Posko Pengungsian

2024 Words
Sejak tadi Nala terus saja mengomel pada kakaknya setelah Pak Dokter kesayangannya pamit pulang. Ace terus menawarkan bantuan dana pada bisnis yang ingin dibangun oleh Nala. Membuat gadis itu kesal dengan mulut ember sang kakak. "Adek kenapa sejak tadi diam terus?" Tanya Karim. Heran melihat putrinya menjadi pendiam. "Palingan juga habis berantem sama kakak. Baru ditinggal seharian saja sudah perang dingin seperti ini. Bagaimana kalau ditinggal selama satu minggu?" ucap Husna. Nala sejak tadi bergelayut manja pada lengan Papanya. Dia yang cerewet sekali kini menjelma menjadi Nala si putri keraton Yogyakarta. "Tidak ada yang mau menjelaskan pada Papa penyebab petasan banting mendadak menjadi sangat pendiam?” Bukannya menjawab Danesh malah terkekeh mendengar ucapan Papanya. Bisa-bisanya mengatai adiknya dengan sebutan petasan banting. "Danesh," tegur Husna ketika melihat wajah Nala mulai berubah masam. "Adek marah sama kakak gara-gara tadi kelepasan bicara sama Dokter Ace. Ma, Pa," terang Danesh "Dokter Ace?" Tanya Husna. "Iya, Ma. Tadi Dokter Ace sempat kebingungan mencari rumah Tante Adel." "Memangnya ada hubungan apa Dokter Ace dengan Tante Adel?" "Ada yang kepo, Ma," jawab Danesh dengan nada jahil. "Siapa yang kepo?!" akhirnya Nala bersuara meskipun dengan nada jutek. "Mungkin Mama kalau enggak ya Papa gak mungkin 'kan kalau Adek yang kepo." "Hiks ... Hiks ..." "Loh adek kenapa nangis?" Husna kaget saat mendengar isakan dari putrinya. Danesh yang melihat adiknya mulai melakukan drama hanya memutar bola mata. Sebentar lagi pasti dia akan mendapatkan ceramah dari Mama dan Papanya. "Kakak jahat, suka jahilin Nala! Pokoknya kakak harus diberi hukuman," ujar Nala dengan bibir mencebik. "Hukuman apa yang Adek minta buat Kakak?" tanya Karim. "Kakak harus sunat lagi!" "Apa?!" Seru Danesh sangat keras. "Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Adek! Mana ada Kakak di sunat lagi? bentuk baru saja belum pernah test drive." "Kakak jangan bicara m***m di depan Nala! Dia masih sangat polos tidak mengerti hal semacam itu." Tegur Karim. "Habisnya Adek kalau bicara suka seenaknya sendiri, Pa. Lagi pula dia juga tidak akan mengerti apa yang Danesh maksud tadi. Lihat saja wajahnya bingung seperti itu," jawab Danesh dengan menunjuk ke arah adiknya. Tidak mau pikiran polos putrinya tercemari oleh kalimat m***m dari anak sulungnya, Husna mengajak Nala untuk naik ke lantai atas. Dia ingin bertanya pada Nala mengenai pertunangan dari anak dari sahabat sekaligus tetangganya. "Jadi Mama belum tahu kalau Kak Fairuz akan segera menikah?" "Mama sama sekali tidak tahu. Tadi pagi sebelum jenguk teman Papa, Mama bertemu dengan Tante Arina (Mama Malika) beliau mengatakan jika kamu dan Malika malah tahu saat proses pertunangannya." "Sebenarnya Nala tahu semua ceritanya tapi Nala sudah berjanji tidak akan kepo dengan urusan orang lain. Jadi Mamaku yang cantik maafkan anakmu ini tidak bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya." "Alah kamu ini gaya-gayaan saja. Memangnya sudah janji sama siapa?" "Rahasia dong, Ma," jawab Nala dengan terkikik geli saat melihat wajah cantik mamanya sedang cemberut. "Bocorin dikit aja. Kamu tega sekali sama Mama. Masa punya informasi penting tidak dibagi-bagi. Kamu bisa mendapat dosa besar kalau pelit sama orang tua." Husna tahu jika putrinya tidak akan tega melihatnya bersedih. Apalagi dia sudah membawa kata 'Dosa' akan langsung membuat Nala berubah pikiran. Meskipun sikapnya bar-bar, Nala adalah sosok Perempuan yang sangat menghormati kedua orang tuanya. Nara turun dari ranjang langsung mengambil ponselnya yang berada di depan TV. Dia terlihat sangat serius saat mengetikkan sesuatu dengan mulut komat-kamit. "Assalamualaikum, Pak Dokter. Nala mau tanya, kalau Nala menolak menjawab pertanyaan dari mama apa itu adalah suatu dosa besar?" ternyata Nala mengirim pesan pada Ace. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Itu semua dilakukannya atas perintah dari dokter kesayangannya. Oleh karena itu, Nala harus meminta izin pada Ace sebelum menjawab pertanyaan dari sang Mama. Posisi gadis itu sekarang sangat sulit di satu sisi dia harus menepati janjinya. Di sisi lainnya lagi takut berdosa karena tidak mau menjawab pertanyaan dari Mamanya. "Tergantung dari pertanyaan Nala. Memangnya Mama bertanya apa?" Nala sangat senang sekali karena Ace langsung membalas pesannya. "Mama tanya mengenai pertunangan Kak Fairuz anak dari Tante Adel. Nala harus jawab apa Pak Dokter?" Ponsel Nala berdering sesaat setelah membalas pesan dari Ace. Dia tidak langsung mengangkat melainkan berlari menuju ke ranjangnya untuk memberi tahu Mamanya lewat bahasa isyarat kalau Ace meneleponnya. "Assalamualaikum, Pak Dokter." "Waalaikumsalam, Nala apa kamu sedang sibuk?" "Tidak, Nala sedang santai bersama Mama. Ada apa?" "Besok berangkat kerja lebih pagi, karena kamu terpilih menjadi relawan di posko pengungsian korban gunung berapi meletus." "Lebih pagi itu tepatnya jam berapa?" "Sebelum jam 7 pagi sudah sampai rumah sakit. Tim relawan bagian dapur kekurangan satu anggota. Jadi saya memutuskan kamu akan mengisinya. Bagaimana?" "Baik Pak Dokter, besok Nala akan berangkat lebih awal." "Kalau begitu istirahat sekarang supaya besok bisa bangun lebih pagi. Kamu juga butuh banyak tenaga untuk memasak untuk para pengungsi besok." "Siap, laksanakan! Oh iya, apa Nala perlu membawa perlengkapan khusus?" "Bawa baju ganti saja, sepertinya hanya itu yang akan kamu butuhkan. Selebihnya sudah disediakan pihak rumah sakit." Setelah menerima telepon dari Ace, Nala memberitahu Mamanya soal tugas dari rumah sakit untuk menjadi relawan. Setelah memberikan izin, Husna menyuruh Nala agar istirahat lebih awal sesuai perintah Ace. Sebenarnya dia sudah mendengar percakapan antara Nala dan atasannya karena Putrinya mengaktifkan mode loudspeaker saat menelpon. Nala berbaring menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia sedikit lega karena Mamanya melupakan pertanyaan mengenai calon mantu Tante Adel. Jadi, dia bisa terbebas dari dosa besar karena tidak mau menjawab pertanyaan Mamanya. *** "Nala ..." panggil sahabat Nala dari kejauhan. "Rumi ikut juga?" "Iya, baru tadi malam di telepon sama Ibu San-San." "Loh kamu kok ditelpon Ibu San-San, sih?" tanya Nala dengan heran. "Memangnya kenapa, La? Ibu San-San 'kan kepala dapur. Jadi wajar kalau beliau yang memberi tahu." "Bukan itu maksudku Rumi imutsss," ucap Nala dengan mencubit pipi sahabatnya. "Lalu apa?" "Aku semalam di hubungi langsung sama Pak Dokter Ace bukan Ibu San-San." "Masak sih? kamu udah ngantuk kali pas di telepon. Jadinya halu gini." "Issshhh, gak percayaan banget sih! memang benar aku di telepon sama Dokter Ace," jawab Nala dengan menunjukkan bukti panggilan terakhirnya. Dengan mata membulat, Arumi menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak heboh saat mengetahui jika Nala di telepon langsung sama pemilik rumah sakit. "Jangan berisik!" bisik Nala. Dia tidak mau kalau sampai ada orang yang mendengar. Bisa- bisa dia akan dijadikan bahan bullyan lagi. setelah mendapatkan briefing dari ketua rombongan relawan. Kini Nala sedang berada di dalam mobil menuju ke posko pengungsian. Sepanjang perjalanan dia hanya diam mendengarkan Elnara yang masih saja suka menyombongkan dirinya. Setelah kejadian pembullyan yang dialami Nala, Elna tidak ikut kena sanksi karena namanya bersih dari segala tuduhan. Sesampainya di tempat tujuan, Nala langsung bergabung dengan anggota timnya yang dipimpin langsung oleh Ibu San-San. Dia membantu membawa beberapa bahan makanan yang akan dimasak. Kedua gadis itu bahkan sempat-sempatnya menggoda balita cantik yang mengikuti mereka sejak turun dari mobil. “Anak siapa sih cantik sekali?” seru Nala. “Gak tau, dari tadi kita mondar-mandir dia ikut terus,” jawab Arumi. “Apa Ibunya gak takut kalau anaknya hilang? Ayok Rum kita cari orang tuanya sebelum masak dimulai,” ajak Nala pada Rumi. “Iya, lebih baik mencari orang tuanya dulu. Kita tidak akan bisa masak jika si cantik ini mengikuti kita terus.” Nala dan Arumi meminta izin pada Ibu San-San sebelum mencari orang tua balita itu. Setelah mendapatkan izin baru mereka menuju ke kantor informasi untuk mencari orang tua balita yang kini sudah di gendong Nala. “Adek cantik, siapa namanya?” tanya Arumi. “Antik,” jawabnya dengan cadel. “Hah ... namanya Antik, mahal dong!” seru Nala. “Kok mahal sih, La?” “Barang Antik ‘kan mahal, Rum.” “Ye ... itu kalau barang, lah ini nama orang Nala!” Nala terkekeh, dia memang senang menjahili Arumi. “Namanya Antik siapa?” tanya Nala lagi. “Antika,” jawabnya dengan mengedipkan sebelah matanya. “Mungkin yang dimaksud Cantika, La. Bukan Antika, dia ‘kan masih cadel.” “Cantika ...” panggil Nala, pada balita yang ada dalam gendongannya. Cantika mengangguk dengan tersenyum manis. Nala dan Arumi gemas melihat pipi chubby Cantika yang merona merah saat tersenyum. Sesampainya di kantor informasi Nala langsung bertanya mengenai orang tua dari Cantika. Perlu menunggu beberapa menit, karena begitu banyak pengungsi yang berada di posko. “Mbak Nala,” panggil petugas kantor informasi. “Iya, Pak. Bagaimana?” “Orang tua dari Cantika, mereka sedang bekerja di luar kota. Selama ini dia tinggal bersama Neneknya. Sepertinya Cantika terlalu jauh bermain karena tenda Neneknya berada di ujung sana,” terang petugas dengan menunjuk ke arah tenda paling jauh. “Kalau begitu bisa minta tolong untuk mengantar Cantika ke tendanya, Pak?” “Bisa, Mbak. Teman saya yang akan mengantarnya.” “Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya titip Cantika,” jawab Nala. Saat Nala akan menurunkan Cantika dari gendongannya. Anak itu langsung menangis dengan sangat kencang. Membuat orang yang ada di sekitar melihat ke arahnya. Dia bingung dengan Cantika yang tiba-tiba menangis, Arumi ikut menenangkan Cantika namun tidak berhasil. “Nala, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ace yang baru saja datang. “Cantika nangis saat mau diantar kembali ke tendanya, Pak Dokter.” “Dia siapa?” tanya Ace lagi. “Cantika namanya, sejak turun dari mobil tadi dia ngikutin Nala terus.” Ace bertanya pada petugas informasi di mana letak tenda keluarga Cantika berada. Kemudian dia meminta Arumi kembali ke dapur umum. Sedangkan Nala diajak mengantar Cantika. Awalnya Nala menolak, dia beralasan harus segera kembali ke dapur umum juga. Namun titah seorang paduka Ace tidak bisa dibantah oleh siapapun! Jadinya dia hanya menurut saja. “Berat?” tanya Ace. “Lumayan, Cantika agak embul,” jawabnya. “Kalau capek biar aku ganti gendong.” “Kenapa gak dari tadi sih, Pak. Tangan Nala udah kesemutan semua ini,” gerutu Nala pada Ace yang sangat tidak peka. Cantika pindah ke dalam gendongan Ace. Anak itu mendadak menjadi sangat penurut sekali. Padahal tadi Arumi dan petugas informasi mau menggendongnya saja dia langsung menolak dan menangis. Pesona Ace memang tiada tandingannya. Nala masuk ke dalam tenda untuk mencari Nenek Cantika. Sementara Ace menunggu di luar. Sejak perjalanan menuju ke tenda banyak sekali gadis muda dan Ibu-ibu yang menggoda Ace. Nala keluar bersama Nenek yang usianya seumuran Dengan Nenek Kemala. Beliau datang dengan membawa boneka di tangannya. “Cantika, anak cantik. Ayo turun, Sayang,” ucap Nenek dengan merentangkan kedua tangannya. “Gak, Mau!” tolaknya dengan mengeratkan kedua tangannya pada leher Ace. “Pak Dokter mau periksa orang sakit. Nanti kamu disuntik kalau gak nurut sama nenek.” Cantika menatap Ace dengan mata bulatnya. “Pak, Doktel. Mau untik Antika?” tanyanya dengan polos. “Harus nurut apa kata Nenek. Nanti kalau banyak main dan lari-larian bisa sakit. Nah ... kalau sakit Pak Dokter kasih obat biar cepat sembuh. Mau minum obat?” Cantika menggeleng, meminta diturunkan. Lalu berjalan mendekati Neneknya. Ace memang sudah terbiasa dengan anak kecil karena di rumah dia memiliki 3 keponakan anak dari Embun. “Terima kasih Pak Dokter dan Mbak Nala sudah mau mengantar Cantika. Tadi Nenek ketiduran sampai tidak tahu kalau cucu sudah pergi jauh dari tenda.” “Iya, Nek. Sama-sama. Lain kali kalau capek mau istirahat ada baiknya Cantika dititipkan pada orang yang ada di sebelah Nenek. Di sini banyak mobil berlalu lalang bahaya jika Cantika dibiarkan main sendiri sampai jauh.” “Iya, Pak. Nenek akan berhati-hati lagi setelah ini,” jawab Nenek dengan tersenyum. “Kalau begitu kami pamit dulu ya, Nek,” ucap Nala. Nenek mengangguk dan melambaikan tangannya pada Nala dan Ace. Keduanya kembali menuju ke tenda relawan Rumah Sakit Al-Fathan Medical Center. Namun saat baru setengah jalan ada satu ibu dan anaknya menghadang jalan mereka. “Ada apa, Bu?” tanya Nala. Karena Ace sudah memasang wajah dingin dan juteknya. “Anak saya sedang sakit, Pak Dokter bisa memeriksanya?” Nala melihat ke arah Ace meminta jawaban, sebenarnya dia tahu jika ibu di depannya ini hanya berpura-pura saja anaknya sakit. Pasti mereka memiliki rencana untuk mendekati Pak Dokternya. “Maaf, Bu. Istri saya sedang hamil muda harus segera istirahat. Jika anak Ibu sakit bisa langsung ke klinik darurat yang ada di sini,” jawab Ace dengan merangkul bahu Nala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD