"Bagaimana dengan keadaan teman saya Dok?"
Marcell yang sedari tadi mondar mandir menunggu Dokter Ilham keluar dari ruangan dengan harap- harap cemas langsung menyerbu pertanyaan yang sedari tadi sudah menghantui otaknya.
Ditatapnya seorang dokter muda di hadapannya, Marcell sudah tak sabar lagi karena Dokter Ilham tampak berdiam diri sembari menghela napas gusar. Sebenarnya, ada apa dengan Weeby? Kenapa perasaan Marcell tidak enak begini?
"Boleh bicara sama orang tuanya?" tanya Dokter Ilham yang pasti ditujukan untuk Marcell.
"Saya nggak tahu orangtuanya Dok, tapi tunggu, mungkin ponsel Weeby nyimpen nomornya," jawab Marcell begitu mantap, dan Dokter Ilham mengangguk setuju.
Marcell mengambil tas punggung milik Weeby yang tergeletak di kursi, tidak mau membuang waktu, Marcell membuka resleting tasnya, dan berhenti pada benda pipih berwarna hitam.
Helaan napas lega baru saja keluar dari lubang hidung Marcell saat membuka ponsel Weeby yang tidak memakai sandi di sana. Marcell menekan menu kontak dan mulai mencari nama kontak ayah Weeby. Dan jempol Marcell seketika berhenti di nomor yang bertuliskan "ayah Andika".
Marcell menjatuhkan ponselnya di dekat telinga, menunggu dan berharap dengan cemas, semoga saja ayah Weeby segera mengangkat panggilan ini.
Senyum tipis Marcell sedetik setelah sambungan terhubung langsung terbit hingga membentuk lengkungan bibir yang manis. Dengan segera ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan menyerahkannya kepada Dokter Ilham. Ponsel hitam itu dengan senang hati di sambut oleh Dokter muda itu.
Beberapa saat kemudian.
Sekitar menunggu tiga puluh menit, ekor mata Marcell dapat melihat laki-laki paruh baya yang sedang berlarian ke arah sini. Seketika Marcell berdiri dari duduknya saat laki-laki itu berdiri di hadapannya dengan napas yang memburu, sesekali dia juga terbatuk karena oksigen di sekitarnya belum masuk ke paru-parunya.
Dokter Ilham yang sedari tadi menunggu dengan setia juga tersenyum tipis, ia rasa itu adalah ayah dari Weeby. Dari seputar pertanyaan yang Marcell lontarkan pada Dokter muda dan tampan itu, katanya hari ini dia tidak memiliki jadwal padat, oleh sebab itu dengan senang hati dia menemani Marcell menunggu orang tua Weeby.
"Dok, ada apa dengan anak saya? Kenapa dia bisa masuk ke sini?" tanya Andika dengan cemas, keringat dinginnya baru saja menetas dari pelipisnya. Raut wajahnya terlihat sangat tegang.
Sebelum menjawab, Dokter Ilham mengeluarka napas pendek, "anak bapak mengindap penyakit yang cukup serius, Weeby selama ini sering mengonsumsi obat-obatan terlarang, itu membuat jiwanya bertambah rapuh, saya juga yakin apabila dia sering pusing, mual, dan pingsan mendadak. Itu semua karena obat yang dia konsumsi."
"Apa, Weeby overdosis?" Marcell kemudian menyela, pandangan Dokter Ilham yang semula menatap Andika kini beralih pada Marcell.
"Bisa dibilang begitu, kalo anak bapak masih keterusan memakan obat itu, bisa jadi Weeby stres dan berakhir fatal, mohon maaf, maksudnya meninggal."
Perkataan dari mulut Dokter Ilham membuat d**a Andika seketika terasa sesak, ia tidak menyangka perbuatannya kepada Weeby akan berujung seperti ini. Padahal, selama ini dirinya hanya memuaskan rasa kesalnya atas meninggalkan istri kesayangannya. Sekarang, Andika begitu sadar, ini bukan kesalahan Weeby, putri semata wayangnya, ini merupakan garis takdir Tuhan yang seharusnya Andika terima dengan baik.
"Terus, keadaan anak saya bagaimana dok?" tanya laki-laki paruh baya itu lagi, ditatapnya penuh harap Dokter Ilham di hadapannya. Andika sudah tidak mampu menahan air matanya, membiarkan cairan bening itu lolos dan mengguyur pipinya. Sialnya lagi, Dokter Ilham malah tersenyum membuat Andika semakin geram. Dicengkeramnya dengan kuat lengan Dokter itu, mengisyaratkan agar segera menjelaskan.
"Anak bapak masih tak sadarkan diri, ini semua karena efek dari obat yang diminum olehnya, sekarang bapak berdoa aja supaya anak bapak diberi kelancaran oleh Tuhan. Saya permisi dulu, kalo mau masuk silakan, tapi jangan berisik, biarkan putri bapak tenang dan tidak mengganggu pasien lain juga."
Dokter Ilham tersenyum simpul, kemudian ia mengayunkan kakinya menjauh dari sana.
Selepas kepergian dokter muda tampan itu, dengan segera dan tidak sabar, Andika langsung membuka pintu di mana Weeby ada di dalamnya.
Marcell yang sedari tadi terus berpikiran tentang keadaan Weeby, ia memutuskan untuk ikut Andika, mengekor dari belakang.
Andika dapat melihat wajah putrinya yang sedikit kurus dari biasanya, terlihat dari kedua pipinya yang tirus, matanya yang sayu masih terpejam dengan rapat, enggan membuka sedemikian rupa, bibir yang semula tampak segar sekarang terlihat sangat pucat.
Tanpa rasa, Andika menitikkan air mata lagi, ia tahu perbuatan dirinya selama ini kepada Weeby sangatlah kejam. Andika tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya anak itu.
"Weeby, maafin ayah, ya? Kamu bangun, ayah butuh kamu, ayah mohon jangan pergi menyusul ibu kamu, ayah masih sayang sama kamu Weeby."
Suara yang sangat lirih dan serak itu luar dari mulut Andika, ditatapannya wajah Weeby yang masih saja cantik seperti biasanya dengan pandangan lekat-lekat. Kemudian tangan kanannya terulur dan jatuh di sejumput rambut Weeby yang menutupi sebagian wajahnya. Andika lalu mengusap pipi Weeby dengan jempol tangannya. Sekarang ia benar-benar sangat menyesal, bahkan untuk memaafkan dirinya saja rasanya sangat sulit dan tidak pantas untuk mendapatkan itu semua karena dia sendiri menyadari perbuatannya selama ini sangat kejam.
Weeby masih enggan membuka matanya, masih betah pada tidurnya. Marcell yang berdiri di belakang Andika juga merasakan pilu, dadanya turut merasakan sesak. Dia juga merasa bersalah pada cewek itu selama ini. Sekarang Marcell sadar, Weeby merupakan cewek kuat, walaupun ayahnya sering melukai dirinya, cewek itu masih saja menunjukkan sisi cerianya.
Sikap Marcell selama ini yang suka usil kepada Weeby membuat hati Marcell seperti tertampar. Dengan getir, Marcell kembali menelan ludahnya. Melihat Weeby yang terbaring lemah di brankar rumah sakit seperti ini membuat Marcell tidak tega. Weeby terlihat sangat mengenaskan. Entah kenapa Marcell juga khawatir dengan keadaan Weeby, ia takut Weeby tidak ada lagi, takut jika Weeby menghembuskan napas terakhirnya, takut jika ia belum sempat meminta maaf pada cewek itu.
"Weeby, kamu harus bangun, ayah tahu, kamu adalah putri ayah yang paling kuat, setelah ini ayah bakal janji sama kamu nggak bakal nyakitin kamu lagi nak."
Andika tiba-tiba memeluk tubuh mungil Weeby begitu erat, tidak peduli dengan air mata yang membasahi seragam anaknya, ia sekarang tidak peduli tentang apapun, keselamatan Weeby kali ini yang patut diprioritaskan. Andika tidak mau ditinggal oleh orang yang disayang untuk kali kedua, ia belum siap menerima itu semua, ia tidak bisa mendeskripsikan hatinya jika semua itu terjadi. Kalau sekarang posisi Weeby bisa digantikan oleh dirinya, Andika mungkin sedari tadi sudah melakukan itu.
Kenapa dirinya begitu bodoh? Andika memukul kepalanya sendiri berulang kali, merutuki sikap kejamnya, mengumpat segala arah untuk memaki dirinya.
Marcell yang melihat kejadian itu hanya menutup mulut, bingung mau membantu dengan cara apa, terlebih lagi sebelumnya ia tidak kenal dengan ayah Weeby. Marcell sedikit canggung berada di antara keluarga Weeby ini.
Satu jam kemudian.
Andika kembali mendesah, Weeby masih sama seperti satu jam yang lalu, asik bermimpi indah dalam tidur nyenyaknya. Laki-laki paruh baya itu masih merasa takut, ia sudah merapalkan segala doa agar Weeby diberi keselamatan.
Sekarang, Andika tengah duduk di sofa berwarna abu-abu, di samping Marcell lebih tepatnya. Tak bisa dimungkiri, Marcell sangat canggung, ia sesekali melirik wajah Andika yang memaparkan ekspresi sedih.
"Om, om harus kuat ya, saya percaya kok bahwa Weeby pasti baik-baik aja, Weeby bentar lagi juga pasti bakal bangun," ucap Marcell dengan lirih, masih setengah gugup, namun ia menerjangkannya begitu saja.
Andika yang sedari tadi bergelut dengan pikirannya sendiri sampai tak menyadari keberadaan Marcell, setelah suara orang lain menginterupsi telinganya, barulah ia menengadah kepalanya, menatap orang yang bersuara itu. Lalu, senyuman tipis terpatri di kedua sudut bibir Andika saat melihat Marcell yang terduduk di sampingnya.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan intonasi suara lirih. Ditatapnya Marcell dengan pandangan lamat-lamat.
Sebelum memulai obrolan lagi, Marcell tersenyum dan menjulurkan tangannya, berniat memberi salam sebagai tanda hormat pada orang yang lebih berumur darinya. "Kenalin om, saya Marcell, teman sekelas Weeby." Sebagai penutup ucapannya, seulas senyuman Marcell yang sangat manis mulai muncul dari sana dan dibalas dengan senang hati oleh Andika.
"Kamu yang bawa Weeby ke sini?"
"Iya om, tadi saya lihat Weeby pingsan, berhubung UKS sekolah udah tutup, jadi saya bawa Weeby ke sini. Maaf kalo tindakan saya sangat lancang om," ucap Marcell yang entah kenapa ia merasa sangat bersalah, ia sedikit menundukkan kepalanya sembari menggigit bibir bawahnya.
"Justru om banyak berterima kasih sama kamu, om nggak nyangka jika perlakuan om pada Weeby sangat kejam, om sangat menyesali perbuatan om selama ini pada Weeby, bahkan untuk memaafkan diri om sendiri rasanya juga nggak pantas."
Terdengar nada suara Andika yang sangat menyesali perbuatannya, Marcell kikuk menanggapi itu, ia hanya mampu mengangguk mengerti tanpa berniat angkat bicara. Takut salah ngomong lebih tepatnya.
Setelah ada jeda yang mewakili suasana, tiba-tiba secara kompak Marcell dan Andika langsung menolehkan wajahnya menatap Weeby, terdengar suara cewek itu yang tengah menyebutkan sesuatu.
"Marcell, lo harus percaya sama gue, Resti udah hamil. Gue nggak mau lo disuruh tanggung jawab sama cewek itu, karena ini bukan salah lo."
Seperti itulah ucapan Weeby, terdengar sangat lirih. Matanya masih terpejam dengan rapat, hanya suara yang keluar dari bibir pucatnya yang dapat Marcell maupun Andika tangkap.
Marcell sedikit shock mendengar penuturan Weeby, dalam keadaan seperti ini, Weeby masih saja memikirkan tentang dirinya. Marcell tidak bisa berkata-kata. Andika yang tidak tahu menahu tentang ini hanya menunjukkan keningnya yang bergelombang, bola matanya ia pancarkan ke arah Marcell, ia sama sekali tidak paham maksud dari sang anak ketika mengatakan kalimat seperti itu.
Marcell kemudian mendekat, tersenyum tipis ke arah Weeby, lalu telapak tangannya menggenggam tangan Weeby yang sangat dingin menusuk kulitnya.
"Iya, gue percaya kok sama lo, gue udah putus sama Resti." Marcell berkata dengan lembut, senyumannya melebar, ia juga tidak tahu Weeby mendengar dirinya berbicara atau tidak.
Jantung Marcell terasa seperti diremas sangat kencang, entah datang dari mata air matanya sudah menumpuk dipelupuk matanya, mati-matian ia menahannya agar tidak keluar dan membanjiri sepasang pipinya.
Ditatapnya cewek dihadapannya dengan pandangan lamat-lamat, Marcel seketika baru sadar, Weeby memang lebih cantik dari Resti. Kenapa dirinya selalu berbuat menyebalkan kepada cewek itu? Padahal hidup Weeby masih menerima berbagai macam kesulitan. Marcell merasa menjadi salah satu cowok yang paling jahat kepada Weeeby.
Sedetik setelah Marcell tersenyum tipis pada Weeby, ia mengedarkan pandangannya, lalu jatuh pada wajah Andika yang tadi memanggil namanya.
"Om titip Weeby dulu sama kamu ya, om mau pergi ke kantin sebentar."
Marcell mengangguk patuh, setelah sosok laki-laki paruh baya itu hilang dibalik pintu, Marcell mendesah berat, tatapannya ia alihkan ke arah Weeby lagi. Sedari tadi genggaman tangannya masih erat di jari-jari kecil milik Weeby. Sesekali Marcell mengusap punggung tangan Weeby dengan jempol tangannya.
"By, lo harus bangun, lo nggak sayang sama gue? Eh maksudnya lo nggak kasihan sama gue?"
Masih tidak ada respons jawaban dari cewek itu, Marcell kembali mengembuskan napasnya dengan panjang. Sedari tadi napasnya juga terdengar cukup keras karena ruangan ini hanya diisi oleh keheningan yang berhamburan di udara.
Marcell terdiam cukup lama, ia sama sekali tidak beralih menatap wajah manis nan cantik yang terpancar dari wajah Weeby. Kemudian pandangannya ia alihkan untuk mengecek jam berwarna hitam yang membungkus lengannya, ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore lebih tujuh menit.
Marcell baru teringat bahwa motornya masih terparkir di sekolah, dengan cekatan ia menelpon ibunya agar menyuruh Pak Dodo—satpam rumahnya—untuk mengambil motornya di sekolah.
Setelah sambungan terputus, Marcell segera menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu ia memasukkannya kembali ke dalam saku celanannya, dan dilanjutkan duduk disamping brankar yang sekarang ditiduri Weeby.
Sambungan telepon lagi tiba-tiba masuk ke dalam indera pendengaran Marcell, dengan segera Marcell mengambil ponselnya lagi. Lalu, dahinya berkenyit, ponsel miliknya rupanya dalam keadaan mati. Layarnya redup. Tapi, kalau bukan ponsel miliknya, lantas milk siapa?
Ditatapnya ruangan kecil ini, Marcell mengedarkan pandangannya, ia berdiri dari duduknya, mencoba mencari ponsel siapa yang berbunyi. Manik mata Marcell jatuh pada tas milik Weeby, dengan segera ia membuka tas dan mengambil benda pipih itu dan mencoba mengangkat sambungan agar dirinya tahu siapa gerangan orang yang menelpon itu.
Ayah. Itulah satu kata yang terpampang jelas di sana, tanpa membuang waktu lagi, Marcell segera menggeser tombol hijau, dan dalam satu detik setelahnya sambungan terhubung.
"Hallo, om. Ada apa, ya?" tanya Marcell, diletakkan benda berwarna hitam itu di daun telinga sembari menunggu jawaban orang diseberang sana.
"Marcell, kamu bisa jagain Weeby? Om ada urusan sebentar, pasti om balik lagi kok. Tenang aja, om nggak lama."
Dengan seksama, Marcell mendengar itu penuh keseriusan. Akhirnya ia pun mulai menjawab.
"Iya om, nggak pa-pa kok, saya senang bisa membantu om." Marcell kemudian mengulum senyum lebar, senyuman yang siapa melihatnya akan meleleh diwaktu bersamaan.
"Ya udah, makasih, ya? Om titip Weeby, om percaya kok sama kamu."
"Iya om, semoga urusan om berjalan dengan lancar."
"Kalo gitu, Om tutup dulu teleponnya, ya?"
Dengan singkat, Marcell menjawab, "iya om."
Setelah kedua belah pihak setuju untuk memutuskan sambungan satu sama lain, Marcell kembali meletakkan ponsel milik Weeby ke dalam tas. Sekarang ia mempunyai tugas yang sangat penting, menjaga Weeby sesuai perintah Andika.
Anggap saja ini sebagai permintaan maaf darinya karena tidak mendengar kata-kata Weeby saat itu. Walaupun tentu saja itu sangat-sangat tidak cukup.
Kenapa Weeby melakukan hal itu? Menolong dirinya.
Bukannya seharusnya cewek itu harus bodo amat karena Marcell juga selalu usil kepadanya? Sekarang Marcell tahu ada sifat lain yang bersarang di d**a Weeby, ya cewek itu sangat baik hati.