Chapter 4

1146 Words
Suara deru mesin mobil terdengar dari luar rumah. Alan yang baru saja selesai membaca pesan tersebut, perhatiannya langsung teralihkan. Ia bergegas bangkit dan berjalan ke arah jendela. Bisa ia lihat, mobil Jun kini terparkir di halaman rumahnya. Lalu tak lama kemudian, Jun keluar dari mobilnya dengan wajah cemas dan berjalan terburu-buru ke dalam rumah. Sejenak Alan berpikir kemungkinan yang terjadi. Tak biasanya pria itu datang sendirian ke sini. Apalagi Alena juga belum pulang sejak dua hari yang lalu. Sebenarnya apa yang terjadi? Perasaan was-was mulai muncul di hati Alan. Karena terlalu penasaran, ia pun turun ke bawah. Baru saja ia turun tangga, ia dikejutkan oleh tangisan Arin. Ia pun buru-buru menghampirinya ibunya yang terduduk lemah. "Ada apa Bu?" "Alan, kakakmu—" Arin memegang pundak Alan dengan gemetar. "Tenang Bu, jelaskan perlahan." "Kakakmu, di—dia menghilang. Semua orang sudah dihubungi oleh Jun, tapi tak ada satu pun yang tahu keberadaannya." Tangis Arin kemudian pecah. Lantas Alan menoleh pada Jun. Pria itu mengangguk dengan wajah bersalah. Alan pun menghela napasnya. Ternyata firasat ibunya memang benar. Ditambah lagi dengan pesan misterius yang baru saja ia terima. Sepertinya memang terjadi sesuatu yang buruk pada Alena. Alan memperhatikan sejenak wajah sang ibu, ia benar-benar tak tega melihat Arin menangis seperti itu. Ia pun menghapus pelan air mata yang mengalir di pipi Arin. "Tenang ya Bu. Untuk sementara Ibu istirahat saja dulu di kamar. Urusan Alena, biar aku dan mereka yang urus." Arin pun mengangguk. Mereka berdua kemudian membantu memapah Arin ke dalam kamarnya. Setelah menutup pintu dan membiarkan ibunya beristirahat, Alan pun mengajak Jun ke ruang tamu. "Kak, aku ingin bicara denganmu." *** "Apa?! Sial! Sejak kapan kau mendapat pesan itu?" Jun meninju kesal bangku yang ia duduki. "Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku menerima pesan itu. Tapi karena isi pesannya seperti itu, ku pikir itu penipuan." Jun menghela napas kesal. Ia sangat emosi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mau menyalahkan Alan pun ia tidak bisa, karena Alan juga tidak salah. Bisa jadi pesan itu hanyalah pesan penipuan yang sering beredar. Tapi isi pesan terakhir itulah yang membuat semuanya terlihat kebetulan. Kebetulan yang rasanya sangat tidak mungkin, karena isi pesan tersebut bisa persis dengan waktu menghilangnya Alena. "Kau harus masuk ke dalam game itu." Suruh Jun pada akhirnya. Alan malah mengernyitkan dahinya. "Kenapa harus aku? Kenapa tidak kau saja? Kau 'kan seorang programmer, pasti kau bisa memainkannya." "Bukan begitu. Masalahnya dia mengirim pesan itu padamu dan bukan padaku. Sepertinya si pengirim tahu siapa dirimu. Kita tidak boleh gegabah." Saat Alan akan menjawab, tiba-tiba dering ponsel Jun berbunyi. Pria itu memberi isyarat agar Alan menunggu dan segera mengangkat ponselnya. "Ada apa?" "Aku mendapat sebuah pesan Kak. Dan ini tentang Alena." "Pesan? Apa pesan itu berisi tentang sebuah link game?" "Oh? Dari mana kau tahu?" "Alan juga mendapat pesan itu." "Benarkah? Lalu kita harus bagaimana?" "Datang sekarang ke rumah Alena. Kita harus berkumpul membicarakan ini bersama yang lain." "Baiklah, aku akan segera ke sana." Jun pun menutup sambungan tersebut. Alan yang penasaran hanya menatap Jun, seolah meminta jawaban. Jun yang paham pun menjawab rasa penasaran Alan. "Telepon dari Justin." Alan mengangguk paham. "Sebentar lagi ia dan yang lain akan ke sini." Lanjut Jun yang membuat Alan mengernyit tak suka. "Kenapa kau menyuruh mereka datang kemari?" Tanya Alan dengan nada tak terima. Alan hanya malas dengan kebisingan mereka saat mengobrol. "Sekarang bukan saatnya kau egois Alan. Kau butuh mereka, atau kau akan kehilangan kakakmu." *** Kini mereka semua berkumpul. Tidak ada suara berisik atau pun tawa yang ramai. Wajah mereka begitu serius seolah sedang mengerjakan proyek besar-besaran. "Jadi kau sudah menerima pesan itu dari beberapa hari yang lalu?" Alan melirik malas pada Jey, orang yang paling cerewet di antara mereka. Namun mau tak mau Alan menganggukkan kepalanya. Ia teringat dengan perkataan Jun sebelumnya. "Ini benar-benar aneh. Aku bahkan tidak bisa melacak ponselnya." Keluh Justin yang membuat mereka semakin gusar. Orang kedua yang paling mereka andalkan saja tidak bisa berbuat apa-apa. "Kenapa kita tidak coba saja untuk daftar ke dalam game itu?" Usul Kim Joon setelah mereka terdiam beberapa saat. Mereka semua pun terlihat berpikir dengan pendapat Kim Joon. "Benar juga, kenapa kita tidak mencobanya saja. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kalau tidak mencoba. Kalau pun itu pesan penipuan, kita tinggal lapor polisi saja." "Jangan main lapor, kita tidak tahu bagaimana keadaan Alena sekarang." Kim Yoon yang sedari tadi terdiam mulai ikut bicara. "Ya sudah, sekarang kita coba saja mendaftar lebih dulu. Semoga saja kita bisa mendapatkan petunjuk mengenai Alena." Pada akhirnya Jun memutuskan hal itu dan di setujui yang lain. Ia adalah orang terakhir yang mendapat pesan tersebut. Mereka mulai membuka ponsel. Wajah mereka yang tadinya serius kini mulai mengernyit, kecuali Alan. Lelaki itu tampak santai mengisi data yang ia perlukan untuk mendaftar game tersebut. "Bukankah game ini adalah game buatan kita? Kenapa bisa ada di server online?" Jey akhirnya angkat bicara. Alan yang sedari tadi fokus pun terhenti. Menatap mereka semua yang wajahnya terlihat cemas. "Apa kau sudah memastikan datanya aman? Kenapa bisa sampai bocor seperti ini?" Tanya Jun sambil menatap tajam Jey. "Kau tidak boleh meragukanku Jun. Aku sudah benar-benar memastikan data itu aman. Kalau tidak percaya, kau tanya saja pada Kim Joon." "Benar, datanya sudah sangat aman dan diberi beberapa keamanan tambahan. Jadi tidak mungkin ada yang mencurinya." "Sepertinya ada yang ingin mencuri game milik kita." Jimmy mulai berspekulasi. "Ini bukan hanya tentang Alena. Tapi juga sudah menyangkut perusahaan." Sahut Kim Yoon. Jun mengangguk setuju. "Besok kau harus belanja, karena game ini butuh beberapa perlengkapan." Tunjuk Jun pada Jimmy. "Tenang saja Jun, aku akan mengurusnya. Kalau perlu kalian bisa menggunakan rumahku untuk melakukan simulasi game itu." Jun tersenyum sambil menepuk pundak Jimmy. "Ide yang bagus." "Sekarang kalian bisa pulang. Aku akan menginap di sini saja." "Besok kabari kami kalau ada sesuatu." Ucap Joon lalu pergi bersama yang lain. Setelah yang lain pulang, Jun tetap berada di ruang tamu bersama laptopnya. Lelaki itu mencoba memecahkan masalah yang mereka hadapi sekarang. Hingga akhirnya fokusnya terganggu karena tercium aroma mie instan dari arah dapur. Ia melihat Alan membawa dua buah mangkuk ke ruang tamu. "Kau tidak tidur?" "Bagaimana aku bisa tidur? Ini, makanlah ...." Alan menyodorkan satu mangkuknya ke arah Jun. "Terima kasih adik ipar." "Belum resmi." Ketus Alan. Jun terkekeh. Meski sudah berpacaran cukup lama dengan Alena, ia masih belum paham bagaimana sikap Alan sebenarnya. Contohnya saja seperti sekarang, meski mereka sudah cukup banyak mengobrol—tapi tetap saja ia masih merasa asing dengan Alan. Setelah Alan menghabiskan mie di mangkuknya, ia berdiri membawa mangkuk merah itu di tangannya. "Besok pagi panggil saja aku kalau ada apa-apa." Jun mengangguk tanpa bicara apapun. Saat akan berjalan ke kamar, Alan menghentikan langkahnya. Lupa dengan sesuatu. "Oh ya, cuci piringnya sendiri kalau sudah selesai makan." Ucap Alan lalu pergi meninggalkan Jun yang diam-diam ingin tertawa karena tingkah Alan. Meski terlihat cuek, Jun tahu kalau sebenarnya Alan adalah orang yang perhatian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD