Sentuhan Hangat

1146 Words
Mami cinderella, maafin papi ya," ucap Jasmin mendongakkan kepalanya. Dhira hanya tersenyum tipis dan mengangguk samar pada Jasmin. Sebenarnya perempuan cantik itu sungguh enggan memaafkan pria pemaksa seperti Tama tapi mau bagaimana lagi karena Jasmin akan cemberut jika permintaannya di tolak . "Papi, cepetan minta maaf sama mami cinderella." Desak Jasmin pada Tama sambil menggoyang goyangkan lengan kokoh pria sejuta pesona itu. Tama tampak kikuk saat mendengar perintah dari tuan putri kecilnya yang tak akan mungkin di tolaknya . "Hhm... mami maaf." Ekspresi dingin yang begitu terasa dari wajah tampan itu, bahkan Tama tak menoleh sedikit pun pada Nadhira. 'Huh? Begini caramu meminta maaf pada perempuan? Setelah apa yang kau lakukan begitu kasar? Bahkan kau menggunakan anak tak berdosa ini untuk membujuk ku. Ciihh... dasar licik!' Nadhira mengguman. Dhira tak menyahut sedikit pun, seketika otak jahilnya bekerja. Dhira kembali memasang wajah cemberut dan memelas di hadapan Jasmin seolah ia masih merajuk pada Tama hingga Jasmin akan memaksanya untuk terus mengucapkan kata maafnya pada Dhira. "Papi... Lihat kan mami cinderellanya masih ngambek sama papi. Jasmin nggak mau tahu pokok nya papi harus meminta maaf sama mami cinderella sampai mami mau maafin papi." Jasmin tampaknya terpancing dengan raut drama Dhira. 'Hihihi... rasain kamu mas aku buat mati langkah kali ini. Biar tahu kamu rasa nya di paksa itu gimana.' Guman Dhira seraya tertawa tipis pada Tama yang melirik tajam padanya. "Baik lah kalau begitu." Tama menampilkan senyum terpaksa di hadapan Jasmin. Jasmin tampak mengangguk seraya tersenyum sumringah. Tama bergerak dari tempat duduknya berpindah tepat di sebalah Dhira duduk saat ini. Dhira yang menyadari pergerakan Tama masih melanjutkan dramanya berharap Tama akan merasakan kekesalan akan sikapnya. Tama mencoba menarik telapak tangan perempuan cantik itu tapi segera di tepis dan kini Dhira membelakanginya. Berulang kali Tama melakukan hal yang sama tapi tetap di tepis oleh Dhira. Akhirnya Tama memaksa dengan menarik kuat tangan Dhira dan membuatnya mau tak mau berhadapan dengan sorot mata tajam pemilik wajah tampan itu. Oh my... Kok aku jadi horor gini sih liat tatapan nya. Apalagi yang akan di lakukannya. Batin Dhira menjerit ketakutan. "Apakah mami cinderella enggak mau maafin papi?" tanya Tama pada Dhira dengan lembut. Dhira menatap sinis Tama dan menggeleng dengan cepat. "Pokok nya Jasmin mau papi minta maaf terus sampai di maafin," triak Jasmin yang berada di sebelah kiri Dhira. "Papi minta maaf sama mami cinderella ya. apa mami mau maafin papi?" Tama menekankan perkataannya dengan mata yang membutat. Alih alih takut, Dhira malah menggeleng cepat sambil menahan tawa melihat Ekspresi Tama yang mulai kesal. "Baik lah," ucap Tama singkat. Senyum kemenangan yang terukir di wajah Dhira kini menghilang saat Tama mendaratkan bibirnya dengan sempurna di bibir bawah Dhira, tanpa aba aba Tama kembali berhasil membungkam Dhira hingga terdiam seribu bahasa. Tak cukup lama hanya saja Dhira bisa merasakan kelembutan dari bibir Tama yang mengatakan kata maaf di dalam lumatannya. "Paaaapppiiii... Jasmin masih ada di sini." Teriak Jasmin dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya namun jari jari mungil itu tampak renggang satu sama lain hingga membuat sebelah matanya dapat melihat dengan jelas. Pandangan Dhira segera tertunduk saat mendengar ucapan Jasmin dan memalingkan rona merah muda yang timbul di kedua pipinya akibat ulah nakal Tama. "Apa mami cinderella belum maafin papi? Huh?" Tama menaikkan pandangan Dhira dengan tangan yang menyentuh dagunya menatap sinis perempuan itu. 'Lihat itu, bahkan dia masih menatapku sinis setelah menyentuh bibirku ini. Dasar kulkas tiga pintu.' Guman Dhira kesal. Dengan cepat ia mengangguk dugaannya salah bahwa ia lah yang saat ini mati langkah oleh drama yang ia ciptakan sendiri. Tama masih menatapinya dengan senyuman yang mematikan hingga ekspresi yang tak bisa di tebak oleh Dhira. "Kalau begitu Jasmin bahagia sekali," ucap Jasmin yang tiba tiba duduk di tengah tengah antara Dhira dan Tama. "Sekarang waktunya Jasmin pulang, papi mau lanjut bekerja," ujar Tama begitu lembut pada Jamin. Jasmin mengangguk dengan senyuman termanisnya. Ia memeluk dan mencium kening Dhira serta kedua pipinya secara bergantian. Tama dan Jasmin berjalan menuju pintu untuk kembali pulang kerumah mama Leni. Langkah Jasmin terhenti saat Dhira hendak membukakan pintu. "Papi sepertinya melupakan sesuatu." Jasmin menahan jari Tama hingga menghentikan langkah pria itu. Dhira dan Tama mengerutkan dahi karena merasa bingung dengan perkataan Jasmin lalu tak sengaja mereka saling menatap walau hanya sekilas. "Papi belum cium kening mami cinderella. Kalau mau pergi kan harus cium kening dulu sama seperti yang pernah papi lakukan pada momy dulu." Dengan polosnya Jasmin mengatakan itu pada dua orang dewasa yang berpasangan karena terpaksa ini. Dhira kaget mendengar ucapan Jasmin, bisa bisanya gadis kecil ini menyuruh kembali Tama untuk mencium kening perempuan itu, beda halnya dengan Tama yang mengulum senyum licik di wajahnya. 'Oh tidak, bisa bisa wajah ku kembali merona.' Batin Dhira. "Oh iya, papi sampai lupa. Untung Jasmin ingat," ucap Tama sekenanya seraya tersenyum nakal pada sasarannya. Tama berjalan mendekati Dhira, perlahan Dhira mundur kebelakang hingga tubuhnya tertumbur dinding dan tak bisa menghindar. Tama menatap dalam pada iris kecoklatan yang sangat indah itu, di raupnya dengan lembut wajah pemiliknya lalu mengecup kening dengan mesra ala ala drama korea yang di minati para kaum hawa. Tak ada kata kata yang keluar dari mulut seorang Pratama, walaupun begitu entah kenapa rasanya sentuhan demi sentuhan yang Tama berikan mampu memberikan rasa nyaman tersendiri pada gadis pemilik iris kecoklatan tersebut. "Bye mami cinderella." Jasmin melambaikan tangannya. "Bye..." Dhira membalas lambaian tangan Jasmin. Dengan cepat tuan rumah menutup pintu dan menyenderkan tubuh nya di balik pintu. Ia mengambil nafas dan membuang nya secara perlahan, mengatur detak jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Tama selalu berhasil membuat nya takluk. Dhira kembali ke kamar untuk memoles tipis wajahnya serta mengambil tas dan handphone tanpa mengganti pakaian dan bergegas menuju ke rumah sakit untuk melihat kondisi pria pertamanya. Dhira melajukan mobil mini cooper-nya, membelah jalanan ibu kota yang masih cukup padat oleh kendaraan kendaraan roda empat. Setibanya di rumah sakit, ia melangkahkan kaki menuju kamar rawat inap tempat sang papa berada, ia merasa sedikit lebih baik hari ini serta juga berharap kondisi papanya juga akan membaik seperti sedia kala. Kreekk.... Suara pintu kamar rawat inap terbuka, terdengar suara beberapa orang yang tampak mengobrol pelan di iringi suara tawa yang ringan. "Pagi pa... " Dhira mengumbar senyum menawannya. Dhira segera berhambur mendekati sang papa yang telah sadarkan diri meskipun harus terpasang selang oksigen di hidung, memeluknya tanpa memperdulikan beberapa orang yang berada di dalam ruangan itu. "Papa selalu buat aku cemas," ucap Dhira dengan nada lirih . "Papa nggak apa apa sayang." Sang papa tersenyum menatap putri kesayangannya. "Ternyata tuan putri keluarga Widjaya sangat menyayangi papanya," ucap seorang pria paruh baya yang tak Dhira kenali. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu sontak menatap ke arah asal suara, ia memang tak mengenali pemilik suara tersebut tapi ia bisa menduga saat mata nya melihat seseorang yang dulu sangat ia cintai duduk di sampingnya dengan senyuman mengagumi. "Nadhira, ayo salam om Yadi." Perempuan yang di pangil mama oleh Dhira membuyarkan lamunan sesaatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD