34. MULAI DARI AWAL

1423 Words
Weeby menyerngitkan dahinya, kepalanya masih merasakan pening yang cukup berat, secara perlahan ia membuka kelopak matanya, ia butuh waktu beberapa detik untuk menstabilkan tubuhnya. Ekor matanya lalu menjelajah, menyapu pandangan ke arah ruangan ini. Lalu ia baru sadar kalau sekarang dirinya sedang berada di rumah sakit, sebab selang infus yang menempel di punggung tangannya sudah menjadi salah satu bukti yang cukup kuat. Weeby masih belum memulihkan kinerja otaknya, ia tidak tahu kenapa dirinya bisa ada di sini, ia kemudian mencoba mengingat, lalu pikirannya jatuh pada kejadian saat dirinya bersama dengan Marcell selepas melihat adegan pelukan cowok itu dengan Resti. Desahan berat keluar dari lubang hidung Weeby, kenapa sesakit ini memikirkan kejadian itu? Weeby masih belum menemukan sebab yang kuat kenapa hatinya bisa seperti ini. Beberapa detik setelah itu, Weeby menggelengkan kepalanya, pertanda ia tidak mau memutar otak tentang kejadian itu jika hatinya tidak ingin menerima rasa sakit, lagi. Setelah memejamkan matanya cukup lama, Weeby kembali membukanya, kemudian ia mengerjap berulang kali saat pandangannya menangkap sosok Marcell yang sedang tertidur pulas di sampingnya, tangannya digunakan sebagai alas kepalanya. Kenapa di sini ada Marcell? Bahkan Weeby baru melihat cowok itu. Cukup lama sosok Marcell terancap di manik mata Weeby, pandangannya masih tidak mau beralih dari sana. "Marcell, kenapa lo ada di sini?" ucap Weeby dengan lirih, ia kemudian mencoba menegakkan tubuhnya. Setelah berhasil, ia menarik bantal dan diletakkan di kepala ranjang untuk dijadikan alas kepalanya. Marcell masih belum sadar dari tidurnya, tampak terlihat dari gestur wajahnya bahwa Marcell kelelahan, tidurnya sangat pulas. Weeby menarik sepasang bibirnya ke atas membentuk senyuman yang menyerupai bulan sabit. Entah kenapa hatinya sangat sejuk melihat cowok itu. Marcell bahkan terlihat lebih tampan saat merapatkan matanya seperti itu, tangan Weeby kemudian bergerak, lalu berakhir di rambut Marcell yang sedikit menutup wajahnya. Disibakkan rambut hitam itu ke belakang. Sekarang Weeby dapat melihat dengan jelas raut wajah Marcell. Kulit wajahnya yang putih dan bibirnya yang sedikit merah, menurut Weeby itu sangat manis dan ada kesan tampan yang berlebih bagi dirinya. Weeby langsung tergelak, menjauhkan tangannya dari wajah Marcell setelah mengusap pipinya dari sapuan jempol tipisnya saat Marcell menggerakkan kepalanya karena merasa ada sentuhan yang mendarat diwajahnya. Untuk sesaat, Weeby menahan napasnya. Perlahan, kelopak mata yang semula terpejam dengan sempurna kini terbuka. Marcell belum memulihkan keadaannya, sesekali ia masih menguap disela meregangkan otot-ototnya. Kedipan matanya semakin cepat saat melihat cewek dihadapannya ini sedang menatap datar ke arahnya. Marcell masih begitu shock menyadari Weeby yang sudah bangun dari pingsannya. Ada rasa lega sekaligus terkejut yang menyerang tubuhnya. "Weeby, lo udah bangun?" tanya Marcell, ditatapnya Weeby lurus-lurus, ia memang tidak salah, Weeby memang sudah sadar. Kursi yang sedang didudukinya ia geser agar lebih dekat dengan Weeby. Entah kenapa Marcell sedikit canggung menanggapi situasi kali ini. Hingga suara serak dari bibir Weeby yang masih pucat masuk ke telinga Marcell, dengan sigap Marcell mendengar perkataan Weeby. "Marcell, gue pingsan, ya? Elo yang bawa gue ke sini?" Marcell segera mengangguk kecil, perasaan bersalah masih menyerangnya bertubi-tubi hingga membekas dan menciptakan luka segar yang menganga dengan lebar. Weeby sedikit terkesiap sembari membulatkan matanya saat telapak tangan kekar milik Marcell membungkus tangannya yang kecil. Weeby tidak bisa berkata-kata, perlakuan Marcell sungguh membuat ritme jantungnya berdegup semakin cepat. "By, maafin gue. Gue banyak salah sama lo." Marcell berkata dengan lembut, tetapi ia tidak berani menatap sepasang sorot mata milik Weeby, ia terlalu lemah untuk menanggapi keadaan yang sedang tercipta ini. "Makasih, elo udah bawa gue ke sini." Marcell mengangkat dagunya, ekor matanya kini memapar ke arah wajah Weeby, ditatapnya wajah cantik itu lekat-lekat yang masih tersenyum dengan riang. Marcell hanya mendenglus, lalu ia ingat sesuatu, dan ia pun kembali berkata, "tadi bokap lo juga ke sini kok." Sempat terkejut menangkap penuturan Marcell barusan, tetapi Weeby bisa menetralisirnya kembali, ia mengangguk lemah, ia tidak terlalu berharap kedatangan laki-laki paruh baya itu yang sudah membuat hidup Weeby menderita sampai masuk ke rumah sakit seperti ini. "Bokap lo juga nangis, minta maaf sama lo, gue dapat lihat kalo bokap lo memang benar-benar nyesel atas perbuatan dia ke elo By." Bahkan, Weeby masih belum menanggapi itu dengan tegas, perasaannya masih saja sakit, tidak mungkin juga ayahnya akan berubah secepat kilat seperti itu. Weeby rasa, itu adalah rasa belas kasihan yang terjadi sesaat. Buktinya, sekarang Weeby tidak melihat sosok ayahnya berada disekitarnya, kan? Kalau sayang, sudah dipastikan sekarang Andika ada di ruangan ini dan menunggu dirinya sadar, lalu ia langsung menyerbu minta maaf. Setelah itu, mereka berdua sama-sama diam, asik bergelut dengan pikiran liar masing-masing. Namun, suara Marcell yang memecah keheningan mengalihkan fokus Weeby. "Gue janji sama lo, gue nggak akan gangguin lo lagi. Cukup sampai ini aja." Weeby dapat melihat dari sepasang manik mata Marcell bahwa apa yang barusan Marcell katakan itu sungguh-sungguh, intonasi bicaranya juga terdengar sangat menyakinkan. "Nggak usah berubah, cukup jadi diri lo sendiri. Nggak usah tertekan hanya karena gue. Gue nggak mau itu," balas Weeby terdengar jelas dikedua telinga Marcell, sedetik setelah perkataan Weeby melayangkan di udara, Marcell langsung menggeleng sebanyak dua kali. "Gue nggak bisa, ini karena kemauan gue sendiri By." "Lo nggak pulang Cell?" Marcell mencebikkan bibirnya kesal, Weeby malah memutar topik pembicaraan, Marcell tidak suka hal itu. "Gue nggak tega ninggalin lo di sini sendirian, tadi bokap lo juga titip gue supaya jagain lo. Jadi lo tenang aja, nggak usah khawatir soal ini. Karena lo sekarang menjadi prioritas utama gue." Marcell tersenyum singkat, sementara Weeby menyerngitkan dahi saat kata "prioritas" melayang dari bibir Marcell, ia merasa sangat aneh dengan kata-kata itu, tetapi Weeby menggelengkan kepalanya karena ia tidak mau berpikir yang tidak-tidak. "Nggak Marcell, lo harus pulang. Nyokap lo pasti juga khawatir sama lo, lebih-lebih lagi Resti, pacar lo." Dengan satu hentakan, Marcell menarik kursi ke belakang hingga kaki kursi yang bergesekan dengan lantai langsung berbunyi dengan keras nan nyaring. Kemudian, Marcell mencondongkan wajah tampannya mendekat ke arah wajah Weeby hingga kedua hidung mereka saling bertubrukan. Seketika Weeby menahan napasnya dan menelan salivanya berulang kali. Penyakit jantungnya sudah kumat lagi jika berdekatan dengan Marcell seperti ini. "Gue nggak mau lo bahas cewek itu lagi, karena gue udah benci banget sama dia, sekarang gue nggak nganggap Resti sebagai pacar gue lagi, cukup hanya elo yang sekarang harus gue pikirkan." Udara hangat yang terhembus dari lubang hidung Marcell dapat Weeby terpa diwajahnya. Aroma mint sudah mulai semerbak, Marcell selalu saja membuat Weeby mati kutu. Keesokan harinya. Rupanya memang benar, Andika sudah berubah, hal itu membuat Weeby tersenyum menahan haru. Selama ini yang ia tunggu akhirnya tiba, ayahnya kembali memiliki perilaku yang sayang kepadanya. Weeby masih tidak bisa berkata-kata, ini terlalu mendadak bagi dirinya. Bagaimanapun ia harus berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan. Pagi ini, Weeby tampak sangat semangat, diambilnya langkah panjang untuk menuruni anak tangga. Setelah ia sampai di dapur, Andika tengah menatapnya sembari memperlihatkan sepasang sudut bibir yang terangkat ke atas. Walaupun rasa canggung masih saja bersarang di dadanya, tetapi Weeby tidak bisa menahan kegembiraannya. "Weeby, sini duduk, kita makan bareng." Weeby hanya mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan itu, digesernya kursi ke belakang, lalu sedetik kemudian ia mendudukkan bokongnya di sana. Setelah terduduk dengan manis, tatapan Weeby kembali teralih dan jatuh pada wajah ayahnya. "Makan yang banyak, ya?" Andika mengambil beberapa lauk dan meletakkan dipiring Weeby. Menurut Weeby, lauk itu terlalu banyak ketimbang nasinya. Tentu saja Weeby tidak akan habis memakan itu semua, tetapi apa boleh buat, Weeby tidak bisa menolaknya. Hanya senyuman tipis yang sedari tadi ia perlihatkan. Weeby sangat rindu keadaan seperti ini, terlebih lagi rindu dengan mendiang ibunya. Andaikan saja ibunya sekarang ada di sini, ikut kumpul sarapan pagi, pasti Weeby akan mendapatkan limpahan senyuman yang sangat lebar. Keheningan kembali tercipta, hanya terdengar suara dentingan dari sendok yang bersentuhan dengan piring. Weeby asik mengunyah makanannya begitu lahap, sementara Andika juga sama melakukan kegiatan itu, hanya saja laki-laki paruh baya itu sesekali melirik anaknya. Ada rasa sesal yang masih mengganjal di ulu hatinya. "Weeby?" panggil Andika begitu lirih, diletakkan sendoknya diatas piring, lalu ia menatap Weeby dengan pandangan teduh. "Iya yah, ada apa?" "Maafin ayah, ya? Ayah benar-benar menyesal nyiksa kamu seperti itu, bahkan sampai kamu masuk rumah sakit." Andika berkata dengan suara yang bergetar, bersamaan dengan itu, wajahnya menunduk ke bawah, dlia malu bukan main kepada Weeby. Hatinya sudah terkoyak. Bersi keras Andika menahannya, tetapi nyatanya tidak bisa. Tanpa sadar, air mata laki-laki itu sudah turun, tidak mau dilihat oleh sang anak, ia segera menyekanya. "Weeby udah maafin ayah kok, sebelum ayah meminta maaf, Weeby juga udah maafin Ayah. Ayah nggak usah ngomongin itu terus, sekarang kita mulai aja dari awal, jangan pikiran apa yang udah berlalu. Ayah, mau, kan?" Andika langsung tersenyum lebar. "Iya sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD