Salah Rumah

1728 Words
Nala terkejut dengan mulut setengah terbuka masih tidak percaya Ace ada di depan rumahnya. Dia sampai mencubit kedua pipinya sendiri untuk meyakinkan jika yang ada di depannya benar-benar Dokter kesayangannya. “Sakit ...” teriaknya dengan mengelus pipinya. “Kenapa kamu cubit pipimu sendiri, Nala?” tanya Nadhief. “Aku lagi gak mimpi ‘kan? Kok bisa ada Pak Dokter di sini.” Nadhief menggeleng lalu tersenyum ke arah Ace. Dia sudah pernah bertemu Ace saat menjadi dosen tamu di kampusnya. “Dokter Ace ada saudara di sini?” tanya Nadhief. “Tidak!” jawab Ace dengan wajah datar. “Lalu mau ngapain Pak Dokter ke sini?” saut Nala, langsung mendapat pelototan dari Dokter kesayangannya. “Memangnya saya tidak boleh berada di sini?” tanya Ace pada kedua orang yang ada di depannya. Nala dan Nadhief kompak menggeleng. “Sebenarnya orang asing memang tidak boleh sembarang masuk, Pak Dokter.” “Nala ...” “Kenapa, Kak. Nala benar ‘kan?” tanya Nala dengan polos. “Iya, tapi sebaiknya tidak usah dikatakan juga, La.” Meskipun masih bingung dengan maksud Nadhief, Nala mengangguk saja dari pada kena omelan dari sahabatnya. “Maafkan Nala, Dok. Dia memang suka bicara sesuka hatinya.” “Kamu siapanya Nala? kenapa kamu yang harus meminta maaf?” “Nala sahabat yang sudah saya anggap seperti adik sendiri, Dok. Karena dia belum paham dengan kesalahannya jadi saya mewakilinya untuk meminta maaf,” terang Nadhief pada Ace. Nala semakin bingung dengan ucapan Nadhief. Benar apa yang dikatakan oleh Ace. Kenapa juga Nadhief harus meminta maaf untuknya? Sementara Ace mulai kesal melihat kedekatan Nala dengan calon Dokter yang pernah diajarnya. Ace datang ke komplek perumahan Nala untuk mengantar sahabatnya memilih undangan pernikahan. Saat mobil yang dikendarainya melewati rumah Nala, Ace melihat gadis itu sedang bercanda dengan seorang Pria. Karena rasa penasaran yang sudah tidak bisa ditahan dia memutuskan menghampiri Nala dengan berjalan kaki dari rumah Tante Adel. Ace sengaja tidak memakai mobil karena alasannya melihat-lihat sekitar komplek saat Nala bertanya. “Tidak masalah! Saya sudah sangat hafal dengan sikap Nala.” Nala mengulum senyum, senang sekali saat Ace mengatakan sangat hafal dengan sikapnya. Padahal dia merasa Pak Dokternya selalu acuh dengannya. “Pak Dokter kenal sama Kak Nadhief?” “Hmmm ...” “Di mana kenalnya?” tanya Nala lagi. “Dia mahasiswaku.” “Wah ... kebetulan sekali Kakak bisa bertemu Pak Dosen sendiri.” Nadhief mengacak rambut Nala saking gemesnya Nala. “Kalau begitu saya pamit dulu,” ucap Ace dengan menahan gejolak aneh pada hatinya. “Memangnya Pak Dokter dari mana tadi?” tanya Nala. “Rumah Bu Adel.” “Sama dokter Dani?” “Iya.” “Owh,” jawab Nala dengan membulatkan mulutnya. Ace mengernyitkan dahinya, tumben sekali Nala tidak ingin tahu untuk apa dia dan Dokter Dani berkunjung ke rumah tetangganya. Gadis itu, malah asik berbincang dengan Nadhief tanpa memperdulikan Ace. “Pak Dokter yang selalu menjagamu itu Dokter Ace?” tanya Nadhief saat Ace sudah tak terlihat lagi. “Rahasia ...” jawab Nala dengan berlari masuk ke dalam rumahnya. *** Sejak pergi dari rumah Nala, Ace tidak bisa duduk dengan tenang. Pikirannya dipenuhi senyuman gadis itu pada Nadhief. Entah kenapa dia tidak rela jika Nala tersenyum pada Pria lain? Padahal dia tahu jika Nala adalah gadis yang sangat ramah pada semua orang. Jadi wajar kalau dia tersenyum pada semua orang. Sikap calon mertua sahabatnya sangat membuat Ace jengah. Sejak tadi Tante Adel terus saja bertanya soal dia yang menjadi pewaris tunggal rumah sakit Al-Fathan Medical Center. Sangat tidak sopan menurutnya. Hal semacam itu seharusnya tidak ditanyakan pada seorang tamu yang baru saja kenal. “Apa masih lama?” “Kamu tadi nggak jadi ke rumah Nala?” “Dia sedang sibuk. Aku gak berani ganggu.” “Pacaran?” Ace mengangkat bahunya, malas menjawab godaan dari Dani. Sebenarnya dia sudah menolak saat sahabatnya memintanya menemani ke rumah tunangannya. Karena Ibunya ikut membujuknya dengan sangat terpaksa dia mengiyakan. Mana bisa Ace menolak titah Ratu di rumahnya. “Kalau kamu mau kesana lagi bawa mobilku saja daripada jalan kaki. Lumayan jauh juga ‘kan? Tambah cuaca diluar panas sekali.” “Memangnya kamu masih lama?” tanya Ace lagi memastikan. Dani mengangguk. “Sebenarnya aku ingin memastikan sesuatu. Bisakah kamu memberi waktu untuk kami?” “Baiklah. Aku akan pergi keluar sebentar. Jika kamu sudah mau pulang telepon saja. Aku akan segera menjemputmu,” ucap Ace. Setelah itu, dia pergi keluar dari rumah Tante Adel. Saat sudah di dalam mobil, Ace bingung mau kemana? Dia bukan tipe pria yang suka nongkrong. Setiap weekend selalu dihabiskannya bersama anggota keluarganya. Mobil yang dikendarainya sudah sampai di depan rumah Nala. Ace menghela nafas beberapa kali. Baru kali ini dia seperti orang gila hidup tanpa tujuan. “Apa masuk saja ya?” Saat mempertimbangkan, apa dia akan masuk atau tidak? Seseorang mengetuk kaca mobilnya. “Kamu sedang apa?” tanya Danesh. “Mencari rumah seseorang. Sepertinya aku salah rumah,” jawabnya dengan sedikit berbohong. “Rumah siapa?” “Tante Adel. Aku ingin menjemput temanku,” yang namanya berbohong pasti akan berlanjut. Itu yang sedang dilakukan oleh Ace sekarang. “Oh ... rumahnya ada di sebelah sana,” tunjuk Danesh ke arah rumah Tante Adel. “Sepertinya terlewat olehku.” “Iya, pastinya tadi sudah kamu lewati,” jawab Danesh. “Buru-buru atau tidak?” Ace menggeleng. “Sebenarnya di suruh jemput 1 jam lagi. Aku baru tahu soalnya tidak baca pesannya,” tuh ‘kan bohong lagi Pak Dokter. “Mau mampir dulu? Kebetulan aku sedang sendirian di rumah,” tawar Danesh. “Apa tidak merepotkan? Bukannya kamu akan pergi?” “Tidak sama sekali. Tadi aku bosan dirumah sendirian berniat menjemput Nala yang lagi main ke rumah tetangga.” Ace mengiyakan tawaran dari Danesh daripada bingung tidak memiliki tujuan. Danesh orangnya sangat menyenangkan jika diajak bicara membuat Ace tidak mudah bosan. “Nala ke rumah Malika?” “Bukan, dia ada di sana,” tunjuk Danesh pada rumah Nenek Kemala. “Sedang memetik mangga yang sudah matang.” “Dia memanjat?” tanya Ace. “Pastinya iya. Mana mau diam menunggu di petikkan. Mungkin anak itu masih berada di atas pohon,” jelas Danesh pada Ace. Pembicaraan keduanya mengalir begitu saja. Ternyata Ace dan Danesh pernah sama-sama mengikuti olimpiade yang sama waktu duduk di bangku SMA. Danesh masih mengingat Ace, namun Pak Dokter kesayangan Nala itu sama sekali tidak mengingatnya. Danesh menatap Ace dengan tatapan penuh arti. “Ada apa?” tanya Ace. “Apa kamu tunangan Fairuz? Anak Tante Adel.” “Bukan aku tapi sahabatku.” “Papa mengatakan jika pewaris rumah sakit tempat Nala bekerja akan menjadi menantu Tante Adel?” “Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud.” “Sudahlah tidak penting untuk dibahas. Anggap saja aku tidak pernah bertanya hal macam tadi.” Sebelum Ace sempat menjawab. Gadis manis datang dengan berteriak memanggil-manggil nama sang kakak. Dia membawa banyak sekali buah mangga hasil petikannya sendiri. “Adek gak usah teriak begitu. Gak sopan!” “Hah ... Pak Dokter?” Nala kaget langsung menjatuhkan keranjang kecil yang berisi mangga. “Aduh,” teriaknya saat kakinya kejatuhan mangga. Danesh menghampiri adiknya yang sedang kesakitan. Padahal hanya lecet sedikit tapi Nala memang seperti itu. Selalu berlebihan apalagi di rumahnya kini sedang kedatangan tamu Pak Dokternya. “Gak bisa jalan Akak,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangannya. “Halah, cuman lecet sedikit saja. Jalan sendiri saja! Kamu ini terlalu banyak makan jadinya embul. Berat jika Kakak harus menggendongmu.” “Mana ada Nala embul? Jangan fitnah ya, Akak!” seru Nala tak terima. “Kalau enggak embul ini apa, hah?” tanya Danesh dengan menarik kedua pipi chubby adiknya. “Akak sakit!” Danesh meninggalkan Nala, kembali duduk di depan Ace yang sejak tadi hanya melihat interaksi kakak beradik yang tengah berdebat. Nala berjalan menuju gazebo dengan sedikit pincang.Gadis itu, melupakan mangganya menggelinding ke semua arah. “Kakinya sakit?” tanya Ace. Nala menggeleng, mengulum senyum. Dia tersanjung Ace bertanya mengenai keadaan kakinya. “Enggak, ini cuman lecet aja." “Katanya tadi gak bisa jalan?” saut Kakak Nala. “Ya, ‘kan tadi. Beda cerita kalau sekarang.” “Cuman selang beberapa menit saja, Adek!” Nala hanya memutar bola mata malas. Kakaknya malah menggodanya disaat sedang bersikap elegan di depan Ace. “Pak Dokter kok bisa ada di sini?” “Waktu Kakak mau susulin kamu kebetulan ketemu sama Ace yang sedang kebingungan mencari rumah kerabat temannya. Jadi, Kakak ajak saja dia mampir ke sini,” terang Danesh. Nala mengangguk dengan kedua alis saling bertaut. Ciri khas Nala jika dia sedang berpikir. “Bukannya tadi Pak Dokter ...” “Kamu tadi bawa apa, La?” tanya Ace memotong pembicaraan Nala. Jika Nala meneruskan ucapannya pasti terbongkar semua kebohongannya pada Danesh. Jangan sampai hal itu terjadi! Bisa rusak reputasinya sebagai seorang Al-Fathan. “Ah iya, Astaga mangga ku tersayang ...” Dia berlari mengambil mangganya yang sudah menggelinding ke mana-mana. Memasukkan kembali ke dalam keranjang milik Nenek Kemala. Sementara Kakaknya yang melihat tingkah polah adiknya hanya menghela nafas. Baru saja bilang jika kakinya lecet sekarang sudah aktif kembali. “Kakak mau jus mangga dan rujak?” “Boleh, cuaca sedang panas. Pas sekali untuk rujakan.” Danesh tidak pernah menolak makanan buatan adiknya. “Kamu suka rujak?” “Sedikit,” jawab Ace. Dia memang tidak begitu suka dengan yang namanya rujak. “Kamu harus mencoba sambal rujak bikinan Nala. Rasanya tidak ada tandingannya.” “Jangan percaya, Pak Dokter. Akak memang suka berlebihan,” saut Nala. “Sepertinya memang harus mencobanya. Masakan Nala selalu enak,” jawab Ace. Nala bergegas masuk untuk membuatkan jus mangga dan rujak spesial untuk Pak Dokternya. Gadis itu, sudah berniat membuat rujak sejak pagi. Dia bahkan meminta kakaknya membeli buah saat perjalanan pulang dari bandara. “Enak sekali! Jika Nala membuka restoran dengan menu masakan nusantara aku akan menjadi pelanggan setianya,” ucap Ace saat sudah menghabiskan beberapa potong buah yang dicolokkan ke sambal rujak. “Memang itu cita-citanya. Makanya ngotot sekali mau bekerja. Dia sedang mengumpulkan modal buat membuka usaha ...” “Kak,” tegur Nala pada Kakaknya. Dia tidak suka jika cita-citanya diceritakan pada orang lain. Eyang Putri nya pernah berkata, pamali jika menceritakan cita-citanya pada orang lain. “Aku bisa jadi penanam modal untuk usahamu, La,” ucap Ace membuat Nala membulatkan matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD