Bimo masuk ke dalam kamar perawatan Melina, wajahnya tampak khawatir memandang pada Melina yang pucat.
“Dokter, bagaimana kondisinya?” tanya Bimo tak sabar.
Boro-boro menjawab pertanyaannya, Dokter justru memperhatikannya dengan lekat. “Anda siapa? Memiliki hubungan apa dengan pasien?”
Pertanyaan itu menyadarkan Bimo tentang siapa dirinya. Kekhawatirannya pada Melina membuatnya buta untuk sesaat. Tak seharusnya sikapnya begitu berlebihan seperti ini!
“Saya ... saya adalah sahabat dekatnya. Lebih tepatnya saudara angkatnya,” jelas Bimo yang kembali ke sikap tenangnya.
Untung dokter tak mempermasalahkannya. “Anda wali pasien?”
“Iya, betul,” tegas Bimo.
“Bisa kita bicara berdua?”
Dokter mengajaknya berbicara di tempat yang tenang, di lorong rumah sakit yang sunyi. Bimo sungguh penasaran.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Dok? Apa luka adik saya parah?” tanya Bimo was-was.
Dokter berdeham sebelum mengatakannya. “Lukanya tak masalah. Hanya perlu dijahit, bahkan bekasnya akan menghilang setelah dioles salep. Tapi ....”
“Tapi apa?” tanya Bimo cepat.
“Janin dalam kandungannya terganggu akibat pasien terjatuh. Harap diperhatikan dengan baik, supaya pertumbuhannya tak terhambat.”
Deg!
Bimo terkejut, amat syok begitu tahu Melina tengah hamil. Pasti itu anaknya, karena Melina hanya berhubungan dengannya. Bimo gundah gulana. Apa yang harus dilakukannya? Bukannya dia telah meminta Melina selalu meminum pil KB? Apa Melina lalai meminumnya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya resah hingga Bimo tak menyadari kehadiran Lana.
“Dok, apa betul Melina hamil? Ya Tuhan! Apa bayinya baik-baik saja?”
***
Saat Melina tersadar, orang pertama yang dilihatnya adalah Lana yang menatapnya khawatir. Perasaan muak menguasainya, dia kesal berhadapan dengan perempuan setolol Lana.
“Melina, kau tak apa?” tanya Lana dengan perasaan bersalah.
“I am okey, hanya sedikit pegal karena kebanyakan tidur,” jawab Melina sambil memaksakan senyum sok baiknya.
Senyumnya luntur ketika mendadak Lana memeluknya erat.
“Maafkan aku yang telah lalai menjagamu, aku bersalah. Bimo marah padaku, tapi aku menerimanya. Memang aku salah,” ucap Lana sedih.
Bimo marah karena dia terluka? Senyum Melina terbit mengetahui hal ini. Bahkan dia tega memarahi Lana yang tak bersalah demi dirinya. Melina puas, dia yakin perasaan Bimo seratus persen hanya untuknya.
Melina menepuk-nepuk punggung Lana untuk menenangkannya. “Tak apa, Lana. Aku sudah baikan. Jangan sedih lagi.”
Dia akan berbaik hati pada Lana kali ini, karena hatinya tengah berbunga-bunga. Melina sungguh bahagia dan dia tak ingin merusak kebahagiaannya dengan berbuat jahat pada orang lain.
“Tidak, Mel. Ini salahku, kau tak tahu ... gara-gara kelalaianku, kau nyaris ... nyaris ....” Lana tak tega mengatakannya. Namun seorang suster perawat yang masuk membuatnya jelas untuk Melina.
“Selamat pagi, Bu. Ini saya bawakan obat untuk menguatkan kandungan ibu. Semoga dedek bayi didalam sana semakin kuat.”
Melina terpaku mendengarnya. Dia hamil! Jadi yang tadi dikatakan Lana adalah dia nyaris keguguran. Melina syok, dia kebingungan menghadapi situasi yang tak diduganya. Bertepatan itu, Bimo masuk ke dalam kamar perawatan. Pandangan mereka bertemu satu sama lain, sementara Lana berceloteh sendiri.
“Melina, aku tahu ini berat bagimu. Kau hamil tanpa ayah. Tentu berat bagimu menjalaninya. Tapi ingatlah, kau memiliki kami. Aku dan Bimo. Kami akan selalu menjaga dan menemani di sampingmu. Benar, kan, Bimo?”
Bimo menyahut tanpa melepas pandangannya dari Melina. “Tentu.”
Senyum Melina merekah. Kini dia tahu apa yang akan dilakukannya. Dia akan memakai bayi ini untuk mengikat Bimo padanya, selamanya. Dan juga, untuk menyingkirkan Lana. Cepat atau lambat.
***
Lana sedang berada di supermarket. Dia membelikan s**u ibu hamil untuk Melina, sahabatnya. Begitu banyak merk dan rasa, Lana kebingungan memilih yang terbaik bagi Melina. Akhirnya dia menelepon sahabatnya yang tengah hamil itu.
“Halo Ibu hamil tercantik di dunia, Ibu favoritku ... apa kabarmu pagi ini?”
Terdengar gelak tawa ceria Melina di ujung telepon sana. “Astaga, kepalaku bisa membesar melebihi perutku mendengar sanjunganmu ini! Aku baik-baik saja, Sayang. Berkat kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan oleh Bimo ... ehm, kalian maksudku.”
“Syukurlah, sudah kewajiban kami menjagamu. Hei, aku sedang di supermarket. Aku ingin membelikan s**u ibu hamil. Kira-kira s**u merk apa yang ingin kau minum? Dan rasa apa?” tanya Lana antusias.
“Ya ampun, jangan lagi. Aku bisa membengkak seperti babi jika kalian cekoki s**u melulu. Kau tahu, di rumahku sudah tersedia s**u ibu hamil berdus-dus sampai aku terpikir untuk menjualnya kembali demi mendapat untung,” canda Melina.
Lana tertawa geli mendengarnya, iseng-iseng dia bertanya, “jika bukan aku, siapa yang menduluiku membelikanmu s**u ibu hamil berdus-dus itu?”
Melina tak perlu menjawabnya, Lana langsung mendapatkan jawaban pertanyaan ketika mendengar suara seseorang di ujung telepon sana.
“Melina, saatnya meminum s**u pren*gen melon favoritmu.”
Dia mengenali suara itu. Tanpa curiga, Lana bertanya, “Apakah Bimo? Dia yang membelikanmu s**u? Dia sedang bersamamu?”
Sunyi sejenak sebelum Melina menjawab pertanyaan itu. “Dia bersamaku, disini. Kau tak keberatan, kan?”
“Tentu. Aku senang dan lega dia menjagamu, mewakiliku,” sahut Lana tanpa berprasangka buruk.
Itu kalimat terakhirnya di telepon. Namun pada saat menelusuri lorong supermarket, airmata Lana luruh. Seharusnya dia tak mempermasalahkan Bimo yang amat memperhatikan Melina, tapi mengapa d**a ini terasa sesak? Seharusnya dia tak boleh berpikiran picik seperti ini. Bimo hanya menganggap Melina sebagai sahabat dekat, mungkin lebih seperti adik angkatnya. Jadi perhatian seperti itu wajar, kan?
Duk!
Lana asyik melamun hingga tak sadar dia menabrak seorang lelaki hingga barang bawaan lelaki itu jatuh berantakan.
“Maafkan saya,” ujar Lana sembari berlutut mengambil barang-barang itu.
Tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan lelaki yang ditabraknya saat mereka sama-sama mengambil barang itu. Rupanya pria itu juga berjongkok dan melakukan hal yang sama dengannya.
Lana tersentak ketika merasakan getaran tak biasa dari tautan tangannya dengan pria itu. Spontan dia mendongak untuk menatap wajah pria itu. Diluar kemauannya, Lana terpana. Pria itu sangat tampan, bahkan lebih tampan dari suaminya. Mungkin ada darah latin pada dirinya. Tubuhnya kekar dan kokoh, wajahnya terpahat sempurna dengan hidung yang tinggi dan mata besar yang dinaungi oleh bulu mata tebal. Juga, yang istimewa ada belahan di dagunya yang membuatnya terkesan lebih jantan. Terus ... manik matanya abu-abu yang pekat. Sungguh mempesona.
Pandangan pria itu terkesan meremehkan begitu tahu Lana mengaguminya. Menyadari hal itu, kekaguman Lana langsung surut. Percuma tampan dan mempesona tapi dingin luar biasa!
“Bisa lepaskan tangan saya?”
Celetukan kasar pria itu menyadarkan Lana. Dia segera melepaskan tangan pria itu dengan wajah merah padam. Pipinya terasa panas saat tahu barang apa yang terjatuh di lantai. Kondom!
Astaga, dia pria messum! Percuma tampan mempesona tapi dingin dan messum. Tak sadar Lana tersenyum mencemooh. Pria itu mengernyitkan dahinya melihat perubahan sikap Lana yang sangat drastis. Dari pemuja menjadi hater.
“Apa kau serius ingin meminta maaf padaku?” Pria itu bertanya dingin.
“Maksud Tuan, apa?” Lana menatapnya curiga.
“Bayarkan barang ini.”
Tanpa malu orang itu menyerahkan satu dus kondom pada Lana. Sungguh, Lana ingin menyepaknya ke kutub utara. Beraninya dia memerintah Lana seperti ini!
“Dengar, Tuan ....?”
“Reynard Hambali.”
Sepertinya nama itu tak asing. Entah dimana Lana pernah mendengarnya, tapi masa bodo! Dia harus memberi pelajaran pada pria kurang ajar ini.
“Tuan Reynard Hambali, perlu Anda ketahui ... saya bukan b***k Anda. Jadi ... bayar sendiri barang yang Anda beli!”
Lana meremas dus kondom itu hingga bentuknya tak karuan, lantas mengembalikannya pada pria itu. Berhubung Reynard tak menerimanya, kondom itu terjatuh ke lantai.
“Ups! Sepertinya saya tak sengaja merusaknya. Tapi jangan khawatir, saya akan membayarnya untuk Anda. Senang melakukannya untuk pria semesum Anda,” cemooh Lana sinis sembari memasukkan beberapa lembar uang berwarna merah ke dalam kantong kemeja pria itu.
Lana bergegas meninggalkan pria itu dengan senyum tersungging di wajah cantiknya. Senang sekali bisa melampiaskan kekesalannya pada pria yang tepat. Rasa sesak di daada Lana jadi berkurang sedikit.
Dia tak tahu, di masa depan dia akan sering bertemu dengan pria yang baru saja dikerjainya .....
Bersambung