Sudah satu pekan Alena pergi ke Bali. Selama itu pula, Alan bisa sedikit lega. Ia tidak perlu melihat kehadiran Alena di rumah untuk sementara waktu. Mungkin kalau setiap hari seperti ini, rasanya akan menyenangkan pikir Alan.
Namun ibunya terlihat sedikit berbeda. Terlihat sedikit murung. Rasanya deja vu. Perubahan sikap ibunya terasa familiar bagi Alan.
Saat Alena kuliah dulu, ibunya terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Berada jauh di luar negeri, membuat ibunya sering dilanda rasa khawatir. Apalagi Alena adalah seorang perempuan.
Ibunya memang tetap merawat Alan dengan baik selama Alena tak ada. Tapi sayangnya, rasa perhatian itu seolah tersita untuk Alena yang berada jauh di sana.
Kadang Alan berpikir, apa ibunya sama sekali tak penasaran dengan kehidupannya? Tapi untuk apa juga sih? Alan 'kan hanya orang biasa. Jadi mungkin saja kalau ibunya tak pernah tertarik dengan kehidupan pribadinya.
"Ibu sedang memasak apa?"
"Oh? Kamu sudah pulang Nak?"
Alan tersenyum hangat pada ibunya lalu duduk di meja makan. "Iya, aku baru saja pulang. Hmm ... wangi sekali. Ibu memasak apa?"
"Seperti biasa. Ibu masak masakan kesukaan Ale ... hmm ... maksud Ibu, Ibu sedang memasak rendang. Kau suka dengan rendang juga 'kan?" Arin berbalik lalu membawakan sepiring daging rendang ke meja makan.
Benar 'kan? Alan sudah tahu isi kepala ibunya sendiri. Ketika Alena jauh, maka ibunya akan menaruh perhatian lebih pada gadis itu.
Raut wajah Alan mulai datar. Ia tak suka kalau nama Alena selalu disebut. Selama ini, ia sudah cukup sabar dengan perlakuan ibunya itu. Sekarang ia sudah tak tahan lagi.
"Aku tidak suka rendang. Aku tidak suka makanan pedas. Aku Alan, bukan Alena! Kenapa Ibu tidak pernah bertanya sekalipun tentangku? Apa yang aku suka? Apa yang tidak kusukai? Kenapa Bu? Kenapa Ibu tidak ikut saja ke Bali menyusul anak kesayangan Ibu?"
"Alan, Ibu tidak—"
"Ayolah Bu ... Ibu selalu membanggakan Alena di depanku. Selalu Alena dan Alena saja yang ada di pikiran Ibu. Aku jadi ragu, apakah aku benar anak kandung Ibu? Kenapa aku merasa asing di rumah ini? Apa karena aku menyusahkan dan tak berguna di rumah ini?"
Mendengar hal itu, Arin refleks menampar sang anak. "Alan! Jaga bicaramu!"
Mata Alan memerah menahan tangis, lalu tiba-tiba tertawa tak percaya. Ia benar-benar terkejut ketika ibunya berani melakukan hal seperti itu padanya.
"Baiklah, aku mengerti Bu."
Alan segera beranjak pergi ke kamarnya, meninggalkan sang ibu yang kini terduduk lemah.
Arin tak menyangka ia akan melakukan hal itu. Ia benar-benar menyesal telah meluapkan emosinya dengan cara seperti itu. Ia yakin Alan akan semakin sakit hati pada Alena. Ia pun segera menyusul Alan ke kamarnya.
"Nak, maafkan Ibu. Ibu—benar-benar menyesal. Alan, tolong buka pintunya." Ucap Arin sambil mengetuk pintu kamar Alan dengan putus asa. Berharap sang anak mau membuka pintu dan mendengarkan penjelasannya.
Namun, sayangnya tak ada jawaban sama sekali. Sementara di dalam kamar, Alan sudah tak bisa menahan tangisnya lagi.
***
Sejak kejadian itu, Arin berusaha memberikan perhatian lebih pada Alan. Meski lumayan memakan waktu, Arin bersyukur Alan perlahan-lahan sudah mau berbicara kembali padanya.
"Bagaimana kuliahmu Nak? Apa ada tugas yang sulit?"
Alan tersenyum kecil. "Lumayan sulit sih, tapi aku bisa mengerjakan tugasnya, Bu. Bisa dibilang, kuliah hari ini cukup menyenangkan. Dosennya tidak galak seperti kemarin."
"Haha ... ya ampun, memangnya seberapa galak sih? Apa kau pernah dimarahi oleh dosen itu?"
"Tidak kok. Aku 'kan anak yang baik."
Arin kemudian mengusap rambut Alan dengan sayang. "Syukurlah kalau kuliahmu berjalan dengan baik. Sekarang lebih baik kau segera makan. Ibu sudah menyiapkan sup tuna dan tempe goreng kesukaanmu."
Mata Alan langsung berbinar. Ia senang sekali sang ibu sudah mulai memberikan perhatian padanya. Meski terkadang masih sering melihat ibunya melamun, tapi ibunya sudah jarang membahas Alena lagi di depannya.
"Aku akan menghabiskan masakan Ibu."
"Tentu, pokoknya kau harus menghabiskannya. Ibu sudah membuatnya spesial untukmu."
Senyum sumringah Alan tidak bisa ditutupi lagi. Rasanya sangat bahagia diperlakukan seperti sekarang.
"Terima kasih, Bu."
"Sudah kewajiban Ibu. Ayo makan ...."
Mereka akhirnya makan siang bersama.
Saat mereka tengah fokus makan siang, tiba-tiba dering ponsel Arin berbunyi. Arin segera menghentikan aktivitas makannya dan beranjak bangun menuju kamar untuk mengambil ponselnya.
"Ya Jun, ada apa?"
"Apa Alena sudah sampai di rumah, Bu?"
"Belum Nak, memangnya ada apa?
"Ponselnya sejak kemarin tidak bisa dihubungi. Aku kira dia sudah pulang ke rumah."
"Lho? Dari kemarin dia belum pulang ke rumah. Ibu kira, kalian memperpanjang liburan kalian."
"Apa?! Jadi Alena sama sekali belum pulang ke rumah?" Suara Jun terdengar panik.
"Iya, memangnya kapan kalian pulang? Kenapa kau terdengar panik seperti itu?"
"Oh? Ti—tidak Bu. Hanya saja, kami semua sudah pulang dua hari yang lalu, Bu."
"Apa?! Kenapa kau baru menghubungi Ibu sekarang?"
"Maaf Bu, aku kira Alena sudah sampai ke rumah dan lupa menghubungiku. Nanti akan kucoba hubungi yang lainnya."
"Ya sudah. Nanti segera kabari Ibu kalau ada apa-apa."
"Iya Bu. Nanti akan ku kabari secepatnya."
Setelah menutup sambungan telepon, Arin menggigit bibirnya. Perasaan cemas mulai menggerogoti. Pantas saja selama dua hari ini, ia tidak menerima kabar apapun dari Alena. Semoga saja anaknya memang sedang menginap di rumah temannya yang lain.
"Ada apa Bu?" Tanya Alan saat ibunya sudah kembali ke meja makan.
"Alena, dia—"
"Kenapa lagi dengan dia, Bu?" Alan sedikit kesal mendengar nama itu lagi.
Melihat Alan kesal, Arin jadi sedikit ragu untuk menceritakan percakapannya tadi dengan Jun. Tapi karena perasaannya tak enak, mau tak mau Arin harus mengatakan hal yang sebenarnya.
"Begini—tadi Jun bilang, mereka sudah pulang dua hari yang lalu. Barusan Jun menanyakan keberadaan Alena di sini."
"Paling dia hanya bermain ke tempat lain Bu. Ibu seperti tidak tahu dia saja."
"Tapi sudah dua hari ini dia tidak mengirim kabar pada Ibu. Tidak biasanya dia seperti itu."
"Sudahlah Bu, nanti juga dia pulang. Ibu jangan terlalu mengkhawatirkan dia. Bukankah teman-temannya sangat banyak? Aku yakin mereka akan menjaga Alena dengan baik."
"Tapi perasaan Ibu tidak enak Alan." Tatapan Arin mulai terlihat kosong sekaligus panik.
"Itu hanya perasaan Ibu saja. Nanti juga Kak Jun menghubungi Ibu, tunggu saja kabar darinya."
Pada akhirnya, Arin hanya bisa mengangguk pasrah mengiyakan perkataan Alan.
Selesai makan, Alan kembali ke kamarnya. Ia kemudian mengambil buku misteri favoritnya di meja belajar. Kebetulan karena belum ada tugas kuliah, ia ingin membaca buku favoritnya untuk bersantai.
Meski bukunya cukup tebal, Alan tetap asyik membaca halaman demi halaman. Perlahan, ia mulai tenggelam dengan cerita yang disuguhkan. Saat sedang serius membaca, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alan melirik layar ponselnya dan ternyata ada sebuah pesan masuk.
Alan kemudian membuka pesan tersebut, lalu menaruh ponselnya kembali setelah membaca isi pesannya.
Ia menghela napas kesal. Pesan tersebut ternyata pesan yang sama seperti pesan yang ia terima beberapa hari yang lalu. Yang paling membuat Alan kesal, pesan tersebut hanya berisi tentang penawaran bermain game. Pikirnya, mungkin pesan itu adalah pesan promosi dari operator selulernya.
Alan kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Dan hal yang sama terulang kembali. Di saat ia sedang serius-seriusnya membaca, ponselnya berbunyi kembali.
"Awas saja kalau pesannya sama seperti tadi." Alan menggerutu namun tetap membuka layar ponselnya.
Namun pesan kali ini berhasil membuat Alan merinding. Pesan yang ia kira tidak penting, ternyata baru saja menginformasikan tentang Alena.
Waktumu tinggal satu hari lagi untuk bergabung. Jika kau ingin menemukan Alena secepatnya, silahkan bergabung dalam game ini. Jika terlambat, maka Alena tidak akan kembali.
- www.alenasecret.com -