"Uhuk-uhuk."
Weeby terperangah kaget, akibat gebrakan meja dibangkunya membuat dirinya tersedak oleh air mineral yang sedang ia minum. Sekarang, air itu sedikit tercecer di seragam dan bangkunya.
Memutar tutup botol dengan rapat dan meletakkannya di kolong mejanya, Weeby akhirnya menatap dengan sorot mata super tajamnya ke arah sumber suara. Sebelum menengok ke samping, ia sudah menebak siapa gerangan orang yang membuat gaduh pada pagi hari seperti ini.
Begitu tatapan Weeby bertubrukan dengan orang itu, Weeby lantas menjulingkan matanya, selalu saja ia kesal ketika berhadapan dengan cowok seperti ini.
"Jam tujuh lebih lima belas menit, bagus! Rekor baru lo gangguin gue!"
Memang benar, ini kali pertama Marcell menggangu Weeby pada pagi hari seperti ini, bahkan penampilan Weeby yang masih segar sekalipun.
Tidak merasa bersalah, Marcell hanya menunjukkan seringai kecilnya, nyengir tanpa dosa.
"By, gue minta bantuan lo dong."
Tanpa disuruh, Marcell segera duduk dihadapan Weeby, menatap cewek dihadapannya dengan mata yang menancap begitu dalam.
"Bantuan? Apaan?" Weeby langsung tersentak, ikut menatap wajah Marcell yang terus saja menunjukkan raut memelasnya.
"Lo mau tolongin gue, kan?"
"Apa dulu, gue nggak janji. Kalo gue iyain nanti lo minta aneh-aneh lagi."
Gelengan kepala cepat dari Marcell secepat kilat merubah ekspresi Weeby menjadi bingung, sampai kedua alis tebal milik cewek itu hampir saja menyatu.
"Nggak mau, pokoknya lo harus turutin kemauan gue, kali ini aja By," mohon Marcell sekali lagi, kali ini lebih meyakinkan, tanpa menunggu, Marcell meletakkan telapak tangan besarnya diatasi punggung tangan Weeby, lalu menggenggamnya seerat mungkin. Setelah sadar, beberapa detik kemudian Weeby langsung menepisnya secara kasar.
"Ya udah apaan?"
Marcell sedikit tersentak, tidak percaya Weeby setuju, namun ia berusaha mengubah ekspresinya agar tidak terlalu terkejut. Memang semudah itu bagi Marcell.
"Eh tunggu, kenapa gue harus bantuin lo, lo aja sering gangguin gue, enak aja lo minta tolong gitu aja, nggak bisa, gue nggak jadi nolongin lo." Weeby kini menyerbu, menyemburkan kata-katanya yang begitu panjang. Ia berubah pikiran..
"Jangan gitu dong By, lo emang nggak kasihan sama gue?"
Kini kening Weeby terlihat memunculkan kerutan yang begitu jelas, menyipitkan sudut matanya, menjelajah raut Marcell dengan curiga, Weeby ingin mencari celah dimana ada kebohongan dari raut wajah itu.
"Buat apa gue kasihan sama cowok ka—"
Weeby langsung tersekat, kata-katanya tertahan diujung tenggorokannya, dadanya memanas, serta napasnya yang mendadak terhenti.
Ketika Marcell menunjukkan tampilan wajahnya dengan ekspresi puppy eyes, secara mendadak, Weeby langsung mengatupkan rahangnya, mengunci mulutnya rapat-rapat.
Dua detik berlalu, Weeby mengerjapkan matanya, wajah Marcell dengan ekspresi seperti itu malah membuat Weeby jijik. Bagi dirinya, kesan pertama kali saat melihatnya tadi, Marcell terlihat sangat konyol, tidak pantas raut wajah seperti itu ditancapkan pada wajahnya.
"Ya udah, lo mau apa?" sentak Weeby pada akhirnya, malas meladeni Marcell lagi lebih tepatnya, walaupun pada titik terakhir Weeby akan menolak, sudah pasti dan dapat diprediksi bahwa Marcell tidak akan menyerah, usaha cowok itu memang patut diapresiasi. Selalu saja menunggu si lawan bicara mengalah, dan Weeby pasti korban semua itu.
Binar wajah Marcell langsung menginterupsi, menegakkan tubuhnya begitu lapang, senyuman yang tercetak diujung bibirnya seakan membuat cowok itu adalah manusia paling bahagia di muka bumi ini.
"Yakin lo mau bantuin gue?" Marcell masih bertanya lagi, sekadar memastikan, ia tidak mau terjebak dalam tipu muslihat yang kini Weeby mainkan. Wajah Weeby seakan menjadi objek satu-satunya di sini, Marcell terus menatap Weeby lurus-lurus hingga Weeby tampak terlihat risih.
"Cepetan, pikiran gue cepet berubah soalnya." Weeby menyentak begitu sarkas, air mukanya masih terlihat sama, selalu menampilkan wajah juteknya pada Marcell.
Terkadang Marcell juga heran kenapa Weeby selalu garang kepadanya, Marcell memang tahu bahwa dirinya sering kali merenggut emosi cewek dihadapannya ini, tapi yang ia pikirkan dan merasa aneh, kenapa Weeby setiap saat bersikap seperti itu. Tapi, ketika Marcell menatap diam-diam Weeby yang mengobrol dengan orang lain, cewek itu tampak biasa, raut wajah jutek yang sering diperlihatkan padanya sama sekali tidak muncul dihadapan orang lain. Tentu saja, tidak bisa dielakkan lagi, ataupun dienyahkan, Marcell sudah menahan kekesalan itu. Sebegitu marahlah Weeby pada dirinya?
Lima menit setelah Marcell bercerita, Weeby mencoba berpikir kembali, mencerna satu persatu perkataan Marcell agar terserap ke dalam otaknya, memijit keningnya yang terkadang merasakan pusing. Namun, ia sekarang paham tentang itu, tentang masalah Marcell, masalah yang menurut Weeby cukup konyol dan bahkan tak masuk akal.
Weeby lantas menggelengkan kepalanya takjub, tak bisa dienyahkan lagi, sikap Marcell itu membuatnya geli sekaligus tak bisa menjabarkan dengan kata-kata. Seringkali Weeby menahan tawanya, dan berakhir diujung lidah.
Setelah cukup lama saling berdiam diri, Weeby menengadah kepalanya, kemudian matanya berubrukan dengan sorot mata Marcell yang terlihat sedang menerawang ke arahnya, cowok itu pasti menunggu jawaban dari Weeby, seakan perkataan yang akan Weeby layangkan adalah takdir hidupnya.
"Gue bisa bantu," jawabnya kilas, tanpa menunggu satu menit ke depan, Marcell sudah menemukan senyumannya pada detik pertama setelah Weeby melayangkan kata seperti itu. Marcell bersorak heboh, mengucapkan terima kasih sebanyak puluhan kali, bahkan telinga Weeby tampak sakit menerima celotehan cowok itu.
"Nggak usah lebay, gue cuma kasihan sama elo, ya!"
"Bodo amat, yang penting lo udah janji, harus tepatin lho By. Elo udah janji, dosa hukumnya kalo lo mengingkari. Tuhan nanti marah, pokoknya lo nggak boleh membatalkan itu semua, enggak boleh!"
"Buset, bawel amat sih lo, iya-iya gue janji."
Untuk kali sekian, Weeby sebal dengan sikap Marcell yang nyeleneh itu, buat apa coba berbicara sepanjang itu, toh Weeby pasti akan menepati, ingkar janji salah satu bukan nama tengahnya. Jadi, tidak usah diragukan lagi.
"Tapi ada syaratnya!"
Kembangan senyum Marcell yang begitu lebar, dalam satu detik, langsung pupus melayang ditelan waktu, merubah ekspresi secepat kilat, ia menatap Weeby dengan pandangan teduh, pipinya sudah mengembung menahan kesal setelah perkataan Weeby itu.
Menghela napasnya dengan kesal, Marcell bertanya jutek, "apaan?" Wajahnya sekarang merengut.
"Urusan sampah gimana?"
"Nggak usah pikirin lagi, gue udah cerita semuanya sama Pak Subroto, jadi dia cabut hukuman itu," jelas Marcell tampak santai, ia sudah mengira bahwa Weeby akan meminta syarat yang sangat tidak masuk akal. Nyatanya cuma hal itu.
"Kok bisa?" Weeby tidak bisa menghilangkan keterkejutannya, perkataan Marcell itu membuatnya tersekat, tenggorakannya mendadak kekeringan bak padang pasir.
Setahu Weeby, Pak Subroto adalah guru yang tidak mudah dirayu, apalagi ini soal hukuman, guru itu tidak segan-segan akan memberi keringanan bagi siswa yang menerima hukuman maut darinya itu. Tapi, apapun yang Marcell katakan pada beliau patut sekali diacungi dua jempol.
"Marcell gitu lho, nggak usah diragukan lagi," ujar Marcell heboh, membusungkan dadanya ke depan, menepuk-neluk d**a bidangnya beberapa kali, selalu saja melakukan hal itu ketika menyombongkan diri.
Weeby yang melihat itu seketika saja langsung mencibir.
"Pokoknya lo nggak boleh lupa By, besok uangnya harus dibawa, gue malu soalnya sama Resti."
"Iya, dua ratus lima puluh ribu, kan? Nggak usah ngomong mulu deh, gue bosen dengernya."
"Ya kali lo lupa gitu." Marcell mendadak cemberut.
"Nggak akan Marcell, lagian lo sok-sokan ngajakin pacar lo ke kafe padahal dompet aja kosong melompong, dasar!"
"Gue udah jelasin ke lo, dompet gue ilang kemarin!" Marcell menyentak, memukul kepala Weeby dengan buku milik cewek itu, lalu lekas bangkit dari kursi dan siap pergi ke bangku miliknya lagi.
"Marcell, gue nggak mau bantuin lo, enggak akan!" Weeby berkata keras-keras.
Setelah itu, jam pelajaran pun dimulai. Waktu bergerak begitu cepat untungnya, Weeby langsung keluar dari kelas ketika mendapatkan pesan teks singkat dari Resti.
Detik kian larut menjadi menit, Weeby semakin menambah derap langkah kakinya, pacuan tenaganya ia kerahkan untuk menyeret kaki kecilnya menuju rooftop sekolah.
Entah ada perihal soal apa tiba-tiba Resti meminta dirinya untuk menemuinya di sana, Weeby rasa, ia sama sekali tidak ada masalah dengan cewek itu.
Awalnya, Weeby menolak mentah-mentah, namun kemauan Resti yang begitu memaksa membuat Weeby menghela napas frustrasi.
Weeby berjalan dengan tergesa sembari memikirkan hal lain, sampai Weeby tak sadar telah sampai di tempat tujuan. Sorot matanya terus mengedar, dan ia menemukan Resti yang tengah berdiri, memandangi hiruk pikuk kepadatan kota yang terlihat dari atas sini, rambut panjangnya terlihat berterbangan mengikuti ke mana arus angin pergi. Beberapa menit Weeby memandangi punggung Resti.
Menyadari ada suara yang menginterupsi indera pendengarannya, Resti segera membalikkan badannya lalu menemukan Weeby yang berdiri tidak jauh darinya. Kontak mata diantara mereka kemudian terjalin beberapa detik, sampai senyum remeh milik Resti tercetak begitu jelas.
Weeby masih bergeming di tempat, tetapi ia tidak berniat memindahkan bola matanya yang masih terus menancap dimanik mata Resti, Weeby terus memandanginya, seakan dari sorot mata yang dihunuskan, Resti bakal mengerti kalau dirinya tengah membutuhkan kejelasan kenapa Resti menyuruh menemuinya di tempat ini.
"Bagus, gue suka lo yang nggak ingkar janji buat ketemu gue di sini." Suara Resti menggema, sekaligus menjadi pemula pembicaraan awal, ia melangkah maju, mendekat ke arah Weeby yang berjarak tiga meter dihadapannya.
Setelah sampai di tempat, Resti tersenyum sinis, terus memandangi Weeby dengan mata yang memancar penuh penekanan.
"Itu bukan tipe gue," lugas Weeby cepat. Ikut menatap Resti lamat-lamat. Ia berusaha untuk tidak takut dengan cewek dihadapannya ini.
Jelas sekali, decihan singkat dan putaran bola mata sinisnya terlihat dari guratan raut wajah Resti.
"Lo nggak tanya kenapa gue nyuruh lo buat nemuin gue di sini?" Resti langsung melempar pertanyaan tentang tujuan awal meminta Weeby menurut pada kemauannya
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Weeby mengembungkan pipinya, memang ia tidak ada niatan untuk bertanya, bagi Weeby, ini sama sekali tidak penting. Lagipula, yang membutuhkan dirinya di sini bukannya Resti sendiri? Jadi, sudah pasti Resti yang ada perlu dengan Weeby, bukan sebaliknya.
Kalaupun tanpa Weeby bertanya sekalipun, Resti pasti akan menjelaskan. Lewat tatapan matanya, Resti sudah tahu bahwa Weeby sama sekali tidak berminat pada pertemuan ini. Memang tidak salah sepenuhnya, mereka berdua nampak tidak akrab.
"Gue yang bakalan jelasin, dan lo sebaiknya dengerin ini baik-baik."
Weeby mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menyelipkan anak rambutnya yang terbang terbawa angin didaun telinganya, lalu ia mempertajam pendengarannya, serta pancaran matanya terus memperhatikan gerak gerik Resti.
Weeby tidak ada niatan untuk angkat bersuara, sekedar menganggukkan kepala saja rasanya malas. Apapun itu, yang selalu berhubungan dengan Resti, mendadak Weeby sangat ingin mengubur dirinya hidup-hidup. Bagi Weeby, Resti hanyalah benalu yang menempel di Marcell.
Setelah sepuluh detik hening menguasai aura keadaan, Resti kembali menghujani Weeby dengan tatapan super tajamnya, sudut matanya menyipit, terus menatap Weeby lamat-lamat, sementara yang menjadi objek perhatian itu semakin risih.
Menurut Weeby, Resti terlalu banyak tingkah, kebanyakan basa-basi, membuat dirinya berdecih dan berdecak sebal. Waktu terus mengulur, tetapi Resti belum angkat bicara.
"Lo mau ngomong apa sih?!" sentak Weeby akhirnya, merasa sudah kepalang sebal.
Pada akhirnya, Weeby yang harus kalah, ia melempar pertanyaan dengan sarkas dan penuh emosi lantaran Resti terus mengulur waktu, padalah Weeby tidak mempunyai waktu luang sebanyak itu.
Terdengar tawa renyah yang membumbung tinggi dan menerpa di udara, tawanya begitu keras, Weeby yang melihat dan mendengar itu lantas bergidik ngeri, bulu kuduknya meremang.
"Lo nggak sabar, ya?" Resti menggoda Weeby, lalu tersenyum samar. Lipatan tangannya di depan dadanya terlihat seperti orang yang paling berkuasa di tempat ini. Jangan salahkan Weeby kalau sekarang ia kesal setengah meninggal.
Bola matanya ia lempar dengan malas, Weeby akhirnya berkacak pinggang, sikap Resti yang seenaknya seperti itu sungguh merenggut kesabaran dan gejolak emosi Weeby. Kadang, Weeby tak habis pikir kenapa Marcell bisa kepincut sama cewek macam Resti ini.
"Gue bakal pergi sekarang kalo lo nggak ngomong juga," ancam Weeby, lalu ia berbalik, baru satu langkah menjejalkan kakinya untuk menjauh, lantas harus tertahan karena suara Resti menginterupsi untuk diam diam di tempat.
Weeby menurut, membalikkan badannya, namun pancaran raut wajahnya sudah merah, benar dugaan Resti sebelumnya, Weeby pasti marah.
Tidak ada lagi tawa nyaring dan keras, kini air muka Resti mendadak berubah dalam hitungan detik. Aura mencengkram tiba-tiba masuk ke selubung raga Weeby.
Beradu dalam tatapan sengit terus saja terpancar, deru napasnya terdengar sangat memburu dan berlomba-lomba, serta dua cewek itu terus menghunuskan sorot mata elangnya untuk menusuk satu sama lain.
Weeby sudah menelan salivanya dengan susaha payah, tenggorakannya terasa tersekat.
"Gue butuh penjelasan, bukan kayak gini."
Weeby mengutuk Resti, sungguh tak bisa dimungkiri bahwa Resti sangat menyeramkan. Dari pancaran matanya itu, Weeby seperti dapat menerangkan bahwa didalam sana tersimpan dendam yang mendalam. Tapi apa? Weeby sendiri bahkan tak tahu.
Weeby pikir, selama ini, hidupnya sama sekali tidak punya urusan dengan Resti. Jadi, apa yang harus dipermasalahkan saat ini?
Memang, Weeby tahu dan sangat paham sekali. Tindakan Resti seperti ini pasti ada alasannya, cewek itu menyuruh dirinya menemuinya pasti ada perihal penting yang harus dibicarakan oleh empat mata. Toh, tidak masuk akan jika tiba-tiba Resti mengangkat suara dan mengatakan bahwa ua membenci Weeby tanpa alasan.
Tempurung kepala Weeby hampir saja meledak, ia kemudian memekik keras, tatapan menghujam dari Resti membuatnya kesal, tatapan itu yang sungguh meremas jantungnya. Jika Resti mau menjelaskan, kenapa harus seperti ini? Kenapa Resti tak kunjung mengangkat bicara?
Rasanya Weeby ingin kabur saja dari rooftop ini, sudah cukup lama Weeby terpaku di tempat.
Aura mencengkam tidak kunjung surut dan menghilang ditelan waktu, semakin diresapi, semakin pula aura itu menyelubung ditubuh dan menyatu begitu saja.
Untuk kali sekian, Weeby menelan ludahnya, sesekali memejamkan matanya karena lega, tak sampai tiga detik Weeby membuka kembali kelopak matanya, lalu sorot mata Resti masih sama, bahkan sepertinya tidak ada niatan untuk berpindah tatapan.
Seperti patung, memang benar dengan perkataan itu. Resti terlihat berdiri dengan kokoh, tanpa ada gerakan yang menginterupsi, hanya saja rambutnya yang bergelombang mengikuti ke mana angin pergi menjauh. Bahkan, Weeby sama sekali tidak melihat Resti mengedipkan mata, selama itu pula Weeby terus memergoki Resti yang memandanginya dengan pancaran mata memburu.
Namun, pada detik selanjutnya, Weeby langsung tersentak kaget, jantungnya hampir saja keluar dari tempatnya, oksigen yang melayang-layang disekitar seketika lenyap tak bersisa.
Weeby memandangi Resti, napasnya sudah tersengal-sengal, tenggorakannya semakin kering. Perkataan Resti yang melayang membuat Weeby berpikir kritis.
"LO NGGAK USAH GANGGUIN PACAR GUE, INI PERINGAT TERAKHIR BUAT ELO!"