Bab 8 Terpaksa Berbohong

1054 Words
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 8 "Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya. "Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya. Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan. "Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan yang tegas pula. Karena aku memang benar-benar sedang membutuhkan uang untuk biaya berobat Rani. "Baiklah, mari kita ke rumah sakit," ucapnya setelah melihat jam di pergelangan tangannya. Kemudian ia berdiri, namun saat hendak membuka pintu kuhentikan langkahnya. "Tunggu Tuan! Izinkan saya untuk berganti pakaian lebih dulu. Saya tak mau membiarkan anak saya melihat saya berpakaian seperti ini," ucapku sambil menutupi d**a dengan lenganku. "Baik, saya tunggu kamu di meja depan resepsionis." Usai berucap, ia bergegas meninggalkanku sendiri dalam ruangan ini. Tak mau membuang waktu terlalu banyak lagi, aku pun bergegas menuju ruangan dimana tempat aku meletakkan pakaian yang kukenakan saat datang kemari. Berjalan sedikit tergopoh menuju meja yang dimaksud oleh Tuan tadi. Sambil membenarkan kerudung instan yang kukenakan sambil berjalan agar mempersingkat waktu. "Mari Tuan," ucapku setelah berada di depan meja tempat Tuan Bram menungguku. Namun ia terperangah melihatku dengan penampilan yang jauh berbeda dari saat kami berjumpa dalam ruangan minim penerangan tadi. "Ini kamu? Yang tadi nemenin saya?" tanyanya sambil menelisik wajahku. "Iya, Tuan. Ini saya." Seulas senyum terbit dari bibirnya yang ranum. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya menuju pintu keluar. Tak banyak bertanya lagi, kuikuti langkahnya hingga udara malam kuhirup bebas dari hidungku. Tidak seperti di dalam gedung yang baru saja kutinggalkan ini, dingin dan pengap. Bau asap rokok mendominasi seluruh ruangan. Tampak mobil-mobil berjajar memenuhi area parkir, penuh dan tertata rapi. Sudah jauh berbeda dari saat aku datang kemari bersama Arum tadi. Aku terperangah saat Tuan Bram membuka pintu depa mobil yang menurutku tampak mewah. Sebuah logo tiga jajar genjang yang tiap sudutnya saling tertaut dan terdapat tulisan "pajero sport" diatas logo tersebut. Sungguh baru kali ini aku memegang mobil mewah seperti ini. "Ayo masuk!" titahnya menyadarkanku dari rasa tak percayaku melihat apa yang ada dihadapanku ini. "Ah iya, baik Tuan." Tanpa basa-basi lagi, kuikuti perintahnya untuk masuk ke dalam mobil tersebut. Ah aku tak menyangka, ia mempersilahkanku duduk sejajar dengannya. Tak risih juga tak sungkan duduk bersama wanita miskin sepertiku. Aroma kayu manis menguar dihidungku, harum dan membuat rileks. Kursi yang empuk membuatku nyaman duduk disini. Suasana di dalamnya tampak bersih dan tertata rapi, terlihat sekali kalau beliau ini orang yang suka akan kebersihan. Ah jelas saja, mudah baginya memerintah anak buahnya untuk membersihkan mobil miliknya ini. Jangan lupa, segalanya terasa mudah bila memiliki uang. Mobil melaju dengan santainya. Membelah jalanan yang sudah sedikit lengang karena jam sudah menunjukkan tepat diangka sembilan malam. Aku jadi ragu apakah boleh pengunjung datang dijam seperti ini. "Maaf Tuan, bukannya ini sudah malam? Apa boleh berkunjung di rumah sakit saat jam sudah larut begini?" tanyaku dengan hati-hati. "Gampang buat saya." Ah iya, sejenak aku lupa bahwa ia banyak uang. Mudah saja baginya menyuap satpam atau penjaga agar memberi kami izin masuk untuk menjenguk. Tidak sepertiku, yang apa-apa lebih sering direndahkan karena tak memiliki harta setelah suami terbaring tak berdaya. Tak butuh waktu lama, mobil besar Tuan Bram sampai di pelataran rumah sakit. Setelah terparkir sempurna, tanpa menunggu perintahnya aku turun dari dalam mobil yang terasa nyaman ini. Sungguh ini pengalaman pertama bagiku duduk di jok depan mobil mewah seperti ini. "Kita langsung ke kamar anak kamu," ucapnya setelah berbasa basi dengan tukang parkir juga kulihat ia sempat menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu ditangan tukang parkir itu. "Baik Tuan." Aku berjalan lebih dulu menuju kamar tidur Rani. Sungguh rindu sangat untuk bertemu dengan buah hatiku itu. Entah bagaimana keadaannya sekarang, setelah kutinggal seharian mencari biaya untuk membayar tagihan rumah sakit ini. Suasana lorong rumah sakit tampak lengang dan sepi. Benar saja hari sudah larut, tak banyak lagi pengunjung yang datang untuk membesuk. Yang tersisa hanya keluarga penunggu pasien. Setelah berjalan berberapa menit, kami tiba di depan ruangan yang bertuliskan "Dahlia III". Tempat Rani beristirahat di dalamnya. Dengan sangat pelan, kubuka pintu kamar rawat itu. Kulihat dari celah pintu, tampak Rani sedang tidur dalam pelukan neneknya, sedangkan Danisa tidur di bawah ranjang dengan beralaskan karpet tebal yang berukuran kecil. Ah anak-anakku, pintar sekali kalian. "Mari Tuan," ajakku saat pintu kamar sudah terbuka lebar. "Terima kasih." Kami lantas memasuki ruangan tempat Rani di rawat. Tuan Bram menghentikanku saat aku akan membangunkan ibu juga putriku yang telah tidur terlelap di atas ranjang pasien. "Sudah biarkan saja mereka tidur, saya percaya." Tuan Bram mengamati kening Rani yang terbalut perban. Juga mengamati luka memar disepanjang tubuh bagian kanan. "Periksakan dengan baik, karena luka di kepala biasanya akan memberikan dampak yang buruk jika tak ditangani dengan semestinya." Pelan sekali Tuan Bram berbicara. Aku hanya mampu mengangguk. Namun, ibu terusik dengan suara kami sehingga membuatnya terbangun. "Kamu sudah datang, Nduk?" tanya ibu sambil melepaskan lengan Rani yang melingkar dilehernya. "Sudah, Bu," jawabku seraya meraih tangan ibu untuk kucium. Apa yang kulakukan ternyata juga diikuti oleh Tuan Bram. Sungguh aku tak menyangka lelaki kaya macam Tuan Bram ini ternyata memiliki sopan santun yang baik. "Siapa ini, Nduk?" tanya ibu setelah Tuan Bram melepaskan tangannya. "Saya ...." "Ini atasan di tempat kerja saya, Bu," ucapku memotong ucapan Tuan Bram. Aku tahu kebingungannya, tak mungkin juga ia ucapkan bahwa aku adalah wanita yang menemaninya di tempat karaoke. "Oh atasan kamu? Baik sekali mau datang menjenguk malam-malam begini," ucap ibu sambil tersenyum pada Tuan Bram. Ah ibu maafkan aku harus berbohong untuk menutupi pekerjaanku yang sebenarnya. Sungguh aku merasa bersalah kali ini. "Baik, saya permisi," ucap Tuan Bram. "Terima kasih Pak sudah sudi datang kemari," ucap ibu ramah. "Sama-sama, Bu." Tuan Bram juga membalas senyum ibu. "Kamu ikut saya," ucapnya kemudian. Baru selangkah kakiku berjalan, Rani membuka matanya. Ia mengucek matanya hingga pandangannya terbuka sempurna. "Ibu? Ibuuu ...." Tangisnya pecah saat matanya menangkap tubuhku dengan jelas. Ia ulurkan tangannya padaku, meminta gendong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD