10 April 2016
Ian
Bingkai kayu itu diletakkan dengan rapi di atas nakas bersamaan dengan dua bingkai lainnya yang lebih kecil. Masing-masing bingkai memperlihatkan gambaran keharmonisan keluarga kecilnya. Ian, Nicole, dan purti kecilnya, Amora, yang baru menginjak usia empat bulan minggu lalu. Nyaris sepanjang sore, Ian duduk di atas kursi sembari memandangi bingkai itu. Putrinya tampil sangat cantik dengan gaun satin merah berenda yang dipasangkan Nicole di tubuh mungilnya. Kedua matanya menatap ke sembarang arah ketika kamera mengabadikan momen itu. Ian masih bisa mengingatnya, hanya saja ia tidak yakin apa yang benar-benar dirasakannya kala itu. Senyumnya dalam ketiga peotret itu mengindikasikan sesuatu yang lain.
Mungkin kau hanya berusaha melawan keyakinanmu dan hidup senormal mungkin. Kau pikir itu berhasil, tapi bagian dari dirimu yang paling dalam terus berteriak bahwa semua itu tidak terasa normal. Kau hanya berusaha menjalani kehidupan orang lain - seseorang yang kau segani. Tidak perlu berkecil hati, kita semua melakukannya: berusaha untuk dapat terlihat normal itu menenangkan.
Sampai sekarang kalimat itu masih terpatri dalam benaknya. Ian lupa berapa kali ia mendengar bisikan itu di telinganya tiap kali ia kembali ke rumah – menyaksikan istri dan putrinya selagi mempertanyakan keputusannya sendiri. Fakta bahwa Amy Rogers dapat melihat sisi gelap dalam dirinya membuat Ian merasa jengah dan disatu-waktu merasa penasaran. Entah bagaimana Amy dapat membaca emosinya dengan begitu mudah, namun wanita itu memiliki kemampuan hebat untuk melakukan semua itu layaknya seorang terapis profesional.
Amy dapat dengan mudah menyusup masuk ke dalam pikirannya, kemudian mengacaukan segalanya. Entah kapan persisnya momen itu terjadi, tapi jelas bahwa Ian sudah terpengaruh.
Kini Ian duduk dan mengingat kembali kejadian hari itu, ketika Amy duduk di hadapannya dan mengamatinya dalam diam. Alih-alih merasa terintimidasi dengan keheningan, wanita itu justru bermain api dengannya. Sore itu hujan turun deras di luar sekolah. Hawa dingin menyergap mereka di dalam ruangan. Uap menutupi permukaan kaca sehingga gambaran halaman depan di balik jendelapun tampak saru. Namun hanya ada mereka berdua di dalam ruangan yang menawarkan sedikit kehangatan itu. Amy tampaknya tidak terganggu dengan ide untuk duduk disana selama hampir dua jam, menghabiskan waktu untuk berbicara dengannya. Sesekali Ian menangkap senyum lebar dalam raut wajah gadis itu – senyuman yang entah bagaimana menyihir Ian, membuat darahnya berdesir cepat dan kedua alisnya spontan terangkat.
“Kau suka hujan, Ian? Aku selalu membencinya.”
“Kenapa?”
Amy menggeleng pelan, tatapannya tertuju ke arah karpet gelap yang melapisi lantai keramik. “Aku hanya tidak suka mendengar suaranya. Setiap malam ketika hujan, air keluar dari pipa yang berlubang, menetes di atas loteng dan mengeluarkan suara berisik yang membuatku terjaga sepanjang malam. Kau tahu itu buruk bagiku untuk tetap terjaga sepanjang malam karena seharusnya aku tertidur lelap dan melupakan semuanya. Tapi malam itu tidak. Aku tidak bisa tidur dengan suara berisik air yang menetes dari arah loteng, dan itulah saat ketika pikiran buruk menyusup masuk ke kepalaku. Ini bukanlah hal yang ingin kuceritakan pada siapapun..”
“Tidak apa-apa, tidak ada yang menghakimimu disini.”
“Aku umm.. aku pernah berpikir untuk menyakiti seseorang – ayahku. Terutama ayahku. Aku pernah punya pikiran untuk membunuhnya hanya untuk memuaskan amarahku. Dan pikiran itu selalu muncul setiap kali aku terjaga. Aku bukannya ingin memikirkan hal itu – tapi aku juga tidak bisa mencegahnya. Kau tahu.. itu seperti.. aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Itu seperti sebuah gagasan konyol yang muncul di kepalamu begitu saja.”
“Kenapa kau berpikir dia pantas mendapatkannya?”
“Karena itulah yang dia tanam..”
Ian mengerutkan dahinya kemudian menggeser tubuhnya di atas kursi selagi menunggu Amy menjelaskan maksudnya.
“Dia.. pikir dia meciptakan ladang gandum, tapi yang tidak dia tahu adalah dia telah membesarkan monster.”
“Kau menilai dirimu seperti itu?”
“Itu yang kupikirkan setiap kali aku berdiri di depan kaca. Aku tidak suka memikirkannya, tapi bagaimana bisa kukendalikan? Aku selalu memiliki keinginan untuk menyakitinya dan menerima balasan atas perbuatannya selama ini. Itu.. itu.. tidak normal. Dan pikiran itu membuatku takut. Terkadang aku merasa takut pada diriku sendiri. Maksudku, bagaimana jika aku melewati batas?”
“Tapi kau tidak pernah melakukannya?”
Amy menggeleng kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Ian dengan lurus. “Tidak, tidak pernah.”
Kini gadis itu berjalan mendekati jendela dan menatap dari balik uap yang mengaburkan kaca. Selama beberapa saat Amy hanya tertegun disana, kemudian kedua bahunya merosot dan ia kembali berbicara dalam posisi memunggungi Ian.
“Aku tidak pernah merasa nyaman berada di dekatnya – bahkan setelah belasan tahun aku masih tidak tahu cara untuk terbiasa dengan keberadaannya. Setiap malam ketika aku hendak pergi tidur, aku selalu dipenuhi ketakutan tentang bagaimana aku akan terbangun keesokkan harinya. Bagaimana aku bisa memastikan kalau aku akan tidur dengan nyaman dan terbangun keesokan harinya. Bahkan terkadang aku terlalu takut untuk kembali ke rumah itu. Aku takut jika..”
Kalimat itu menggantung sampai disana. Ian menunggu, tapi setelah beberapa saat Amy masih tidak mengucapkan apa-apa. Kemudian dengan pelan Ian bergerak mendekatinya. Begitu sampai di belakangnya,Ian menjulurkan tangan. Gadis itu dengan lembut membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang menunduk sudah dibasahi oleh air mata.
“Hei.. tidak apa-apa. Kau aman disini.”
Ian dapat merasakan atmosfer di dalam ruangan menipis. Desakan untuk memahami emosi yang dirasakan wanita itu menuntutnya untuk terus berada disana. Tapi Amy tidak ingin menjelaskan apa-apa, alih-alih memandanginya. Ketika Ian mengangkat tangan untuk mengapus air mata yang menggenangi wajah tirusnya, Amy perlahan bergerak mendekat. Kedalaman mata birunya mengunci tatapan Ian, kemudian tiba-tiba gadis itu mencondongkan tubuh dan memeluknya dengan erat. Lengan panjang Amy melingkari pundaknya, kepalanya berandar di atas bahu Ian.
Selama beberapa detik Ian mengizinkan Amy untuk menumpahkan seluruh kesedihannya disana. Tapi kemudian gadis itu melakukan sesuatu yang tidak ia duga. Amy meraih tangannya, menautkan jari-jari mereka kemudian mencium telapak tangan Ian sebelum mengerahkan tangan Ian untuk menangkup wajahnya. Di saat yang bersamaan, Ian merasakan darah berdesir cepat di tubuhnya. Ia menelan liurnya dengan susah payah, sejenak menatap sepasang mata gadis itu dan melihat sebuah perasaan mendamba disana. Persis ketika Amy berjinjit untuk menciumnya, Ian mendorongnya menjauh. Wajahnya memerah dan nafasnya memburu.
“Tidak,” ucapnya. Di hadapannya gadis itu masih berdiri kaku, kebingungan sekaligus merasa kecewa atas penolakan Ian barusan.
“Ini terlalu jauh,” lanjut Ian. “Seharusnya tidak seperti ini. Aku tidak bisa menolongmu..”
“Kau takut?” potong Amy tanpa mengacuhkan kalimat terakhirnya. Gadis itu berjalan mendekat dan di saat yang bersamaan Ian mengambil satu langkah mundur.
“Tidak, tapi.. ini tidak benar.”
“Apa yang benar? Kupikir kau setuju bahwa tidak ada kebenaran yang valid. Semua hanyalah rekayasa.”
“Kau muridku dan aku gurumu. Tugasku disini adalah untuk membantumu..”
“Aku tidak pernah datang untuk meminta bantuanmu,” kilah Amy. “Kau yang bilang kalau kau ingin aku datang sebagai teman.”
“Ya, tapi bukan dengan cara seperti ini..”
“Lalu apa artinya semua itu? Omong kosong?”
“Amy, dengarkan aku..”
“Tidak.” Ekspresi gadis itu mengeras saat mengucapkannya. Kini Amy menatapnya tajam, tapi tidak dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Ada kemarahan besar yang tersembunyi di dalam tatapannya. “Kau pikir kau telah menjalani hidupmu dengan benar itu sebabnya kau berpikir kalau kau bisa membantu orang-orang sepertiku. Kau pikir kau sudah lebih baik dariku, tapi kurasa tidak begitu. Selangkahpun tidak.”
Ian menggeleng. “Aku tidak berpikir begitu..”
“Omong kosong. Sekarang katakan, apa kau menyukaiku?”
“Tidak dengan cara yang kau pikirkan.”
“Apa yang kupikirkan?”
“Beritahu aku.”
Amy menggeleng pelan. “Kau - sama seperti yang lain - penuh omong kosong. Kau pikir aku tidak tahu apa-apa tentangmu? Aku tahu satu hal: kau tidak bahagia - Ian. Aku bisa melihatnya dari matamu. Kau hanya berusaha melakukan sesuatu hanya karena kau tidak ingin terlihat berbeda dari yang lain - dari saudara-saudara laki-lakimu. Tapi kau tidak menginginkan hal itu, akui saja. Kupikir kau berbeda - kupikir kau spesial. Tapi aku salah tentang satu hal. Kau - sama seperti yang lain - hanyalah boneka dalam kehidupanmu sendiri. Kau tidak memainkan peranmu, kau hanya berusaha untuk terlihat normal - sama sepertiku.”
Sesuatu dalam dirinya mengalami desakan kuat untuk menentang ucapan itu. Ian begitu marah dengan apa yang dikatakan Amy barusan hingga ia tidak memikirkan kalimat yang kemudian keluar dari mulutnya.
“Tidak, itu tidak benar. Aku tidak sepertimu. Kita berbeda Amy, dan kau tahu itu sejak awal. Kau boleh mengatakan kalau aku hanya berpura-pura, tapi itu benar. Apa yang kukatakan padamu, aku tidak mengarangnya, karena itu benar. Aku menyukaimu, tapi tidak dengan cara seperti ini. Dan itu tidak akan mungkin terjadi karena kau tidak lebih hanya seorang gadis kecil..”
Keheningan yang memekakan menyelimuti mereka. Amy tidak mengatakan sesuatu untuk menanggapinya, alih-alih berdiri disana, nyaris tidak menunjukkan reaksi apapun selain menatap Ian dengan kosong. Ketika Ian menyadari bahwa apa yang disampaikannya telah melewati batas wajar, ia mendekati gadis itu untuk meminta maaf. Namun Amy – dengan sikap tertutupnya yang mulai tampak ke permukaan – menjauhi Ian dan mengatakan sesuatu yang sekaligus mengakhiri pertemuan mereka sore itu.
“Gadis kecil..”
Perlahan senyuman mengambang di wajah Amy kemudian sebelum Ian sempat menanggapinya, Amy lebih dulu berbalik pergi meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu dengan rapat.
Ian mengejarnya, tapi berhenti begitu mencapai lorong. Pikirnya hal itu tidak akan membuat perubahan besar. Ia juga tahu persis bahwa hari itu bisa saja menjadi akhir dari pertemuan mereka di ruang konseling.
Suara tangisan bayi yang disusul oleh pintu yang dibanting terbuka seketika memecah lamunannya. Ian memutar wajahnya dengan linglung ketika mencari dimana sumber suara itu berasal. Kemudian seseorang yang muncul dari belakang menyerukan sesuatu dengan marah.
“Putrimu menangis sejak tadi, kau tidak mendengarnya? Ya Tuhan, Ian!”
Ian tidak perlu berbalik untuk tahu kalau istrinya, Nicole, yang sedang berbicara. Dengan rambut yang masih basah dan mengenakan piyama secara asal, Nicole terburu-buru saat keluar dari balik pintu kamar mandi. Ian kemudian mengikuti wanita itu berlari menuju kamar bayi dimana mereka meninggalkan putri mereka, Amora, yang sedang menangis keras. Sepasang tangan kecilnya terayun di udara. Nicole dengan cepat menyambutnya, mengangkat tubuh kecil Amora kemudian mengayunkannya dengan pelan hingga tangisan bayi itu mulai mereda.
Dari ambang pintu, Ian memandangi mereka dengan tubuh mematung. Saat Nicole menatapnya, Ian melihat kekecewaan yang terlukis jelas dalam raut wajahnya. Itu bukan kali pertama sejak Ian terlalu hanyut dalam pikirannya sendiri sampai ia tidak lagi mendengar suara tangis Amora – itu bukan kali pertama Ian mengabaikan mereka. Sejauh ini Nicole cukup bersabar menghadapinya, tapi malam itu tidak.
Mereka berdebat di dapur selama hampir satu jam. Sementara Ian berusaha meminta maaf, wanita itu mulai menudingnya dengan tuduhan tak beralasan yang membuat sekujur tubuh Ian terasa panas dan emosinya nyaris meledak. Tapi Nicole tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi. Meneriaki wanita itu mungkin menjadi hal terakhir yang sanggup dilakukan Ian. Setelah dua tahun menikah, Nicole mengetahui hal itu lebih baik dari siapapun, dan ia sangat pandai memanfaatkannya.
“Aku pikir kau tidak peduli pada kita: padaku dan putrimu. Kupikir kau akhirnya menemukan orang lain.”
“Apa? Tidak. Aku tidak berselingkuh, aku sumpah..”
“Oh?” Nicole mendekati Ian dan menatapnya tajam. Kedua mata gelap itu kini memincing ke arahnya. “Sejak kapan aku menyinggung hal itu?”
“Kupikir itu yang baru saja kau katakan? Kau bilang aku menemukan orang lain..”
“Dan kau pikir aku mencurigaimu berselingkuh?”
“Memangnya apa yang kau pikirkan?”
“Memangnya penting apa yang kupikirkan? Kau terapisnya, kau bisa membaca pikiranku lebih baik dari orang-orang.”
“Ayolah.. aku tidak ingin berdebat sekarang. Aku hanya kelelahan.”
“Ya, kau kelelahan setiap hari. Mungkin sebaiknya aku tidak mengganggumu. Kenapa tidak tidur saja, aku akan mengurus Amora, jangan khawatirkan itu.”
“Kenapa kau selalu seperti ini?”
Wanita itu menggeleng seraya berkata, “aku tidak tahu Ian, beritahu aku kenapa!”
Ada keheningan ganjil yang membuat Ian berdiri dengan tidak nyaman disana. Semakin lama wanita itu menatapnya, Ian merasakan sesuatu seakan menusuknya hingga menembus ulu hati. Kemudian apa yang disampaikan Amy terulang di kepalanya sebagai kabut gelap yang menyelimuti dirinya – memerangkapnya di dalam kubangan kebingungan dan menyeret Ian ketepian jurang.
Kau hanya berusaha melakukan sesuatu hanya karena kau tidak ingin terlihat berbeda dari yang lain - dari saudara-saudara laki-lakimu. Tapi kau tidak menginginkan hal itu, akui saja. Kupikir kau berbeda - kupikir kau spesial. Tapi aku salah tentang satu hal. Kau - sama seperti yang lain - hanyalah boneka dalam kehidupanmu sendiri. Kau tidak memainkan peranmu, kau hanya berusaha untuk terlihat normal - sama sepertiku.
Tepat ketika Ian merasa telah kehilangan kata-katanya, ia berjalan melewati wanita itu untuk meraih jaket dan kunci mobilnya. Kemudian tanpa berbicara lagi, Ian bergegas pergi mengendarai mobilnya meninggalkan halaman rumah. Ian tidak pernah merasa lebih buruk dari malam itu karena telah memperlakukan Nicole sedemikian rupa. Wanita itu bukannya seseorang yang pantas menerima perlakuan buruk atas sikapnya, tapi terkadang pergi dari masalah terasa lebih mudah ketimbang menghadapinya.
Malam itu Ian hanya butuh waktu menyendiri untuk menyegangkan pikirannya. Mungkin ia bisa duduk di dalam mobil semalaman – atau pergi ke bar dan memulai kembali kebiasaan lamanya untuk mabuk. Bagaimanapun, pilihan kedua terasa lebih menyenangkan. Duduk di dalam mobil tidak banyak membantu – alkohol punya efek kuat untuk mengusir bayangan wajah Amy dari kepalanya.