Hanya membisu, Marcell tetap melakukan hal itu, tidak ada niatan untuk mengangkat bicara. Sekadar membalas tatapan Erza saja rasanya juga tidak mungkin. Sorot mata Marcell masih lurus menatap ke lantai.
"Gue tahu, hubungan elo sama Weeby kayak apa, tapi apa cara seperti ini yang lo lakukan? Lo harus ingat, siapa orang yang membuat Weeby seperti itu? Lo! Cuma lo doang Marcell!"
Tak henti-hentinya terus menghujam, memaki Marcell penuh gertakan, tidak ada rasa kasihan yang tertanam di tubuh Erza.
"Gue kecewa sama lo, selain nggak bertanggung jawab atas apa yang lo perbuat, lo juga bikin gue muak Marcell." Erza menunjuk dadanya. "Lo menghilangkan kepercayaan gue, sekaligus lo juga udah bohongin gue."
Erza lalu tersenyum samar, "mungkin, kalo lo ngomong jujur ke gue, gue nggak bakal semarah ini."
Erza sudah puas menceramahi Marcell, ia mengendurkan cengkeraman tangannya, dan Erza berharap Marcell dapat mencerna apa yang dikatakannya barusan. Erza juga berharap jika Marcell turut menyesal apa yang telah diperbuat.
Novan kini maju satu langkah mendekat ke arah Marcell, dan dibarengi dengan Erza yang perlahan menjauh sembari menenteng ranselnya keluar dari dalam kelas.
"Gue juga kecewa sama lo Cell, ini bukan Marcell yang gue kenal. Sori, kali ini gue berpihak pada Erza, tanpa sadar, lo udah bikin tiga orang kecewa dalam satu waktu."
Hanya itu, kemudian Novan memilih pergi ke bangkunya, meninggalkan Marcell yang masih mematung, sorot matanya masih sama. Ya, Marcell sudah mengecewakan banyak orang. Dia telah membuat Uti menangis, Erza yang marah besar karena kata-katanya tidak didengar oleh dirinya, sekaligus Weeby, cewek yang terlalu banyak mendapatkan kekecewaan itu.
Merenung sesaat, Marcell tidak ingin membuat kesalahan yang sama, tanpa menunggu dan mengulur waktu lebih lama lagi, ia menggeser kursinya ke belakang hingga suara deritan kursi yang bergesekan dengan lantai sempat terdengar.
Tanpa aba-aba, ia langsung mengangkat bokongnya, berdiri, dan dilanjutkan bergegas ke luar kelas. Tidak lupa, ia menenteng tas. Saat diambang pintu, langkah Marcell tercekat, sementara sorot matanya menatap datar.
"Gue ada urusan bentar,'" jawab Marcell cepat, ia sudah tahu pasti Resti akan bertanya soal kepergian dirinya ini.
Mulut Resti yang sudah sedikit terbuka, ia paksa katupkan kembali karena Marcell sudah berujar tanpa ditanya. Namun, merasa janggal dan bersikap aneh, ia mengerutkan keningnya. Resti berniat mau bertanya Marcell mau pergi ke mana, namun Marcell sudah berjalan cepat mendahului dirinya.
Langkahnya yang cepat membuat Resti mengerucutkan bibir, Resti terus memandangi Marcell yang semakin menjauh, detik selanjutnya, setelah Marcell menghilang di pintu kelas, napas Resti terdengar sangat gusar.
Resti memilih kembali duduk dibangkunya, padahal bel pulang sudah menggema, sudah sedikit pula siswa yang berkeliaran di sekolah.
"Van, Marcell mau ke mana tuh?" Resti bertanya kepada Novan.
Novan menoleh, ponselnya ia letakkan disaku celananya, lalu ia berucap, "mana gue tahu, tanya aja sendiri sana," jawabnya pelan.
Selepas kata itu meluncur dengan mulus, Novan langsung terfokus lagi dengan benda pipih itu lantaran baru saja berdering tanda ada pesan masuk, tak lama kemudian ia berlalu, sementara itu, Resti menggembungkan pipinya. Tidak Marcell, tidak juga Novan, semua sama di mata Resti, aneh.
Sorot mata Resti menjelajah lagi, mencari seseorang yang sepertinya gampang untung ditanya, lalu tatapannya jatuh pada Uti, Resti sudah tau bahwa cewek tambun satu ini jarang ngomong kepadanya, tapi Resti akan mencobanya, senyum Resti mengembang penuh keyakinan.
"Uti, elo tau tadi Marcell mau ke mana?"
Pertanyaan yang sama meluncur lagi setelah Resti beranjak dari kursi dan menuju bangku Uti.
Uti masih enggan mengangkat kepalanya dari meja, ia masih sedih, dan ini semua salah Marcell. Uti sedang sedih lantaran mengasihani Weeby.
"JANGAN TANYA GUE!"
Ekspetasi Resti seketika pecah begitu saja, Resti terpelonjak kaget, dadanya naik turun, matanya mengerjap, lalu ludahnya sudah ia telan kembali.
Bahkan, Uti yang notabene cewek introvert pun berkata begitu kasar padanya. Benar-benar tidak sesuai harapan. Resti kemudian kembali ke tempat semula, mulutnya bungkam seribu bahasa, enggan mau melempar pertanyaan lagi karena Uti sedang berubah menjadi beruang kutub.
Sementara itu, Marcell berjalan begitu cepat. Tidak sabar rasanya, Marcell memilih untuk mempercepat langkahnya lagi, dan kali ini ia bahkan berlari, menyalip kerumunan disela siswa-siswi yang berlalu lalang, tidak menghiraukan dengan tatapan aneh dari mereka, tujuan Marcell hanya satu, yakni memperbaiki keadaan, dan kalau pun perlu, Marcell bakal meminta maaf pada dia, dia yang telah dilukainya.
Marcell pergi ke tempat di mana ia menaruh Weeby, namun ketika kaki panjangnya sudah menyeretnya ke tempat itu, Marcell langsung tercekat, Weeby tidak ada di sana.
Marcell baru saja teringat akan sesuatu hal. Ya, sudah pasti Uti yang membawa Weeby pergi ke UKS lantaran cewek itu sudah melampiaskan kekesalannya pada dirinya sembari menangis pula.
Detik berikutnya, kaki kuat milik Marcell membawanya pergi ke UKS, napasnya sudah memburu. Setelah ia sudah sampai di ambang pintu, Marcell menyeka keringat yang keluar dari pelipisnya, tidak sampai di sana, ia juga menetralkan napasnya kembali. Marcell tidak boleh nampak ngos-ngosan.
Weeby masih tak sadarkan diri, dan Marcell tidak mungkin salah melihat, Marcell kemudian mendekat, dipandangnya wajah cantik milik Weeby.
Perasaan bersalah masih menyerangnya bertubi-tubi. Marcell akhirnya mengambil duduk, tetapi wajahnya tidak mau berpaling dari Weeby.
Setelah itu, menit berlalu begitu cepat. Weeby pun sudah sadarkan diri. Dan Marcell langsung mengantarkan Weeby untuk pulang ke rumahnya.
"Marcell udah, gue turun di sini aja," ucap Weeby sembari menepuk-nepuk pundak Marcell agar cowok itu menuruti kemauannya untuk memberhentikan motornya tidak sampai di depan gerbang rumahnya. Weeby hanya takut jika ayahnya melihat.
Sebenarnya, Weeby keberatan diantar seperti ini oleh Marcell. Tapi cowok itu memaksanya, Marcell juga sudah minta maaf dengan tulus, dan Weeby jadi tidak tega dengan itu. Dan Weeby juga takut sih Resti bakal mengamuk, tapi Marcell memenangkan dirinya agar tidak perlu repot-repot memikirkan tentang hal itu.
"Yakin? Kaki lo udah sembuh?" Marcell masih sedikit curiga saat Weeby mengatakan bahwa keadaannya sudah kembali pulih seperti sedia kala.
"Bawel banget lo, buruan pergi, makasih udah nganterin gue pulang," jawab Weeby, nada suaranya masih setengah jutek, bagaimanapun juga, Marcell tetapkan cowok yang Weeby benci.
"Enggak, gue yang makasih karena lo udah ijinin gue buat nganterin lo pulang By."
Walaupun terasa aneh, Weeby tetap mengiyakan, ia hanya tidak mau memperpanjang masalah. Ya, soal itu Weeby sama sekali tidak tahu jika Marcell melakukan sesuatu hal buruk kepada dirinya.
Marcell juga memohon kepada Erza, Novan, maupun Uti sekalipun untuk membungkamkan mulutnya serapat mungkin, mereka tidak boleh ember mulut.
Awalannya Uti menolak, namun selama Marcell meyakinkannya kembali, Uti akhirnya kukuh dan merasa kasihan juga pada Marcell, terpaksa juga ia mengangguk setuju walaupun sepenuhnya ia belum memaafkan tingkah Marcell yang seenaknya seperti itu.
"Gue balik dulu," pamit Marcell, bertepatan dengan gas yang ditarik dan langsung melaju begitu cepat menjauh dari Weeby.
Sesaat Weeby memandangi Marcell yang semakin menjauh, napasnya ia hembuskan kembali, lalu mulai melenggang menuju rumahnya.
Keesokan harinya sepulang sekolah.
"Lo masih marah sama gue Res?" Marcell menatap cewek didepannya dengan sorot mata lurus, sementara yang ditatap hanya memutar malas kedua bola matanya. Kesal. Sekarang, Marcell dan Resti sedang berada di salah satu kafe yang cukup terkenal di daerah Jakarta.
"Gimana nggak marah kalo pacar sendiri jalan sama cewek lain," sungut Resti sebal, hatinya memanas, dan dilanjutkan menghujam Marcell tanpa mau berhenti.
Berapa kali pun Marcell sudah menjelaskan, Resti masih saja tak mau mendengarkan, merasa sudah lelah, Marcell kemudian membuang napasnya pelan. Untuk sekian kalinya ia melakukan hal serupa.
"Gue cuma nolongin Weeby, cuma itu aja, apa yang harus lo cemburuin?"
Masih punya pendirian untuk membuat Resti percaya dan memaafkan dirinya, Marcell terus menyerang, menentang argumen Resti yang kadangkala membuat hati dan perasaannya jadi dongkol.
"Kenapa harus lo yang bawa Weeby ke kelas? Pasti tuh cewek pura-pura pincang, kan?"
Resti terus menyerbu dengan kata-kata sarkastik, tidak peduli dengan hidangan makanan di mejanya, membiarkan dingin begitu saja di sana. Yang paling penting menurutnya, ia bisa menentang segala ucapan Marcell.
Marcell semakin frustrasi saja, ia mengusap wajahnya dengan tangan, lalu dua detik setelah itu tatapannya kembali ke arah Resti. Bagi Marcell, masalah ini harus tuntas lebih dulu.
"Udah gue bilang puluhan kali, atau mungkin sudah ratusan kali, Weeby kayak gitu karena ulah gue Res, jadi gue harus tanggung jawab, dan lo nggak seharusnya bersikap kayak gini."
Marcell berharap itu adalah sederet perkataan terakhir untuk menjelaskan Resti, bosan rasanya terus berbicara kalimat yang sama.
"Kali ini gue maafin lo, tapi ingat! Jangan ulangi lagi!"
"Tolong, sekarang jangan bahas masalah ini lagi." Dari sorot matanya, Marcell terlihat sangat memohon, genggaman tangannya semakin erat pada punggung tangan Resti.
Resti membalas dengan anggukan singkat, ia juga lelah, tak ingin berdebat lagi, Resti kemudian tersenyum lebar, tak sampai pada titik itu, Resti langsung meminum oranye juice dihadapannya.
Marcell sekarang bisa bernapas dengan lega, lalu ia mengambil kentang goreng, mengoleskan pada saus tomat, dan memasukkannya ke dalam mulut.
Disela kunyahan makanannya, Marcell kembali menatap ke arah depan, seketika rahang Marcell langsung terhenti, matanya lurus menatap sang pacar.
"Resti, lo kenapa?" tanya Marcell panik, ia menelan dengan buru-buru kentang goreng yang masih dilidah.
"Gue nggak pa-pa," jawab Resti lugas, memegangi mulutnya yang terasa hampir muntah, perutnya terasa sangat mual.
Sudah tidak tahan lagi, Resti segera berdiri dari bangku, lalu menatap Marcell sembari menahan mulutnya dengan telapak tangan.
"Gue mau ke toilet dulu."
Tanpa menunggu persetujuan dari Marcell, Resti segera berlari, setelah sampai di bilik toilet, Resti langsung merasakan mual yang sangat hebat, selang beberapa detik kemudian ia langsung muntah.
Menghela napasnya begitu gusar, Resti merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, menatap pantulan dirinya di cermin beberapa detik, lalu tatapan itu kini beralih pada perutnya yang sudah mulai membesar.
Menelan ludahnya dengan susah payah, Resti akhirnya menitikkan air mata, tapi buru-buru ia menyekanya, Resti sudah mulai gelisah. Bagaimana jika Marcell tahu tentang ini? Bukan hanya itu, Resti juga takut jika rahasia ini terbongkar, sudah pasti dirinya akan menjadi bahan olokan seantero sekolah.
Resti pasti juga terancam untuk dikeluarkan dari sekolah. Sampai detik ini pun, ia masih belum menemukan cara yang tepat.
Bisa saja Resti mengugurkan kandungan ini, namun Resti tidak berani melakukannya, setiap pikiran itu terlintas, pasti dua detik setelahnya ia akan menggelengkan kepalanya berulang kali.
Cepat atau lambat, pasti rahasia terbesar dalam hidupnya ini akan terbongkar, apalagi perutnya yang sudah mulai membesar. Sering kali Resti merasakan ketakutan sendiri.
Setelah merapikan penampilannya kembali, Resti mulai melangkahkan kakinya dengan letih keluar dari bilik toilet, tiga menit kemudian ia sudah duduk di tempat semula.
Marcell yang sedari tadi melamun, mengkhawatirkan keadaan Resti, seketika langsung terpenjak, menatap Resti dengan gestur wajah panik yang berlebihan.
"Resti, lo baik-baik aja, kan?" Dari nada suaranya, tercipta kepanikan yang terpancar dari Marcell, sorot matanya juga menggambarkan bagaimana cowok itu begitu perhatian.
"Gue baik-baik aja, cuma masuk angin biasa." Resti tersenyum kikuk.
"Masuk angin? Ayo gue anterin ke dokter." Marcell sudah mengangkat bokongnya dari kursi, langsung menyerbu tangan Resti dan lekas menyeretnya untuk keluar dari dalam kafe ini.
Seharusnya Resti senang dengan perhatian Marcell itu, namun ia juga merasa risi. Menurut dirinya, Marcell terlalu berlebihan.
"Gue cuma masuk angin, nggak perlu ke dokter segala, bentar lagi juga sembuh. Nggak usah berlebih deh," ucap Resti sembari ikut bangkit dari tempat duduk.
"Tapi gue khawatir sama lo Res."
"Tapi lo nggak usah berlebihan, gue mau pulang. Kepala gue pusing," ajak Resti, meraih tangan Marcell, menggandengnya begitu erat, kemudian mulai menyeretnya untuk keluar.
"Tuh kan pusing, ayo ke rumah sakit aja, gue takut lo malah kenapa-napa." Marcell berhenti di tempat, enggan mengikuti langkah pacarnya.
Mendengar perkataan Marcell, Resti segera merotasikan matanya, lalu berbalik badan, menghadap ke arah Marcell sembari menyilangkan tangannya didepan d**a.
"Nggak, gue mau pulang. Gue tau elo perhatian sama gue, tapi ini berlebihan Marcell." Resti mendengkus sebal, kesal dengan sikap protektif Marcell kali ini.
Sebenarnya, ada alasan lain kenapa Resti sama sekali tidak mau menginjakkan kakinya di lantai rumah sakit, satu alasan yang mendukung, ia tidak mau diperiksa dokter, apalagi jika dokter itu mengatakan bahwa Resti hamil. Sungguh sulit jika sesuatu itu benar-benar terjadi dan Marcell tahu semuanya. Pokoknya Resti akan menolak mentah-mentah jika Marcell terus saja memberontak dan memaksa dirinya ikut menemui dokter.
"Gue khawatir sama elo. Please Res, nurut aja, ya?" Marcell memohon, menciptakan raut wajah semelas mungkin agar Resti terkecoh dan mau menurut dengannya.
Sama sekali tidak mempan cara seperti itu, Resti tidak akan mau, sampai kartun Spongebob tidak tayang lagi di TV, Resti juga tidak akan runtuh dari pendiriannya.
"Nggak mau, gue maunya pulang, titik."
Tidak mau mendengar rengekan Marcell terus, Resti segera membalikkan badannya, mulai melangkah maju dan keluar dari kafe. Kata-kata Marcell yang akan keluar terpaksa harus tertahan diujung lidah, lalu cowok jangkung itu membuang napasnya dengan lelah dan gusar.
Marcell tidak langsung mengejar Resti, ia teringat sesuatu bahwa dirinya belum membayar makanan yang telah dipesan, dipandangnya Resti sekali lagi yang semakin menjauh, lalu Marcell lekas menuju kasir.
"Totalnya, dua ratus tiga puluh ribu rupiah mas," ujar pelayan itu setelah Marcell meminta untuk menjumlah makanannya yang dipesan beberapa waktu lalu.
Cowok itu mengangguk, merogoh saku celana, selang lima detik, Marcell mengerutkan dahinya, dirogohnya saku yang lain, namun dompet kulit miliknya sama sekali tidak ada di sana.
"Mbak, ngutang dulu boleh?"