Rasanya hari berlalu dengan cepat saat masa liburan, aku masih betah sekali. Masih berharap bangun santai, menikmati hari tanpa memikirkan pekerjaan. Sayangnya, ada uang yang terkuras selama di sini yang harus segera kuganti dengan bekerja lebih semangat lagi.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan membuatku segera meraih tas, berjalan menuju pintu dan membukanya. Kupikir orang hotel, ternyata Pak Dzaki berdiri di depanku, aku sendiri yang memberitahu nomor kamar yang kutempati setelah tadi aku mengirimi foto dia dan putrinya.
“Saya pikir, Pak Dzaki enggak serius pas tanya nomor kamar.”
“Kamu enggak membiarkan saya bayar hasil foto bagus-bagus tadi, jadi jangan menolak ajakan saya makan malam.”
Aku mengulas senyum, “makan gratis memang sulit ditolak, Pak.”
Lalu aku mengunci kamar yang kutempati, barulah jalan beriringan dengannya. Dia bilang tahu tempat makan berbagai olahan seafood terdekat dari sini ketika aku katakan ingin menutup malam ini dengan makan hidangan laut.
“Nara enggak ikut?”
“Dia sama Umi, orang tua saya.”
Aku memberitahu tentang pertemuan dengan Dzaki pada Sea, dia menanggapi santai yang justru malah balasannya membuatku berdecak. Aku masih ingat balasannya... Siapa tahu jodoh, dil! Pepet ayo! Duda bukan sembarang duda kalau Wafda Dzaki Hermawan...
Sejak Athaar menikah, Sea memang gencar sekali mendorongku untuk membuka hati bagi yang lain. Bukan karena aku terlanjur cinta pada Athaar, namun bagiku memulai dengan seseorang tidak pernah mudah. Pak Dzaki baik, sejauh kami bicara beberapa kali, aku tidak ada tujuan lain apalagi untuk mendekatinya selain menghormatinya karena pernah membantuku, sekaligus dia kerabat dari suami sahabatku.
“Kamu terbiasa pergi-pergi liburan sendiri?” tanya Pak Dzaki begitu kami duduk di mobil yang sudah siaga depan lobi hotel.
“Iya, kenapa? Aneh ya dengar perempuan liburan sendiri?” tanyaku.
“Bukan aneh, lebih ke takjub... jarang ada, biasanya sama pasangan, keluarga atau teman-teman.”
“Awalnya coba jalan sendiri memang aneh, banyak takutnya. Begitu sudah mencoba, malah ketagihan... Dapat rasa tenang yang berbeda, pilih tempat sesuka hati, bebas. Selama jalan sendiri juga, bagusnya enggak ada kendala yang bikin trauma... kuncinya, harus benar-benar rencanakan dengan matang. Bikin agenda jadi tahu kegiatan dan tempat pilihan selama liburan. Hm, satu lagi... pastikan sudah cari-cari informasi tempat liburannya. Di internet, di aplikasi jasa pilihan liburan atau media sosial, ulasan berdasarkan pengalaman orang sangat membantu penilaian kita untuk memantapkan pilihan. Paling penting, coba ambil liburan pas bukan barengan hari libur yang panjang. Bisa-bisa enggak dapat rasa puas, malah capek dan kesal kalau tempat liburannya penuh."
Aku langsung terdiam, astaga kuharap aku tidak terlalu banyak bicara tidak penting!
Aku menoleh, mencari tahu ekspresi Pak Dzaki yang sedang mengemudi.
“Oh begitu ya?”
Aku memberi anggukan.
“Kalau saya enggak bisa pergi liburan sendiri, kalau pun pas ada waktu, harus sama anak gadis saya. Makanya setiap kali saya libur, ada di rumah atau ajak Nara liburan, dia selalu menempel banget karena waktu saya lebih banyak untuk tugas dibanding Nara.”
“Kelihatan kok kalau Nara memang enggak mau jauh dari Pak Dzaki,”
Dia mengulas senyum seolah membayangkan wajah cantik putrinya.
“Ini Pak Dzaki keluar sama saya, Nara ditinggal enggak cari, Pak?” tanyaku.
“Cari, tapi Umi pasti bisa membujuknya.”
Aku terdiam.
“Suka makan seafood?” tanya Dzaki.
“Suka, tapi yang bukan favorit banget.” Kalau diminta pilih makan olahan seafood atau pempek asli Palembang, sudah pasti aku pilih Pempek! Makanan urutan pertamaku.
“Kamu sudah lama kerja sama Sea?”
“Lama, dari dia mulai naik dan banyak ajakan kerjasama hasil ngontennya. Kebetulan saya dan Sea memang sekolah di SMA yang sama. Bertahan sampai sekarang, sudah nyaman dan memang sulit keluar dari tempat kerja."
“Saya dan Sky berkerabat, karena kakek saya sepupu dari mendiang Grandad Kaivan Lais.” Beritahunya, aku sudah dengar juga dari Sea saat teman satuku, Azizi bertanya-tanya begitu melihat Dzaki diresepsi pernikahan Sea dan Sky hari itu.
Perawakan dan penampilan Dzaki pasti mencuri perhatian dan minat para perempuan, apa aku juga? Tidak, di hari itu tetap lebih senang memerhatikan Athaar walau di sampingnya selalu ada Rea.
Di awali perjalanan yang ternyata obrolan kami masih nyambung, menyenangkan. Mematahkan anggapan aku akan canggung, atau kehilangan bahan obrolan mengingat Pak Dzaki yang terlihat kaku. Kuyakin ini jadi awal baik untuk makan malam yang didonaturi olehnya. Menutup malam liburanku di Bali sebelum kembali ke Jakarta, menghadapi realitas yang seringnya memuakkan tetapi tidak bisa menghindarinya terus menerus.
***
Aku terbangunkan dering alarm ponsel, membuka mataku yang terasa masih berat. Masih berbaring saat memeriksa ponsel. Masih ada waktu untuk bersiap dan check out dari hotel tanpa buru-buru.
Bangun, duduk ke sisi ranjang, aku mengisi daya ponsel. Barulah turun dari ranjang, menuju kamar mandi. Mulai melepas kaus, saat tidur aku memang lebih merasa bebas tanpa bra. Aku memasuki bilik shower, “oh ya ampun!” decakku saat salah memutar malah membuat air shower yang keluar justru dingin.
Tanganku refleks menggantinya, baru merasa lega setelah air hangat jatuh mengguyur tubuhku. Aku tersenyum mengingat semalam merupakan makan malam yang baik, hanya benar-benar makan malam dengan pemandangan pantai. Setelahnya kembali ke hotel, sebab Nara juga ternyata tidak mau tidur sampai papanya pulang.
Aku terkekeh mengingat begitu sampai di lobi hotel, Nara ternyata tidak sabar sampai memaksa pada kakeknya untuk tunggu di lobi. Anak itu langsung menguasai pelukan Pak Dzaki, sambil memberi tatapan seperti jutek padaku. Aku juga dikenalkan dengan Aagha Zein Hermawan yang merupakan Ayah dari Pak Dzaki.
Aku mengusap tubuhku, segera menyelesaikan mandi dan berpakaian. Check out jam delapan, mengejar sampai bandara tidak terlambat.
“Ini ada titipan,” ucap salah penjaga resepsionis saat aku mengembalikan kunci, melengkapi beberapa prosedur meninggalkan hotel.
Dia menyerahkan sebuah paper bag ukuran kecil, sekitar tinggi 36 sentimeter.
“Ya? dari siapa?” tanyaku memeriksa, dari logo di paper bag, logo yang jelas asing untukku.
“Dari Pak Wafda. Saya hanya dititipi, untuk dikasih ke Mbak Dillah pas Check out."
Huh maksudnya Pak Dzaki? Tanya dalam hatiku, kemudian mengucapkan terima kasih sebelum berbalik. Aku baru memeriksa isinya setelah di taksi, motor yang kusewa juga sudah dijemput oleh orang yang janjian denganku dari jasa penyewaan motornya.
“Vietnamese spring rolls?” aku mengulas senyum, ada sekitar delapan paper rice yang digulung rapi, berisi salad sayur dan ada telur rebus serta udang.
Aku mengambil ponselku, memotretnya kemudian mengirimkan pada Pak Dzaki.
[Ternyata bayarannya belum selesai, ya Pak? Setelah makan malam gratis, dapat bekal sehat. Terima kasih] Pesan terkirim.
Tidak lama balasan Pak Dzaki muncul, bersama senyumku yang mengembang.
[Semoga kamu suka ya, ini direkomendasikan dari adikku yang tinggal di Bali]
Pak Dzaki semalam cerita, dia punya kerabat yang tinggal di Bali, adik yang dia sebut punya usaha katering khusus untuk orang-orang yang mau hidup sehat atau yang sedang program diet. Dalam atas kemasan bahkan terdapat keterangan dari kalori di makanan ini.
Aku kembali menutupnya, menyimpan untuk kumakan nanti jam dua belas siang. Tadi aku sudah minum americano tanpa gula.
Aku lega sampai Bandara tidak terlambat, langsung menyiapkan e-ticket dan kartu identitas untuk check in dan mengatur bagasi. Agak delay beberapa menit, sampai akhirnya aku bisa duduk di pesawat. Senang saat dapat kursi dekat jendela walau bagian menyebalkan saat harus ke toilet, melewati orang-orang di jajaran kursiku.
Beberapa saat menunggu sampai pesawat yang kutumpangi bersiap. Aku baru memejamkan mata untuk berdoa saat mendengar suara yang familier.
“Good afternoon dear passengers, this is your flight deck crew with Captain Athaar Kalfani and first officer Marisa Dhatu...”
Aku terdiam kaku saat mendengar sapaan dari deck pesawat, bukan hanya suara tetapi namanya jelas-jelas sangat familier ditelingaku, sampai-sampai aku tidak hiraukan kelanjutan ucapannya.
“Aa...” gumamku. Baru tahu jika dia sedang dalam tugas penerbangan Bali-Jakarta.
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha tenang. Tidak menghiraukan jantungku yang baru mendengar suaranya saja sudah mengusikku.
Dampak Athaar memang masih berpengaruh, terbukti selama penerbangan ini, aku tidak tidur sama sekali. Berharap cepat sampai, namun saat seorang pramugari mendekat, aku bingung saat dia memberikan sebuah kertas bersama snack bar rasa tropical cranberries. Rasa favoritku.
“Kak Dillah ya?”
“Iya,” anggukku.
“Dari Captain Athaar,” aku terdiam, memberi anggukan dan senyum tipis. Kemudian menerimanya dan berterima kasih. Dua orang penumpang di sampingku memberi tatapan penasaran, aku tidak peduli selain segera membuka lipatan kertas terseut.
Hei, bagaimana liburanmu? Bisa tunggu aku sebentar begitu sampai? Kita pulang bersama. ~Athaar K.
Pertanyaan terbesarku dikepala—bagaimana caranya Athaar tahu aku ada di barisan kursi ini? Atau memang setiap pilot memegang data nama-nama penumpangnya? Untuk memeriksa satu nama secara detail, dikenal, bukannya terlalu membuang waktu?
Aku sudah menghindarinya, apa hari ini kembali harus menghadapinya?