3. Pematik Api

2034 Words
Ivan mengguyur wajahnya dengan air dingin dari wastafel kamar mandinya. Kesegaran dari cairan itu langsung menenangkan wajah dan kepalanya yang panas. Diraihnya handuk yang tergantung di sisi wastafel yang kemudian digunakannya untuk mengeringkan wajahnya. Ivan meraba saku kemeja da-da kirinya dan mengeluarkan pematik gas berwarna perak dari dalamnya. Ia sudah lama tidak merokok, tapi ia masih membawa-bawa pematik gas berukir tulisan NIX itu kemana-mana karena kebiasaan. Diusapkannya ibu jarinya ke permukaan pematik yang halus dan dingin sambil membayangkan nikmatnya kepulan asap dari benda yang sudah lama tidak di sentuhnya itu. Membayangkan asapnya mengumpul dalam paru-parunya membuat dirinya sedikit lebih tenang. Disaat-saat seperti ini keinginan itu kembali. Sialan. Jika saja bukan karena saran dokter itu, ia tidak perlu membuang semua bungkus rokok simpanannya. Sayangnya ia sudah melakukannya. Tidak ada lagi yang tersisa dari kebiasaan lama yang dimilikinya sejak berumur 14 tahun itu selain pematik api yang ada di tangannya. Pria itu mengeratkan rahangnya sambil mendongak menatap cermin yang ada di depannya. Satu tangan masih sambil menggenggam handuk sementara yang lain meremas benda kotak stainless steel itu erat. Apa yang barusan terjadi? Ia baru saja melawan salah satu anak buah Moxley? Membawa kabur seorang wanita tidak dikenalnya, yang jelas-jelas adalah wanita milik pria paling berkuasa di kotanya? Untuk apa? Pria itu tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Ia pun tidak paham mengapa ia melakukannya. Hal semacam ini tidak pernah terjadi padanya. Ia bukanlah seseorang dengan sisi kemanusiaan yang bisa dengan mudahnya melakukan sesuatu hanya karena kasihan. Dalam lingkup gerak dan pergaulannya, kemanusiaan dan iba akan membuatmu terbunuh. Klan Vladimir sudah mengajarkan banyak hal padanya. Ia bergabung ketika ia masih sangat muda, dan mereka sudah mendidiknya dengan baik. Jika Klan Vladimir memiliki aturan, maka ia pun memiliki aturan sendiri yang di ulangnya setiap saat bak sebuah mantra. Aturan ini lah yang membuatnya masih bisa bertahan hidup hingga sekarang. Aturan pertama. Sebagai seorang pembunuh bayaran, rasa takut adalah musuh. Pertama kalinya ia membunuh seseorang, rasa takut hampir membuatnya terbunuh. Tangannya gemetaran dan bidikannya meleset jauh. Karenanya ketika ia sedang berusaha mengisi ulang senjatanya, sasarannya berhasil menikamkan sebuah pisau ke paha kanannya. Ia masih bisa merasakan nyerinya, kadang, ketika udara terlalu dingin. Walau ia akhirnya berhasil menghamburkan otak sasarannya, tapi bisa di bilang misi pertamanya tidak berakhir dengan rapi. Aturan kedua. Jangan pernah merasa bersalah. Sesuatu yang awalnya ia kira akan menghantuinya seumur hidup. Untunglah kini, wajah-wajah sasarannya mulai membaur menjadi satu dan ia bisa menutup hatinya dari jeritan pengampunan, kemarahan, tangisan ketakutan, yang selalu muncul ketika korbannya mengetahui bahwa ia tidak akan berubah pikiran. Kini ia bisa memutuskan bahwa apa yang dilakukannya, semua ini, hanyalah pekerjaan. Yang membuat aturan ke tiga lebih mudah untuk dilakukan. Jangan memiliki emosi. Sesuatu yang ia pahami dengan baik, karena Ivan Vladimir… tidak memiliki emosi. Tapi apa yang barusaja dilakukannya menentang semua aturan yang sudah di pegang teguh olehnya. Emosi melibatkan keputusannya. Pria itu menatap kelam ke pantulan wajahnya. Matanya yang gelap membalas. Denyutan di rahangnya yang terukir keras terlihat ketika ia mencoba mencari jawaban. Sialan! Ia tidak memahami. Dilemparkannya handuk yng di pegangnya ke sudut ruangan dan dimasukkannya kembali pematiknya ke dalam saku. Tidak ada waktu untuk berpikir. Ia perlu berkemas. Keluar dari kota ini. Baru saja Ivan hendak menarik pintu terbuka, suara ketukan terdengar dari pintu kamar mandinya. “Hei, Tuan. Kau tidak apa-apa? Kau sudah lama sekali di dalam tanpa suara. Apakah kau pingsan lagi?” Sebuah suara feminin terdengar di selam ketukan tangannya yang tidak juga berhenti. Wanita sial! Ivan mendengus dan menarik pintu terbuka. Hembusan angin dari pintu yang disentaknya dengan keras, menium hamburan rambut wanita itu kesegala arah. Warnanya yang merah mengingatkan Ivan akan panasnya api, atau merahnya darah. Mata wanita itu membelalak kaget melihat wajah marah Ivan. “Ma-maaf. Aku tidak bermaksud mengganggu. Ku-kukira…” Suara Scarlet tergantung diudara begitu Ivan melewatinya dan tanpa berkata apa-apa berjalan menuju lemari pakaian. Pria itu mulai membukanya dan menarik keluar sebuah tas, berniat untuk mulai berkemas ketika ponsel di sakunya bergetar. Diraihnya benda pipih itu dari saku celananya. Ivan melirik sekilas nama yang ada di dalamnya walaupun ia bisa menebak siapa yang menghubunginya. Satu-satunya orang yang memiliki nomor ponselnya. Chad. “Chad?” Ivan menjawab dengan nada suara tenang. “Fck! Apakah kau sudah gila?” Suara Chad yang membentak tidak mengagetkan Ivan. Chad Vladimir, pimpinan dari kelompok pembunuh bayaran ternama di kota itu, sudah pasti tahu apa yang terjadi. “Moxley sendiri yang menghubungiku. Kau sudah membawa salah satu wanitanya, Ivan.” “CCTV di diner?” Ivan menebak. “Tidak perlu CCTV untuk mengenalimu. Hanya ada beberapa orang di kota ini yang sanggup membunuh pria sebesar anak buah Moxley menggunakan garpu. Semuanya sedang bertugas di luar kota, kecuali dirimu. Aku bisa menebak begitu mendengar cerita Moxley. Ia memasang harga untuk kepalamu, Ivan.” “Kau menerimanya?” “Aku memberimu waktu satu hari untuk mengembalikan wanita itu kepada pemiliknya. Sebelum aku memberikan misi ini ke beberapa orang.” Ivan tidak menjawab. Ia melirik ke arah wanita yang ada di dalam ruangan bersamanya. Wanita itu masih berdiri di tempatnya dan kini mengamatinya dengan mata dan hidungnya yang memerah. Setidaknya ia sudah berhenti menangis, gumam Ivan dalam hati. “Ivan.” Suara Chad yang memanggilnya kembali mengalihkan perhatian Ivan. “Aku disini.” Ivan berdiri dan berjalan menuju ke balkon apartemennya, menutup pintu kaca diantara ruangan. Tidak ingin percakapannya terdengar oleh wanita itu. Sesuatu mengganggunya sejak tadi. Kejanggalan dari cerita Scarlet. “Katakan siapa wanita itu, Chad? Jika ia hanyalah salah satu gundiknya, mengapa Moxley begitu menginginkannya hingga bersedia membayar mahal untuk mendapatkannya kembali?” “Entahlah….” Suara Chad terdengar sebal. “Aku tidak menanyakannya. Mungkin ia mencuri dari Moxley. Mungkin ia adalah belahan hidupnya dan sudah mematahkan hatinya…. Bukan urusanmu dan bukan urusanku. Bawa ia kembali, Ivan. Titik. Akhir cerita.” Chad mematikan sambungan telefon. Ivan menjauhkan benda itu dari telinganya dan mengamati layarnya yang masih menyala terang. Diusapnya lehernya yang terasa kaku dengan satu tangan sementara wajahnya menatap jauh ke luar balkon apartemennya. Ketenangan yang diinginkannya terasa semakin meluncur lepas dari genggaman tangannya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya untuk mendapatkan ketenangan itu kembali, menyerahkan wanita asing yang tidak dikenalnya itu kembali. Tapi hatinya melarang. Hatinya berkata, dengan sisa waktu yang dimilikinya, mungkin wanita itu adalah caranya untuk mendapatkan kedamaian. Penebusan. Redemption. Saat itu Ivan masih tidak paham, tapi ia bisa merasakan bahwa semuanya pasti akan berubah setelah hari ini. Di bukanya tangan yang mencengkeram ponsel. Benda berlayar lebar itu langsung meluncur jatuh dari balkonnya yang berada di lantai 15. Beberapa detik melayang diudara, lalu menabrak aspal di bawah dan pecah berkeping-keping. “Maaf, Chad. Aku tidak bisa melakukannya.” Ivan menggumam pelan lalu kembali berjalan ke dalam. Scarlet sedang berlutut di sebelah tas yang baru saja dikemasi oleh Ivan dengan mata membelalak. Tangannya memegang salah satu benda paling mematikan ketika berada di tangan Ivan. Salah satu pistolnya. Wanita itu mendongak kearah Ivan. “Apakah kau salah satu anak buah Tuan Moxley?” Ia bertanya dengan suara gemetaran. “Apakah menurutmu aku akan menyelamatkanmu jika aku anak buah Moxley?” Ivan balas bertanya. “Ja-jadi mengapa kau memiliki pistol? Apakah kau akan membunuhku?” Mata lebar itu kembali menabrak mata Ivan. Cahayanya yang berwarna keabuan berhadapan dengan mata kecoklatan Ivan yang gelap. “Aku tidak berniat membunuhmu, walaupun itu adalah pekerjaanku.” Pria itu menjawab. Scarlet memikirkan ucapan Ivan. Benar juga. Jika pria itu memang berniat, ia bisa melakukannya sejak tadi. Diletakkan kembali pistol yang ditemukannya ke dalam tas. “Kau pembunuh bayaran?” Mata abu itu membelalak makin lebar. Bukan karena ketakutan, tapi lebih karena penasaran. Ivan tidak menjawab pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Ia hanya menggeram. “Siapa namamu?” “Scarlet. Scarlet Fayre.” Wanita itu membalas. Mata Ivan kembali mengawasi Scarlet dengan penuh kegelapan. Anehnya, bukannya takut, wanita itu justru semakin tidak bisa mengalihkan tatapannya. Bak seekor serangga malam yang melihat api, walaupun tahu pria itu akan membakarnya, ia tidak bisa menghindar. Ivan mendekat. Langkah pria itu terasa ringan, tapi juga berat disaat yang sama. Tidak bersuara tapi memiliki kekuatan yang membuat Scarlet tanpa sadar melangkah mundur ke belakang. Wanita itu baru sadar ia sudah terkurung ketika punggungnya menabrak lemari pakaian Ivan. Untungnya Ivan juga menghentikan langkahnya sebelum menggapai Scarlet. Pria itu tidak menyukai sentuhan siapapun. “Dengar. Aku akan melindungimu dengan satu syarat. Aku tidak ingin kau membohongiku. Semua yang kau tahu, kau ceritakan kepadaku. Jika sampai aku tahu kau sudah berbohong, percayalah, Moxley akan terdengar bak seorang malaikat dibandingkan apa yang akan kulakukan padamu. Mengerti?” Scarlet buru-buru menganggukkan kepalanya. Toh tujuannya hanya satu. Ia hanya ingin hidup. “Baiklah.” Scarlet membalas. Begitu Ivan memundurkan tubuhnya, Scarlet menyelinap menjauh dan berjalan menuju sofa. “Apa yang ingin kau ketahui?” “Mengapa Moxley menginginkanmu?” Ivan membalikkan badannya menatap ke arah Scarlet yang kini sudah duduk dengan tangan terlipat diatas pangkuannya. Ivan bisa melihat wanita itu menelan ludahnya tapi tidak menjawab. “Aku tidak bisa menolongmu jika kau tidak menceritakan situasimu dengan sejelas-jelasnya.” Ivan menambahkan. Wanita itu menghela nafas. “Baiklah….” Scarlet akhirnya menjawab, tidak punya pilihan lain. Ia tidak tahu apa yang membuat Ivan menolongnya, tapi ia bersyukur ia sudah memilih meja Ivan tadi pagi. Entah mengapa, ia merasa bahwa ia bisa mempercayai Ivan. Ivan melipat tangannya di depan d**a dan menunggu. “Bicaralah.” Ia menggeram. Scarlet menghembuskan nafasnya dan memulai ceritanya. “Semalam, sesuatu membangunkanku. Sebuah jeritan yang awalnya aku tidak yakin berasal dari mimpi ataukan ada di dunia nyata. Aku menoleh ke samping dan menyadari Tuan Moxley sudah tidak ada di tempatnya. Normalnya, aku tidak akan mengambil pusing, karena ia biasa melakukannya. Pergi di tengah malam…. Aku sudah hendak kembali tertidur ketika kudengar kembali suara teriakan tertahan yang sepertinya dari luar kamar.” Wanita itu berhenti sejenak. “Menggunakan senter dari ponsel, aku berjalan keluar menuju ruang bawah tanah karena rupanya dari situlah suara itu berasal. Perlu kau ketahui, Tuan Moxley tidak pernah mengijinkan siapapun turun ke bawah, kecuali orang-orang terdekatnya. Dan pintu menuju ruang bawah tanah selalu terkunci. Tapi malam itu, pintu terbuka lebar.” Wanita itu membelalakkan matanya ke arah Ivan seakan ingin pria itu mempercayai bahwa ia tidak biasanya berkeliaran dan memata-matai. “Dan aku melihat semuanya. A-aku melihat Tuan Moxley menembak kepala pria itu dan bukan hanya pria itu tapi juga seluruh keluarganya. Istri dan anak-anaknya.” “Siapa mereka?” “En-entahlah. Aku tidak mengenal siapa mereka. Ta-tapi aku memiliki rekaman suara mereka.” Scarlet meraih ponsel saku gaun tidurnya dan memencet tombol play pada salah satu fitur rekaman. Suara-suara terdengar. Siapapun yang meninjau isi rekaman pasti langsung mengenali salah satunya sebagai suara Moxley, diikuti gumaman tidak jelas dari seseorang yang sepertinya sedang dalam keadaan mulut tersekap. Rekaman Scarlet membekukan Ivan ditempatnya. Bukannya ia kaget mendengar Moxley terlibat pembunuhan, pria itu terlihat banyak hal di kota ini. Pembunuhan hanyalah ujung dari gunung es tindak kriminal seorang Moxley. Tapi sejauh ini belum pernah ada orang yang bisa membuktikannya. Hingga sekarang. Inikah penyebab Moxley menginginkan Scarlet? Karena wanita itu adalah saksi? Tapi masih ada yang mengganjal. Walaupun Scarlet memiliki bukti, tidak akan ada orang yang berani menggunakannya untuk menjatuhkan Moxley. Semua orang takut pada Moxley. Apalagi di kota mereka. Pria itu meraih benda di tangan Scarlet, melepaskan memory card dari dalamnya sebelum kemudian membanting benda itu hingga hancur berantakan keatas lantai. “Hei!” Wanita itu mendelik dengan mata melotot ke atas lantai. “Mereka bisa melacakmu lewat ponsel. Lagi pula salahmu sendiri yang memilih untuk terlibat dengan Moxley. Apakah kau kira ia adalah orang suci berhati emas?” Nada suara Ivan yang mengejek membuat Scarlet menggigit bibirnya sendiri. Jauh dalam hati ia tahu seberapa berbahayanya Moxley. Tapi pria itu menyelamatkannya dari jalanan, memberikannya tempat tinggal, makanan, dan mencukupi kebutuhannya. Salahkah jika ia menerimanya dan menutup mata? Mata Scarlet mulai mengabur menahan air mata. Melihat wajah merah Scarlet, Ivan mengalihkan pandangannya. Ia tidak menyukai air mata. Hal itu selalu mengingatkannya pada wajah-wajah orang yang menjadi sasarannya. Sebelum ajal menjelang, mereka semua menangis. Mereka semua merengek. Terlalu banyak air mata yang sudah dilihatnya, ia kini tidak mampu melihatnya lagi. Ia berjalan menuju tas nya yang masih tergeletak di sebelah lemari pakaian. Diraihnya sebuah jaket dari dalamnya dan dilemparkannya ke arah Scarlet. “Kenakan. Kita harus pergi dari sini.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD