tiba dia mendekat dan tersenyum. Aku terpaksa membalas senyumannya. "Hai," sapanya. "H-hai," sahutku. Dia mengernyitkan dahinya. "Bukan kamu tapi dia," katanya sambil menunjuk Damai yang sedang asyik milih buku. Aku nyengir kaku. Malu banget. "Maaf." Dia hanya berdecak lalu menepuk lengan Damai pelan. "Hai, Ganteng," sapanya. Damai menoleh padanya. "Oh, hai," sahut Damai. "Kamu suka beli buku di sini juga?" tanya cewek itu. Damai mengangguk. "Iya, soalnya lumayan lengkap," jawab Damai. "Iya, sih! Di sini emang lumayan lengkap. Beli buku apa?" tanyanya lagi. "Matematika dan TI," jawab Damai. "Wuih, keren," puji cewek itu. "Biasa aja kali, kesini ngapain?" tanya Damai balik. "Beli buku," jawabnya sambil senyum. "Oh, buku apa?" tanya Damai lagi. "Buku Fisika," jawab cewek itu. "Ah, suka Fisika?" Cewek itu geleng kepala. "Nggak, ini titipan Sisil. Kalau aku suka Biologi," sanggahnya. Sisil? Sisilia Putri? Jadi cewek ini temannya? Tiba-tiba cewek itu menoleh ke arahku. "Dia ‘Oi Pacarmu’ itu?" tanyanya dengan pandangan sedikit sinis. Damai mengangguk mengiyakan. "Namanya Nana," kata Damai memperkenalkanku. "Bodo amat namanya siapa, aku lebih setuju kamu sama Sisil," ketusnya. Aku hanya nyengir, mendadak stroke. Sepertinya dia belum tahu kalau Sisil sudah move on dari Damai. "Jangan gitu, pacarku Nana, lho," tegur Damai membelaku. Cewek itu melihatku dari atas ke bawah lalu mendecih dengan muka agak BT. Dari ekspresinya, dia seperti berkata 'dia pacarmu? Kok bisa?'. "Yaudah, deh. Aku pergi dulu. Hati-hati rabies," katanya sambil senyum mengejek ke arahku. Rabies? Dia pikir aku anjing gila? Dasar p****t panci! Aku menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa kesal di dalam hati yang mulai muncul. "Oi, Pacar!" Aku menoleh pada Damai. "Apa?" "Nggak usah dipikirin,” katanya. Aku hanya mengangguk kecil. "Dia temannya Sisil?" tanyaku. Damai mengangguk. "Iya," jawabnya. "Namanya siapa?" tanyaku. "Fina," jawab. "Oh." "Satu sekolah sama Sisil?" tanyaku lagi. Damai menggeleng. "Dia teman sekelasku, kok," jawab Damai. "Heh?" seruku agak kaget. "Dia kayaknya nggak suka aku, deh," kataku. "Udah nggak apa-apa, abaikan saja," hibur Damai. Aku sekali lagi hanya mengangguk. "Yaudah, aku udah selesai beli bukunya. Bawain ke kasir ya," pintanya. Aku manyun, kesel. Dia pikir aku kuli angkut di toko buku? "Tenang, habis ini aku traktir," janji Damai lalu berjalan menuju kasir dengan aku di belakangnya. Aku hanya senyum-senyum. Rupanya Damai peka kalau aku sudah kelaparan. Ngarepnya gitu. "Nih," kata Damai sambil menyodorkan segelas air mineral padaku saat kami sudah keluar dari Mall dan berada di parkiran. "Apa nih?" tanyaku nggak percaya. "Air," jawab Damai. "Iya, aku tahu ini air! Maksudku kenapa dikasih aku?" tanyaku. "Oh, upah kau udah nemenin aku," jawab Damai. Aku garuk-garuk kepala. "Bukannya tadi katanya mau ditraktir?" tanyaku masih nggak mau nerima kenyataan. "Ini traktiran dariku." Damai menegaskan. Aku manyun. "Nggak mau, nih? Kalau nggak mau aku minum sendiri nih, haus," ujar Damai. Aku menghela napas panjang sambil melihat wajah Damai yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda sedang bercanda. "Mau," jawabku terpaksa sambil mengambil air mineral darinya. Okelah, lebih baik ditraktir air mineral gelasan Rp500 daripada nggak ditraktir sama sekali. Sabar Na, entar air gelasannya jadi air galon jam 12 malam. Semoga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD