Sadar Diri ~

1024 Words
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Shakira terbangun dari tidurnya, membuka matanya perlahan. Dengan sedikit linglung, ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, ia terkejut. Lelaki yang duduk di sampingnya di bus kini berdiri tepat di depan kost-kostannya. Senyum ramahnya masih sama seperti saat mereka di bus. Shakira merasa bingung dan canggung. "Loh, kamu kemari? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" tanyanya, penuh kebingungan. Lelaki itu hanya tersenyum lembut, membuat Shakira semakin bingung. Namun sebelum lelaki itu sempat menjawab, tiba-tiba suara alarm ponsel Shakira berbunyi keras. Shakira terbangun seketika, kembali ke dunia nyata. Ternyata itu semua hanya mimpi. Ia menatap ponselnya yang masih bergetar dengan bunyi alarm. "Ah, ngapain juga aku harus memimpikan dia," gumamnya, sambil mematikan alarm dan menatap langit-langit kamar dengan sedikit senyum malu di wajahnya. Shakira menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya setelah tersadar dari mimpi yang membuatnya gelisah. “Aku nggak boleh baper,” gumamnya. “Aku kesini bukan untuk itu. Fokus, Shakira. Kerja. Kerja. Kerja.” Ia menatap ponselnya, jam di layar menunjukkan pukul setengah lima sore. Merasa bahwa dirinya sudah cukup beristirahat, Shakira segera menuju kamar mandi untuk mandi dan menyegarkan diri. Air dingin yang menyentuh kulitnya seolah membersihkan sisa-sisa kebingungan dan perasaan tak menentu yang tadi sempat mengganggu pikirannya. Setelah selesai mandi, Shakira mengenakan pakaian yang nyaman dan duduk di tepi tempat tidur, menatap kopernya yang masih terbuka. Tanpa berpikir panjang, ia mulai merapikan semua pakaian yang ada di koper, menggantungkan beberapa di lemari dan menyusun sisanya di rak yang tersedia di kamar kos itu. Setiap lipatan pakaian yang ia rapikan terasa seperti langkah awal dalam memulai hidup barunya. “Aku datang ke sini untuk memulai segalanya dari nol,” bisiknya pada diri sendiri, merasa sedikit lebih tenang dan siap menghadapi hari esok. Setelah selesai merapikan pakaiannya, perut Shakira tiba-tiba keroncongan. Ia duduk sejenak di tepi tempat tidur, memikirkan di mana ia bisa mendapatkan makanan. Kamar kos itu hanya dilengkapi dengan lemari dan kasur, tidak ada dapur atau fasilitas memasak. Shakira menyadari kalau terus membeli makanan di luar setiap kali makan, uangnya akan cepat habis. Ia mengingat kembali uang yang diberikan oleh Nana. Dari dua juta rupiah, kini tersisa satu juta empat ratus ribu setelah membayar kos selama sebulan dan ongkos perjalanannya. "Aku harus lebih hemat," gumam Shakira. "Mungkin aku harus beli rice cooker. Setidaknya, nanti tinggal beli lauknya saja, dan itu bisa mengurangi pengeluaran." Setelah memutuskan rencananya, Shakira bersiap untuk keluar mencari makanan dan membeli rice cooker. Ia berharap masih ada toko yang buka meski hari sudah sore. Dengan cepat, ia mengenakan jaket dan meraih tasnya, lalu keluar dari kamar kos dengan tekad kuat untuk lebih bijak mengelola keuangannya di kehidupan barunya ini. Kehidupan Shakira memang berubah drastis setelah menikah dengan Kenzi. Jika dulu ia dikenal boros dan bergaya hidup hedon, kini ia belajar untuk menahan diri dan lebih bijak dalam mengelola keuangan. Pengalaman pahit dalam pernikahannya, ditambah dengan kenyataan bahwa ia harus memulai hidup dari awal, membuat Shakira menyadari pentingnya mengatur keuangan dengan baik. Dulu, Shakira tidak pernah berpikir dua kali untuk menghamburkan uang demi barang-barang mewah atau gaya hidup yang serba glamor. Namun sekarang, setiap pengeluaran ia pikirkan matang-matang. Ia lebih memilih untuk membeli kebutuhan pokok dan mempersiapkan masa depannya, daripada mengejar hal-hal yang hanya memberi kepuasan sementara. Perubahan ini membuat Shakira lebih kuat dan mandiri. Ia tahu bahwa hidupnya kini bukan lagi tentang kemewahan, tapi tentang bertahan dan memperbaiki diri. Pelan-pelan, ia mulai menikmati proses ini—menikmati hidup yang lebih sederhana, namun penuh dengan pembelajaran. Di tempat lain, Kenzi sudah tiba di rumah orang tuanya. Ia membuka pintu sambil mengucap salam. Tak lama kemudian, Dita keluar dari kamarnya dan menghampiri Kenzi yang ternyata sudah duduk di ruang keluarga. Meskipun pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Shakira sejak pagi, Kenzi berusaha menunjukkan wajah biasa saja. Dita tersenyum dan berkata, "Akhirnya kamu datang juga, Ken." Kenzi berdiri dan menyalami ibunya. "Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan. Dita tidak langsung menjawab, melainkan kembali ke dalam kamarnya. Tak lama, ia keluar lagi dengan sebuah paperbag di tangannya dan menyerahkannya kepada Kenzi. "Ini, tas untuk Shakira. Oleh-oleh dari ibu dan ayah. Kemarin kami sempat keluar negeri." Kenzi terkejut. "Apa? Luar negeri?" tanyanya sambil mengerutkan kening. "Iya," jawab Dita sambil tersenyum. "Tuan Adhinata memberikan bonus jalan-jalan pada ayahmu dan ibu." Kenzi mengangguk, mengerti. Ia tahu bahwa Tuan Adhinata yang disebut ibunya adalah bos ayahnya, Agas. Setelah itu, Dita mengajak Kenzi untuk makan, namun Kenzi menolak dengan halus. "Maaf, Bu. Aku harus segera pulang. Shakira juga sudah memasak," katanya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia berbohong. Dita tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu. Jaga diri, dan salam untuk Shakira," katanya, membiarkan Kenzi pergi. Kenzi mengucap terima kasih, namun di dalam hatinya, kegelisahan tentang Shakira terus mengganggu pikirannya. Kenzi keluar dari rumah orang tuanya dengan langkah tergesa. Ia membuka pintu mobilnya dan duduk di kursi pengemudi lalu meletakkan paper bag yang diberikan oleh Dita di kursi sebelahnya, lalu menatapnya sejenak. Di pikirannya terlintas wajah Shakira— ia tak mungkin memberikan tas itu pada Shakira sekarang karena ia tak tahu dimana Shakira berada. Kenzi menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menyalakan mesin mobil. Ia berusaha tampak tenang di depan ibunya. Tapi kenyataannya, hatinya tetap gelisah, dan pikirannya masih terus memikirkan keberadaan Shakira. Tanpa membuang waktu, ia mulai melaju keluar dari rumah orang tuanya. Namun, perasaan tak menentu tetap menghantui setiap gerakannya. Di daerah puncak, dekat kost Shakira. Shakira melangkah di sepanjang trotoar dengan tatapan penuh harap, matanya sibuk mencari pengumuman lowongan kerja di sepanjang jalan. Sayangnya, hingga ia melewati beberapa toko dan bangunan, belum ada tanda-tanda tempat yang membutuhkan pekerja. Langkah kakinya mulai melambat ketika ia melihat sebuah gerobak nasi goreng di tepi jalan. Perutnya yang sudah keroncongan memaksa Shakira berhenti. Tanpa pikir panjang, ia memesan sepiring nasi goreng dan memutuskan makan di tempat. Sambil duduk di bangku kecil, Shakira makan dengan lahap. Rasa nasi goreng yang sederhana namun lezat memberinya sedikit kekuatan. Setelah selesai, ia membayar dan kembali berjalan menyusuri trotoar, kali ini di seberang jalan. Saat berjalan pulang, pikiran Shakira terus berputar tentang masa depannya. Ia berharap bisa segera menemukan pekerjaan, lebih baik lagi jika letaknya dekat kos agar ia tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi. Tiba-tiba, langkahnya terhenti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD