Apa yang sebenarnya mas Tama ingin kan dariku? Apa tujuan dia menikahi ku? Siapa sebenarnya momy Jasmin? Apa aku akan di jadikan istri keduanya? Atau aku akan menjadi ibu tiri Jasmin? Siapa sebenarnya wanita di dalam figura besar yang terpajang di ruang keluarga tersebut? Apakah dia istri mas Tama? Apakah itu momy Jasmin? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Dhira membuatnya semakin menaruh rasa curiga pada sosok Tama yang tak bisa ia tebak akan sikap dinginnya.
Kepala Dhira kini terasa begitu berat mata yang sangat perih, membuatnya merasa begitu lelah hingga memejamkan matanya sejenak. Matanya kembali terbuka saat deringan nada panggilan di handphone miliknya berbunyi, dengan cepat ia mengambil handphone yang ada di dalam tas dan menggeser tombol hijau pada layar handphone setelah melihat nama yang terpampang di layar panggilan.
"Halo mbak Dina..."
"Apaaaa?"
"Dimana mbak?"
"Oke, saya segera kesana. Mbak segera susul saya sekalian bawa mobil saya yang telah di antar oleh sekretaris pak Tama siang tadi."
Tiiitt....
Sambungan telpon terputus.
Dengan nada gelisah Dhira meminta supir taxi mengarahkan mobilnya ke suatu tempat setelah ia menerima panggilan dari mbak Dina yang membuatnya menjadi sedikit cemas saat ini. Dhira juga meminta pak supir untuk mempercepat lajunya agar bisa tiba lebih cepat di tujuan.
Kakinya bergerak menghentak hentak pelan dengan kedua tangan yang saling bertautan menggigit bibir bawahnya, merasakan kekahawatiran yang mendalam saat mengingat kembali ucapan dari mbak Dina di telfon. Pipinya kembali menjadi basah setelah air mata turun dari sudut mata indahnya semua rasa berkecamuk di d**a tak tahu mengungkapkannya dengan cara apa selain menangis.
Setibanya di tempat tujuan, Dhira segera turun dari taxi dan mendekati mbak Dina yang telah menunggunya di lobi rumah sakit ternama yang ada di Jakarta,
"Diruangan mana mbak?" Dengan nada cemas sembari berjalan memasuki gedung rumah sakit tersebut di susul dengan mbak Dina.
"Sementara masih berada di ruang UGD bu," jawab mbak Dina sigap.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya Dhira terus berlari menyusuri koridor di area UGD di ikuti mbak Dina dari belakang. Wajah cantiknya kini diliputi rasa khawatir sambil mengarahkan langkahnya pada petugas yang ada di dalam sana.
"Pasien atas nama Adi Surya Widjaya, apa masih di dalam sus?" tanya Dhira pada perawat wanita yang berada di sana.
"Oh, pasien atas nama Adi Surya Widjaya saat ini telah di pindahkan ke ruangan VVIP lantai lima dan masih dalam penanganan dokter spesialis," sahut perawat perempuan tersebut.
"Terima kasih sus," ucap Dhira tersenyum tipis dan segera berlalu.
Dhira dan mbak Dina segera menuju ruangan tersebut, menaiki lift untuk tiba di lantai lima. Tampak beberapa orang yang salah satunya Dhira kenali sedang berdiri di depan ruangan yang ia duga adalah ruangan yang di tempati sang papa.
"Selamat siang Nona Nadhira," sapa om Doni sekretaris papa.
Dhira hanya mengangguk seraya menyentuh lembut lengan pria besar tinggi itu lalu segera masuk ke ruangan tersebut tampak mama sedang duduk di samping ranjang dengan tangannya yang mencium punggung tangan papanya.
"Mama...," ucap Dhira lirih pada sang mama dengan wajah khawatir.
Mama segera memalingkan kepalanya begitu mendengar suara putri kesayangannya. Berdiri dari duduknya dan memeluk tubuh ideal Dhira yang telah berdiri tepat di hadapannya. Dhira merasakan kesedihan di raut wajah perempuan paruh baya itu, bahkan air mata sang mama sedikit membasahi bajunya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, ma?" tanya Dhira pada mama sembari memegang kedua tangan mama.
"Mama nggak tahu pasti Dhir, tiba tiba Doni menelfon mama mengatakan papa jatuh pingsan saat sedang meeting bersama karyawan papa," ujar mama dengan deraian air matanya.
Om Doni adalah sekretaris Adi yang telah mengabdikan dirinya bekerja dengan papa selama hampir tiga belas tahun terakhir.
"Jadi apa kata dokter ma?" tanya Dhira kembali.
"Papa terkena serangan jantung nak, sementara papa sudah di beri suntikan obat untuk agar segera sadar." Mama yang masih menangis tersedu pun membelai lembut tangan suami tercintanya.
Dhira terkejut mendengar apa yang dikatakan sang mama, tubuhnya terasa tak bertulang, seketika Dhira meletakkan tangannya di ujung kasur sebagai penopang tubuhnya yang hampir terjatuh. Dengan sigap mbak Dina memegang lengan Dhira dari samping dan membawanya untuk duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Namun Dhira menolak dan memilih untuk tetap berada di samping papa dan juga mamanya.
Mbak Dina membawakan dua gelas air dan memberikannya pada Dhira dan juga mama yang terlihat masih sedikit shock.
"Ini di minum dulu bu," ucap mbak Dina pada sang mama dan kemudian memberikan segelas lagi untuknya.
Mama Dhira mengangguk pelan dan tersenyum pada mbak Dina yang telah memberikan sedikit perhatiannya.
"Terima kasih mbak," sahut Dhira pelan. "Mbak Dina kalau mau pulang boleh kok." sambung Dhira pada mbak Dina yang masih berdiri di samping nya.
"Saya menemani bu Dhira saja, ibu jangan khawatir semua jadwal sudah saya handle untuk beberapa hari kedepan. Jadi ibu bisa fokus pada kesehatan pak Adi saja sementara waktu ini," ucap mbak Dina menenangkan sang bos.
Dhira mengangguk pelan dan tersenyum pada mbak Dina.
Tak lama ia mendengar suara deringan handphone miliknya yang memecah suasana keheningan ruangan itu, terdengar suara mbak Dina samar samar yang sedang menjawab panggilan itu.
"Maaf bu, pak Tama ingin bicara sama ibu," ujar mbak Dina yang telah berada di samping nya.
Dhira terperangah saat mendengar nama pria yang baru saja membuat amarahnya memuncak seperti api yang tersiram oleh bensin. Dhira memutar bola matanya malas, dan kembali membuka suara.
"Saya lagi nggak mau di ganggu siapa pun saat ini mbak. Matikan saja telfonnya." Dhira sengaja berkata dengan nada yang sedikit besar agar Tama bisa mendengar perkataannya dari balik telfon.
"Tapi bu kata pak Ta-"
"Apa? Mau membatalkan? Silahkan saya nggak peduli. Saya nggak mau di ganggu siapa pun saat ini mbak." Dhira memotong perkataan mbak Dina.
Tampak raut bingung mbak Dina saat mendengar perintah sang bos, sebenarnya Dhira juga khawatir jika pria berhati es bak kulkas tiga pintu itu benar benar akan membatalkan kerja sama dengan perusahaannya, tapi saat ini keputusannya sudah bulat tak ingin memperdulikannya lagi.
Dhira berdecak kesal pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menerima tawaran bodoh Tama. Padahal sudah jelas Tama itu orangnya suka memaksa, bisa bisa dirinya di kurung di dalam rumah jika menjadi istrinya kelak.
"Dhira?" Mama menyapa dengan mata yang menatap Dhira.
"Ya ma...," sahut Dhira pelan .
"Siapa yang menelfon Dina tadi? Kenapa kamu nggak mau menerima telfonnya," tanya mama dengan mata yang mengintimidasi Dhira.
"Bukan siapa siapa ma...," jawab Dhira sembari membuang pandangan jauh dari mama.
"Dhira? Tatap mata mama kalau mama lagi bertanya," ujar sang mama memerintahkannya.
Dhira menatap mama dengan wajah sedikit memelas, berharap sang mama percaya padanya dan tak mengintimidasinya kembali dengan pertanyaan pertanyaannya yang sangat mematikan.
"Dia pacar kamu?" tanya sang mama secara langsung.
Dhira sontak membulatkan kedua matanya dengan mulut yang terbuka menatap sang mama yang menaikkan kedua alisnya. Mbak Dina yang sedang meneguk minum pun tampak tersedak mendengar pertanyaan mama Dhira yang menohok.
"Apaan sih mama...," jawab Dhira salah tingkah.