"Ada yang lain tuan?" tanya Angga sembari menundukkan pandangannya.
Tama hening tanpa kata sejenak, sebelum akhirnya membuka suaranya. "Siapkan kamar presidential suit dengan fasilitas terbaik yang dimiliki hotel ini. Jika tidak tanggung sendiri akibatnya," titah Tama pasti.
"Baik tuan." Hanya itu yang bisa di katakan oleh Angga. Apalagi kalau tidak menuruti seluruh perintah dari tuan angkernya ini.
Hotel berbintang lima yang terkenal dengan pelayanan super mewah ini salah satu hotel milik Tama yang ada di daerah Jakarta. Jadi wajar saja jika Tama selalu meminta fasilitas yang sangat terbaik yang dimiliki hotel ini.
*****
"Dhira." Suara seorang pria setengah berteriak sembari berlari untuk menangkap tubuh Dhira yang hampir saja terjatuh.
Entah kenapa Tama bisa mengetahui jika perempuan yang tengah memakai masker dan kacamata hitam itu adalah Dhira.
Tubuh Dhira terasa begitu lemah, air matanya sudah mengalir begitu saja tanpa adanya suara yang keluar dari mulutnya. Ya, Dhira menangis tanpa suara dengan wajah yang begitu sendu. Terpukul melihat apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Mas Tama," ucap Dhira dengan bibir yang bergetar.
"Cepat buka kan pintu kamar, Angga," perintah Tama pada Angga yang berada di sampingnya.
"Baik tuan," sahut Angga kemudian berlari melewati beberapa pintu kamar yang terletak di lantai yang sama.
Tama membuka kacamata dan masker yang di kenakan oleh Dhira. Dengan sekali angkat, Tama menggendong tubuh Dhira yang sangat lemah dan membawanya masuk kedalam kamar hotel beserta Angga yang menunggu di depan pintu.
Tama membaringkan tubuh Dhira perlahan di atas kasur, membukakan sendal jepit yang masih di kenakannya lalu menyeka air mata yang terus mengalir di pelupuk indahnya.
Dhira mengubah posisinya menjadi duduk dan menyender di kepala ranjang dengan selimut yang menutupi kakinya. Tama menatap wajah Dhira yang tampak begitu sendu, Tama tak menginginkan penjelasan apapun dari Dhira, yang jelas ia sangat tak menyukai mimik wajah itu.
Perlahan Tama membelai lembut rambut Dhira, tatapannya tak pernah lepas dari wajah cantik bidadarinya.
"Mm...mas a-"
"Jangan menjelaskan apa pun kalau kamu belum siap menceritakannya. Lebih baik kamu istirahat. Aku akan berada di kamar sebelah bersama Angga. Jika ada sesuatu hu-"
"Jangan tinggalkan aku sendiri mas. Tetaplah disini dan biarkan Angga juga di sini bersama kita," pinta Dhira sembari menarik tangan Tama yang hendak beranjak dari duduknya.
"Kamu yakin?" tanya Tama memastikan pada Dhira.
Dhira mengangguk pelan sembari menyeka air matanya.
"Pergilah istirahat di ruang tamu, dan pesankan makanan terlezat di hotel ini. Untuk mu juga, Angga," titah Tama pada Angga.
"Baik, tuan." Sembari menundukkan kepalanya.
Setelah Angga berbalik meninggalkan kamar tersebut, seketika Dhira mendaratkan kepalanya di d**a bidang Tama, memeluknya dengan erat sembari menangis tersedu hingga membuat Tama hampir terjatuh ke belakang jika tak menjaga keseimbangannya.
"Menangislah jika itu bisa menenangkan hati mu, bidadari." Jemari Tama bergerak naik turun di punggung Dhira dengan lembut seakan memberi rasa nyaman pada sang bidadari hati.
Dhira mengencangkan pelukannya menangis selama kurang lebih sepuluh menit dengan terisak. Bahkan Tama bisa merasakan tubuhnya yang bergetar itu.
"Aku melihatnya bersama perempuan lain," ucap Dhira perlahan melepaskan pelukannya.
Tama menarik nafas panjang dan menghelanya kembali tanpa mengeluarkan suara, memberikan kesempatan pada Dhira untuk bercerita.
"Kamu tahu? Mereka sangat menjijikkan, seolah enggak bisa menahan hasrat bercintanya sampai melakukan itu di tempat umum bahkan mereka enggak sadar dengan kehadiran aku." Dhira menyeka air matanya yang kembali menetes dari pelupuk mata indahnya.
"Dimana mereka?" tanya Tama dengan wajah memerah.
"Di dalam kamar tepat aku berdiri tadi," sahut Dhira pelan.
Tama berniat akan segera menemui seseorang yang di maksud oleh Dhira dan menghantamnya kembali kebih keras dari malam kemarin.
"Mas mau kemana?" ucap Dhira saat melihat pergerakan Tama yang akan berdiri.
"Aku akan kembali dalam waktu lima belas menit," ucapnya dengan wajah serius.
Dhira turun dari kasurnya dengan tubuh yang masih bergetar, memaksanya untuk berlari lalu memeluk Tama dari belakang. "Aku mohon tetaplah disini bersama ku. Aku cuma enggak mau kamu terlibat dalam masalah ku mas, aku cuma mau kamu tetap menemaniku," ucap Dhira lirih.
Tama berbalik menghadap Dhira, meraup wajah tirus itu dan mendaratkan bibirnya dengan sempurna di bibir Dhira. Ia hanya tak ingin melihat bidadarinya terluka apa lagi menangis seperti ini, itu hanya membuat batinnya tersiksa.
Dhira tak menolak perlakuan lembut Tama, seperti biasanya, ia bisa merasakan kehangatan yang di ciptakan oleh Tama.
Tak lama Tama melepaskan bibirnya dari bibir Dhira, lalu menatapnya dalam. "Kembali lah pada ku, bidadariku," ucapnya dengan jari yang menyentuh ujung bibir Dhira yang tampak sedikit basah akibat lumatannya.
Dhira menggelengkan kepalanya perlahan, lalu meraih tangan Tama yang berada di bibirnya, dan meletakkan di pipinya sendiri.
"Aku enggak bisa mas. Aku tetap akan menikah dengannya. Lagi pula, kamu sudah mempunyai Elindra. Tolong jangan khianati dia, karena dia akan menjadi adik iparku dalam beberapa bulan kedapan.
Tama menarik tangannya, lalu berbalik arah membelakangi Dhira.
"Bahkan kamu telah melihat sendiri betapa brengseknya calon suami mu itu. Kenapa kamu masih tetap ingin mempertahankannya?" ucap Tama kesal.
"Dia seperti itu karena aku enggak pernah membiarkan bibir ini di sentuh olehnya mas. Jadi aku berfikir itu caranya untuk melampiaskan hasratnya yang enggak pernah di dapatnya dari ku," sahut Dhira degan nada lirih.
"Oke, itu pilihan kamu. Dan aku enggak akan memaksa." Tama tersenyum getir mendapati perkataan Dhira yang seolah tak merasa tersakiti atas sikap Arjuna yang di luar batas.
"Aku masih ada urusan sedikit di atas. Kamu bisa telpon aku kalau butuh sesuatu." Tama melangkahkan kakinya keluar, meninggalkan Dhira yang masih menatapnya hingga menghilang di balik pintu.
Dhira tak tahu harus berbuat apa. Jujur, ia ingin sekali menuruti permintaan Tama yang menginginkannya kembali. Tapi, apa mau dikata? Ia lebih memilih untuk bertahan pada perjodohan itu walau hatinya tetap tertulis satu nama dan tak akan pernah tergantikan.
'Maafkan aku mas. Aku enggak mau menyakiti hati Elindra. Karena aku sudah merasakan bagaimana rasanya di khianati, dua kali dengan orang yang berbeda,' ucap Dhira dalam hati.
Sementara, Tama yang sejak tadi menahan amarahnya sudah berada di dalam lift bersama dengan Angga.
"Aagghh... Sial!" Tama menghantam dinding lift dengan keras hingga mengeluarkan suara.
Angga hanya melihat tanpa bisa menghentikan tingkah sang tuan yang tampak marah besar.
"Hubungi dia sekarang juga, minta untuk segera kembali saat ini juga," perintah Tama dengan kobaran api di wajahnya.
"Baik tuan," ucap Angga cepat.
________________________
Hai kakak readers...
Masih berlangsung ya cerita Dhira dan ketiga pria setengah gila itu...
Jangan lupa tekan tombol love supaya enggak ketinggalan update ya.
Mampir juga kenovel ku yang lainnya yang berjudul :
•Jatuh Hati (Tamat)
•Wedding Shadow (On going)
Makasih untuk semua readers.