Bab 9 Amplop Cokelat

1024 Words
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 9 "Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti. "Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata. "Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku. "Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku. "Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon. "Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri. "Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharisma dibelakangku. Suasana rumah sakit tampak sepi. Tak ada lagi suara riuh pengunjung memenuhi area rumah sakit. Yang tersisa hanya udara malam ditemani dengan bintang dan bulan diangkasa. Sedangkan para pasien dengan penunggunya sudah terlelap karena malam semakin larut. Tuan Bram berjalan lebih dulu di depanku. Sedangkan aku mengikuti langkahnya dengan tergesa agar dapat mengimbangi langkah kakinya yang lebar. Tuan Bram lantas berhenti diujung lorong searah dengan jalan menuju pintu keluar. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dalam sakunya. "Saya iba melihat musibah yang menimpamu. Kamu wanita hebat. Kamu pantas dapat ini," ucapnya seraya mengangsurkan amplop cokelat itu ke tanganku yang kutahu isinya pasti sudah jelas adalah uang. Kuterima amplop itu dengan bergetar. Terasa tebal sekali isinya. Segera kubuka lipatan di ujung amplop dihadapan Tuan Bram. Kuintip nominal yang tertera di atas tumpukan uang ini, aku terperangah melihat jumlahnya. "Tuan, ini terlalu banyak," ucapku berusaha menutupi rasa yang bercampur aduk dalam d**a ini. Merasa bahwa apa yang ia beri ini adalah berlebihan. Aku senang, namun sekaligus terharu mendapatkan uang ini. "Tak apa. Anggap saja itu penghargaan atas dirimu." "Terima kasih Tuan." Air mataku pecah. Tak ada lagi kata yang sanggup terucap selain kata itu. Sungguh aku bagai mendapat durian runtuh. Meskipun aku lebih dulu harus menceburkan diri dalam dunia malam yang siapapun akan memandangku hina. Masa bo doh dengan ucapan orang. Toh mereka tak ada yang sudi menolongku meskipun tahu bahwa hidup kami kekurangan. Terserah apa kata mereka yang jelas uang ini pemberian Tuan Bram, bukan hasil aku menjual tubuhku. Tuan Bram hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Kemudian ia menepuk pundaku sebelum ia pergi meninggalkan diri ini sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi sepi. Kakiku lemas, tubuhku lunglai, bak semua tulang lepas dari semua dagingnya. Aku pun tak mampu menahan air mataku yang terus mengalir deras. Satu tanganku menggenggam amplop pemberian Tuan Bram, sedangkan satunya lagi kupakai untuk menumpu kepalaku yang tak sanggup lagi kutegakkan sedangkan lenganku bertumpu pada lutut. Aku hanya menangis dalam diam. Menikmati rasa ini dalam damainya malam di rumah sakit. Rasa yang begitu sulit kugambarkan di tengah usia pernikahan kami yang mencapai angka sepuluh tahun. Sungguh Allah Maha Baik, memberikan pertolongan dalam keadaan terjepit seperti ini saat aku sudah pasrah akan cobaan hidup. Meskipun aku harus mencoreng kehormatan sebagai seorang istri, namun Allah masih bersedia membantuku. Oh Allah ... maafkan hambaMu yang hina ini. "Nduk, kamu kenapa?" Suara ibu membuatku kaget. Segera kuusap sisa air mata yang mengalir membasahi pipi sebelum mataku menjadi pusat perhatian ibu mertua. Kuperbaiki posisi kerudung yang berantakan akibat ke gesekan antara kepala dengan lenganku tadi. Setelahnya aku segera bangkit, mensejajarkan tubuh dengan tubuh ibu yang sedang berdiri di depanku. Tak lupa juga kupasang senyum termanis agar ibu tak curiga dengan apa yang tengah kurasakan. "Nggak apa-apa, Bu. Dewi cuma terharu aja, bos ditempat kerja Dewi bersedia meminjamkan uang untuk biaya berobat Rani. Dewi bersyukur sekali," ungkapku senang. Mencoba membohongi diri bahwa apa yang tengah kuucapkan adalah sesuatu yang nyata. Kuharap sejenak aku bisa melupakan darimana sumber uang ini berasal. "Rejekimu, Nduk. Orang baik selalu dikelilingi orang yang baik pula." Lantas ibu menarik tanganku untuk kembali berjalan ke ruang rawat Rani. Sementara satu tanganku memegang amplop pemberian Tuan Bram dengan erat. Tak mau sesuatu terjadi dengan uang ini, karena hanya ini harapanku satu-satunya. Kulihat Danisa juga Rani sudah kembali tertidur pulas. Sementara ibu hanya duduk memandangi tubuh Rani yang terdapat banyak luka di sisi sebelah kanan. "Bagaimana kondisi Rani, Bu?" "Sudah lebih baik, hanya saja tadi Rani baru saja menjalani pemeriksaan kepala di ruangan khusus. Besok pagi baru keluar hasilnya." Wajah ibu tampak letih. Tubuh rentanya seharusnya tak kupaksakan untuk bersusah payah menjaga Rani di rumah sakit. Apalagi hanya ditemanin seorang bocah sepuluh tahun. "Semoga saja hasilnya baik, dan Rani segera diperbolehkan pulang," ucapku penuh harap. "Semoga saja, Nduk. Kasihan dia manggil-manggil kamu terus dari tadi," ucap ibu. "Ya sudah Ibu tidur lagi aja," ucapku menunjuk tempat kosong di sebelah tubuh Rani. Tanpa banyak basa basi ibu kembali merebahkan diri, tenggelam bersama dinginnya malam sedangkan aku, tak henti mengucap kalimat syukur atas nikmat yang Allah beri hari ini. Pagi harinya, aku kembali pulang bersama Danisa. Mengantar Danisa kembali bersiap diri untuk sekolah sedangkan Rani masih bersama ibu. Jika kemarin aku pulang dengan berjalan kaki, maka kali ini berbeda. Aku pulang menggunakan angkutan umum bersama Danisa. Terbukti, memiliki uang membuat segala sesuatunya terasa mudah. "Bu, memangnya siapa laki-laki yang datang ke rumah sakit kemarin malam?" tanya Danisa saat kami sedang duduk di dalam angkutan umum. Tanpa banyak berpikir, kujawab pertanyaan Danisa seperti apa yang kuceritakan pada ibu kemarin. "Bapak yang kemarin itu bosnya ibu di tempat kerja, beliau mau meminjami uang untuk biaya berobat dek Rani," jelasku kembali berbohong. Sudah tak terhitung berapa kali aku berbohong sejak kemarin. "Baik sekali ya, Bu? Sampai malam-mapam dibelain datang ke rumah sakit," ungkap Danisa polos. "Iya, Nak." Aku tersenyum kecut. Kamu tak tahu saja nak jika lelaki kemarin adalah tamu yang harus ibu layani di tempat kerja ibu, sayangnya aku hanya mampu membatin saja. Angkutan umum telah sampai di depan gang kampung rumah kami. Bergegas aku dan Danisa turun agar mmepersingkat waktu, mengingat hari sudah mulai beranjak siang. Kugandeng tangan Danisa untuk berjalan menuju rumah, setelah sebelumnya kami mampir ke warung depan gang untuk membeli sarapan buat Danisa juga Mas Bima. Ah Mas Bima, apa kabarmu hari ini, batinku. "Mbak Dewi ...." Seseorang yang suaranya sangat kukenal berteriak memanggilku. Namun tak kuhiraukan dan aku semakin mempercepat langkahku agar segera menjauh dari sumber suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD