4. Phoenix

2078 Words
Sakit, rasa sakit yang membekukan terasa disekujur tubuhnya sementara matanya menatap ke cahaya yang berhenti bersinar, Ainara. Punggungnya berdenyut, terlebih ketika tiupan angin dari malam yang terasa tidak berakhir berhembus dan membakar dagingnya yang terkoyak. Pria itu kehilangan banyak darah. Dalam setiap tetesnya, kesadarannya turut menipis. Yang diinginkannya saat ini hanyalah tidur. Tidur dalam kegelapan dan tidak terbangun lagi. Lelah, ia sangat lelah. Selalu berada di sisi yang salah. Selalu berada dalam kehampaan. Apalagi kini, satu-satunya cahaya yang dimilikinya, satu-satunya sosok yang menahannya untuk terjun bebas ke dalam kegelapan, sudah menghilang. Denyutan di kepala pria itu terasa semakin berat, tangan dan kakinya membeku, tidak mampu digerakkan. Luka di punggungnya terasa semakin pedih mengiringi nafasnya yang mulai tidak beraturan. Tapi, ia masih berjuang keras untuk membuka matanya. Berjuang keras untuk tetap bisa menatap wajah wanita yang sudah walaupun sudah tidak bernyawa, tapi masih terlihat bersinar dalam kegelapan malamnya. Aromanya yang manis masih tercium. Belaian tangannya masih terasa. Apapun rela diberikannya hanya agar bisa melihat mata indah itu terbuka kembali. Kemudian, pria itu muncul kembali di hadapannya, menghalangi pandangannya dari Ainaranya yang manis. “Membusuklah di dunia bersama dengan orang-orang berdosa lainnya, Azra. Ini adalah hukumanmu, Danau Berapimu.” Sebuah pedang berapi menyambar ke udara dan meluncur turun tepat ke jantung pria itu. *** *** Ivan tersentak bangun sekitar pukul 5 subuh dengan jantung berdetak cepat. Wajahnya dipenuhi oleh peluh, sementara nafasnya terasa berat dan menderu. “Hei. Tenanglah. Kau hanya bermimpi. Hanya mimpi.” Tangan wanita itu terangkat ke depan, sepertinya berusaha melindungi dirinya sendiri. Ivan baru sadar bahwa ia sedang mencengkeram kerah baju wanita itu sementara tangan nya yang terangkat terlihat hendak menghujamkan pukulan ke wajah Scarlet. Cengkeraman Ivan mengendur. Pria itu melepaskan kerah baju wanita itu dan menurunkan kepalan tangannya. Hanya mimpi lain. Malam lain yang dilaluinya tanpa istirahat, ia menggeram pelan sambil menoleh ke sekelilingnya. Menahan denyutan di kepalanya yang pagi ini terasa lebih menyakitkan daripada hari sebelumnya. Ia memerlukan obatnya. Setengah terhuyung, Ivan beerdiri dari sofa yang ditidurinya dan berjalan menuju tasnya. Setelah mengaduk-aduk beberapa saat, ia pun menemukan benda yang dicarinya. Di tuangkannya sebutir obat itu ke dalam telapak tangan yang kemudian langsung ditelannya tanpa air. Ivan memejamkan matanya menunggu efek obat terasa. Setelah beberapa menit, pening itu menghilang dan ingatannya perlahan kembali normal. Ia pun tersadar dimana dirinya berada dan dengan siapa ia berada di sana. Setelah berkendara seharian kemarin, ia kini berada di sebuah motel murahan. Bersama dengan wanita bernama Scarlet yang dicari oleh pria paling berkuasa di kotanya. Sudah dua puluh empat jam berlalu sejak terakhir Chad menghubunginya. Pria itu pasti sudah mengerahkan salah satu anggota Klan Vladimir untuk mencarinya. Mungkin Phoenix. Satu-satunya orang yang memiliki kemampuan untuk membunuhnya. Sementara itu, ia sendiri tidak yakin apa sebenarnya yang ingin dilakukanya. Atau mengapa ia ingin melakukannya. Setidaknya ia kini sekarang mengerti mengapa Moxley menginginkan Scarlet. Wanita itu adalah saksi. Yang masih membingungkannya, walaupun Scarlet memiliki bukti, tidak akan ada seorangpun yang berani menggunakan bukti itu untuk menjatuhkan Moxley. Mengapa masih mengejar Scarlet? “Berbenahlah. Kita perlu berangkat lagi.” Ivan melemparkan botol obat kembali ke dalam tas dan bangkit berdiri. Scarlet tidak bergerak dari tempatnya. Ia masih berlutut di sebelah sofa yang ditiduri oleh Ivan dengan mata membengkak seorang baru saja terbangun. “Apakah kau sakit?” Ia bertanya. Matanya beralih ke dalam tas dimana Ivan baru saja melemparkan botol obat. “Hanya sakit kepala. Bukan sesuatu yang serius.” Ivan menutup tas dan berdiri. Ia menoleh ke arah Scarlet yang masih mengamatinya. “Apa lagi yang kau tunggu?” “A-aku lapar.” Wanita itu menjawab. “Kita berkendara sejak kemarin, dan kau langsung tertidur begitu sampai di motel. Aku lapar. Aku ingin makan.” Ivan mengerutkan keningnya. Kadang ia memang suka lupa makan ketika sedang fokus pada sesuatu. Sepertinya wanita itu benar karena begitu diingatkan perut pria itu ikut bergemuruh, protes. Ia pun setuju. Selesai berbenah, keduanya kini duduk berhadapan di kafetaria kecil yang ada di sebelah motel. Sambil menunggu pesanan makanan, Scarlet mengamati wajah Ivan. Walaupun baru dua hari bersama, Scarlet menyadari satu hal tentang pria yang memiliki bekas luka di sisi wajahnya dan dengan entengnya membunuh salah satu anak buat Moxley kemarin. Pria itu tidak terlalu suka bicara. Ia belum menjelaskan apa yang hendak mereka lakukannya, kemana mereka hendak pergi, bahkan, pria itu belum juga memperkenalkan namanya kepada Scarlet. Sejak duduk, satu-satunya suara yang didengarnya dari mulut pria itu hanyalah ketika ia memesan makanannya. Kopi hitam tanpa gula dan breakfast platter. Hanya psikopat yang meminum kopi hitam tanpa gula, pikir Scarlet. “Uhm. Kau belum memberitahukan namamu kepadaku.” Wanita itu akhirnya memulai pembicaraan, tidak tahan lagi oleh kesunyian diantara keduanya. “Namaku tidaklah penting.” Ivan menjawab datar. “Mengapa?” Pria itu tidak menjawab. Scarlet mengenduskan nafasnya keras. “Aku tidak bisa memanggilmu dengan sebutan Tuan terus, kan?” Ivan tetap tidak menjawab. Jangan memiliki emosi. Pria itu mengulang mantranya dalam hati. Nama adalah pintu masuk orang untuk mengenalnya. Tidak. ia tidak ingin wanita itu mengenalnya. Ia tidak mengerti mengapa ia ingin membantu wanita itu, tapi begitu ia selesai, maka selesailah hubungannya dengan Scarlet. Anggap saja ini salah satu caranya untuk mendapatkan pengampunan atas apa yang sudah di lakukannya. Kesempatannya untuk mendapatkan kedamaian. Dan mungkin setelah ini, mimpinya akan menghilang. Tidak adanya jawaban dari Ivan membuat Scarlet merasa tersiksa. Ia pun memundurkan punggungnya hingga bersandar pada bangku yang di dudukinya. Mungkin itulah tujuan pria itu. Menyiksanya dengan diam karena sudah merepotkan. “Kemana kita?” Scarlet kembali bertanya. “Safe house.” Pria itu menjawab singkat. Safe house. Baiklah. Sebuah rencana. Scarlet mengangguk. “Apakah kau akan memberitahuku lokasinya?” “Semakin sedikit yang kau ketahui lebih baik.” Kembali pria itu memperlakukannya layaknya beban. Scarlet tahu ia harusnya bersyukur pria itu sudah mau membantu, tapi entah mengapa ia berharap Ivan memasukkannya dalam rencana. Lagipula, nyawanya jugalah yang menjadi taruhannya. Pelayan datang membawakan pesanan mereka. Scarlet mengucapkan terima kasih pada wanita itu lalu melanjutkan, “Aku belum berterima kasih atas bantuanmu.” “Tidak perlu.” Ivan meraih cangkir kopinya dan meneguknya sedikit. “Asal kau tahu, aku punya sedikit simpanan uang. Setelah semua ini selesai, aku berjanji aku akan membayarmu. Berapapun dan apapun yang kau minta.” Mata Ivan kini menatap ke arah Scarlet yang baru saja menawarkan bukan hanya uang tapi juga dirinya sendiri sebagai bayaran layaknya w************n. Wanita itu bersumpah ia bisa melihat kilasan tawa meremehkan di mata pria itu. Seakan mengejeknya karena sudah berani menawarkan dirinya sebagai bayaran. “Jika aku menginginkan bayaran, aku pasti sudah memintanya sejak awal.” Pria itu menjawab dengan nada suara yang lebih datar dari sebelumnya. “Lagi pula tidak ada yang kau tawarkan yang menarik bagiku.” Sebuah tamparan lagi di wajah Scarlet. Hinaan yang sebenarnya sudah biasa di dapatkannya dari pria sepanjang hidupnya, tapi entah mengapa terasa menyakitkan ketika datang dari pria yang duduk di depannya. Tapi Scarlet menahan dirinya untuk tidak membalas. Ia masih mencoba untuk mengabaikan celetukan panas yang sejak kemarin di lontarkan pria itu dengan mengalihkan pembicaraan. “Apakah kau memiliki rencana lain? Kita tidak bisa bersembunyi selamanya, kan. Bagaimana kalau kita gunakan rekaman yang kuambil untuk mengancam Moxley, meminta pria itu untuk berhenti mengejarku?” Scarlet melanjutkan, tidak mempedulikan wajah Ivan yang menatapnya bak orang bodoh. “Atau kita bisa serahkan ke media masa, atau polisi.” “Kukira setelah menjadi gundik Moxley bertahun-tahun, setidaknya kau paham bagaimana pria itu beroperasi. Rupanya yang kau pikirkan hanyalah bagaimana memuaskan pria itu diatas kasur.” Wanita itu menggertakkan giginya tidak bisa lagi berpura-pura tuli akan ejekan pria itu. “Dengar, Tuan. Jika kau hanya berniat menghinaku, mengapa bersedia menolongku kalau begitu?” Scarlet bertanya. Pria itu mungkin tidak banyak bicara, hal yang bagus, karena semakin pria itu bersuara, semakin benci Scarlet pada Ivan. Tidak ada jawaban dari Ivan. Pria itu menyuapkan sepotong roti bakarnya ke dalam mulut dan mengunyah tenang, semakin membuat Scarlet kian emosi. “A-aku tidak butuh bantuanmu kalau begitu.’’ Scarlet mulai mengancam dengan putus asa. “Berikan aku senapanmu dan memory card dari ponselku, aku bisa mencari jalan keluarku sendiri dari sini.” Ivan menahan dirinya untuk tidak tertawa. Ancaman Scarlet mengingatkannya akan ancaman anak kecil yang marah karena sudah dilarang untuk melakukan sesuatu. Ia yakin sebodoh-bodohnya wanita itu, ia tidak sebodoh itu mengira bisa bertahan seorang diri. “Kau memerlukan lebih dari satu senjata untuk menghadapi pembunuh yang akan dikirimkan oleh Moxley.” Ivan membalas. “Baiklah.” Suara Scarlet mulai meninggi. “Aku akan membeli seluruh senjata di dalam tas mu.” “Membeli dengan uang yang tidak kau miliki, dan tubuh yang tidak bisa lagi kau jual?” Scarlet menggeram. Pandangan mata wanita itu mulai mengabur lebih karena marah daripada sedih. “Tidak ada yang memaksamu, Scarlet. Kau bisa pergi kapanpun kau mau.” Ivan mendadak mendorong seluruh isi tasnya kearah wanita itu. “Ambil lah. Jika menurutmu kau bisa bertahan lebih dari sejam diluar sana sendiri.” Scarlet menelan ludah nya sendiri, sadar bahwa gertakkannya tidak berhasil. Mata coklat Ivan kini menatap tanpa berkedip, menunggu. Scarlet mengamati tas diatas meja, lalu kembali ke wajah Ivan yang masih mengamati tanpa bersuara. Benar kata Ivan. Tidak mungkin ia bisa bertahan lebih dari sejam diluar sana tanpa pria itu. Jika saja ia tidak dalam keadaan kepepet, sudah pasti ia ingin berada sejauh mungkin dari pria angkuh itu. Tapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain menerima hinaan pria itu. Lagi pula, ia sudah terbiasa bukan. Setidaknya bersama Ivan, ia masih memiliki kesempatan untuk hidup. Wanita itu menjulurkan tangannya, melewati tas berisi senapan milik Ivan, meraih garpu yang ada di ujung meja dan menggunakannya untuk memakan omletnya tanpa banyak bicara. *** *** Phoenix menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Ia sedang berada di dalam bak mandinya ketika benda itu berdenting di sebelahnya. Wajah pria yang sangat dikenalnya terpampang dalam layar ponselnya. Diikuti dengan sejumlah informasi di bawahnya yang menjelaskan data diri dan lokasi terakhir pria itu berada. Hal-hal yang diperlukan dalam sebuah misi. “Oh…. Ivan….” Phoenix berdecak pelan sambil membaca isi berita yang muncul. Ia menegakkan punggungnya yang tadinya bersandar ke sisi bathtub agar bisa membaca dengan jelas. Kini dengan kedua siku bersandar ke pinggiran bak keramik putih, ia terus mengamati tombol yang ada di akhir pesan yang barusaja di dapatnya dari Chad. Hijau untuk menerima, merah untuk menolak. Sejarah yang dimilikinya dengan Ivan mungkin membuat Chad mengira dirinya adalah orang yang tepat untuk mendapatkan misi tersebut, Phoenix berpikir. Dan Chad tidak keliru. Sudah sejak lama ia berniat menjadikan jantung Ivan sebagai sasaran pelurunya. Jika saja bukan karena salah satu aturan Klan yang mencegah anggota saling membunuh. Bisa di pastikan ia sudah membunuh pria itu sejak lama. Plus, uang yang ditawarkan pun menggiurkan. Tanpa ragu. Tangan Phoenix langsung meluncur ke tombol hijau yang ada di layar monitor. Ia melemparkan benda itu ke atas karpet kamar mandinya dan kembali menyandarkan punggungnya ke belakang. Dibenamkannya sebagian wajahnya masuk ke dalam air hangat berbau harum yang mengelilinginya dengan perasaan girang. Rambutnya yang berwarna pirang, panjang, menari di dalam air seolah ikut merayakan. Akhirnya ia memiliki kesempatan untuk membunuh pria itu. Dan mendapatkan bayaran. Sebenarnya gratis pun ia akan melakukannya. Tapi hey…. Siapa yang bisa menolak beberapa ratus ribu dolar. *** *** Chad memandang warna hijau menyala dari kontrak yang dikirimkannya kepada Phoenix. Sudah diduga pasti Phoenix akan menerima tawarannya. Setelah apa yang terjadi antara keduanya, wanita itu pasti tidak akan melepaskan kesempatan untuk bisa membunuh Ivan. Dua lagi menyala dari Hector dan Nicholas. Semua nya menerima tawaran kontrak yang tidak lebih dari lima menit yang lalu ia kirimkan. Ivan memang tidak begitu disukai dalam Klannya. Chad memandang sedih. Bagaimanapun ia tumbuh besar bersama dengan pria itu di dalam rumah yang sama. Kedua orang tuanya sudah menganggap Ivan sebagai anak mereka. Ia tahu ayah dan ibunya menyayangi Ivan. Bahkan mungkin melebihi dirinya. Yang membuat Chad kadang merasa cemburu pada pria itu. Diakui Chad kekuatan dan keahlian Ivan, memang diatas dirinya. Hal yang kemudian selalu dibanggakan ayahnya disetiap ujian Klan. Menembak, bela diri, taktik, semua selalu dimenangkan oleh Ivan. Jika saja dirinya bukanlah anak kandung keduanya, Chad yakin orang tuanya akan menyerahkan Klan Vladimir ke tangan Ivan. Tapi itu dulu. Ivan terbukti merupakan aset terbesar yang dimiliki Klan Vladimir, tentu saja ia menyayangi pria itu. Sebelum kini Ivan kembali berbalik arah dan menerkam tangan yang sudah memberinya makan demi alasan yang tidak di mengertinya. Seorang wanita yang tidak dikenalnya? Bahkan bukan seorang wanita baik-baik tapi hanya salah satu gundik milik Moxley. Ia sepertinya sudah benar-benar kehilangan kewarasan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD